Partisipasi Publik: Hangat Disebut, Hambar dalam Realisasi
Selama pilkada, mulai dari masa persiapan, kampanye, hingga pencoblosan adalah saat warga terasa begitu berarti. Rakyat benar-benar menjadi pusat perhatian para calon pemimpin. Lihatlah, selama kampanye lalu, warga dihujani janji-janji, hiburan, dan rutin disambangi.
Khususnya di Jakarta, warga benar-benar menjadi bintang. Sepanjang akhir 2016 hingga pilkada putaran kedua April lalu, banyak gerakan massa yang mau tak mau dikaitkan dengan kisruh politik Ibu Kota. Mereka bergerak di media sosial yang lalu mengkristal menjadi gerakan lapangan, memunculkan gelombang aksi-aksi yang luar biasa fenomenal. Bahkan, situasi di Jakarta itu memengaruhi nyaris seluruh negeri. Urun rembuk, kritik, juga aksi turun ke jalan menular hingga ke beberapa daerah.
Massa yang turun ke jalan pada 2 Desember 2016 meminta kepastian hukum dalam kasus penodaan agama.
Foto arsip Kompas, 3 Desember 2016
Arsip Kompas, 26 April 2017
Namun, pernahkah merasa, setelah pencoblosan, kita—rakyat pemilik hak pilih—kadang begitu saja lupa bahwa tujuan memilih pemimpin yang baik adalah agar keseluruhan wilayah dengan segenap warga di dalamnya bisa dibangun dan dikelola lebih baik? Rakyat juga begitu mudah dilupakan oleh para pemimpin terpilih.
Sebagian besar warga lalu merasa kecewa karena pendapatnya tidak digubris lagi dalam menentukan kebijakan pembangunan. Tak heran, ada orang yang tak tertarik lagi menyalurkan hak pilihnya dan masuk ke ”golongan putih alias golput”.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi di pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 hanya 64,02 persen. Persentase itu jauh di bawah target KPU yang sebesar 77,5 persen. Di beberapa daerah, partisipasi warga sangat rendah, seperti di Kota Medan, Sumatera Utara, partisipasi di pilkada 2015 hanya 18 persen dan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, hanya 28 persen.
Di DKI Jakarta, partisipasi warga dalam pilkada memang jauh lebih baik, khususnya pada pilkada tahun 2017. Dari hasil rekapitulasi yang disahkan pada 30 April dini hari, data KPU DKI Jakarta menunjukkan, perolehan suara terbanyak Pilkada DKI putaran kedua diraih pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno dengan 3.240.987 suara atau 57,96 persen. Adapun pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat memperoleh 2.350.366 suara atau 42,04 persen.
Tingkat partisipasi pemilih di Pilkada DKI putaran kedua mencapai 77,08 persen, naik sekitar 1,33 persen dibandingkan dengan putaran pertama, yakni 75,75 persen. Meskipun demikian, persentase tingkat partisipasi pemilih di Pilkada DKI pun menunjukkan masih lebih rendah daripada target KPU.
Masih suka disuapi
Di Jakarta, megapolitan terbesar di Indonesia, bahkan termasuk yang terbesar di dunia, partisipasi publik memang belum mendarah daging. Secara keseluruhan, di Indonesia, merangkul publik dan menampung pendapat, juga kebutuhannya untuk dituangkan dalam kebijakan program pembangunan, memang belum sepenuhnya terlaksana. Rakyat juga masih terombang-ambing oleh isu-isu yang tidak berkenaan langsung dengan pembangunan, hal yang sebenarnya menyangkut hak dan kewajibannya sebagai warga yang sewajarnya dilayani dengan program-program pemerintah yang tepat.
Jangan heran jika kebutuhan masyarakatnya A, tapi yang dibangun adalah B atau bahkan C. Enggak nyambung!
Kasus di Jakarta, misalnya, sudah sejak tahun 1970-an angkutan umum massal tidak pernah menjadi prioritas pembangunan. Sungai-sungai dibiarkan bobrok jadi tempat sampah dan diokupasi secara liar secara massal. Macet, banjir, dan lingkungan yang buruk kini menjadi santapan sehari-hari warga Ibu Kota. Kini, pemerintah harus berjibaku mencoba mengurai semua masalah agar ibu kota wajah utama negeri ini tidak makin terpuruk.
Yang terjadi saat ini, pembenahan fisik digenjot. Apresiasi datang bertubi karena rasanya Jakarta akhirnya bisa bergerak menuju kondisi yang lebih baik. Akan tetapi, meskipun cukup banyak warga mengapresiasi pembenahan beberapa aliran sungai di Jakarta dengan pembebasan bantarannya yang diokupasi, kemudian mengeruk dan melebarkan kali, secara sadar harus diakui bahwa proyek tersebut baru sebatas proyek fisik. Masyarakat belum dilibatkan dalam menjaga kali tetap baik, misalnya bagaimana menangani sampah padat atau limbah cair rumah tangga yang tetap saja banyak berakhir di badan sungai.
Alih-alih Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan dengan membuat beberapa satuan pasukan yang, antara lain, bertugas menangani kebersihan Ibu Kota. Mereka berjibaku membersihkan kali dari sampah, saluran-saluran air, juga di lingkungan-lingkungan permukiman warga, termasuk ruas jalan.
Aksi para PPSU seperti dimuat di Kompas, 7 Maret 2017.
Ini memang sebuah lompatan besar. Selain menjaga kebersihan kota, DKI sukses membuka lapangan pekerjaan dengan penghasilan setara upah minimum provinsi ditambah sejumlah tunjangan atau fasilitas. Ibu Kota pun menjadi lebih kinclong. Warganya bersukacita, lega tak harus berurusan dengan sampah. Dalam skala lebih besar, meningkatnya penyerapan tenaga kerja juga diyakini menurunkan tingkat kriminalitas, sekaligus menaikkan tingkat kesejahteraan rata-rata warga DKI Jakarta.
Arsip Barometro, Kompas, 30 Juli 2017
Bagaimanapun, kebijakan ini patut diapresiasi, didorong untuk terus ada. Akan semakin dahsyat jika dipadukan dengan mengerjakan pekerjaan rumah besar yang belum tersentuh sama sekali, yaitu bagaimana agar masyarakat bertanggung jawab dengan sampahnya sendiri. Sistem yang memungkinkan warga tidak membuang sembarangan, memilah sampah, dan meminimalkan produksi sampah di tingkat rumah tangga dengan berbagai cara sama sekali belum ada di Jakarta. Baru sebagian kecil warga yang menerapkannya atas kesadaran pribadi atau kelompok, tetapi belum sampai menjadi gerakan massal.
Kebijakan soal sampah dan masih barbarnya perilaku ”nyampah” warga Ibu Kota yang juga dilakukan warga sekitar Jakarta hanyalah satu contoh minimnya partisipasi publik dalam pengelolaan kota.
Arsip Barometro, Kompas, 5 Maret 2017
Contoh lainnya adalah pelibatan warga dalam penataan kawasan tempat tinggalnya. Haqul yakin, pasti masih banyak warga Jakarta yang tidak tahu kelak 10-20 tahun lagi kawasan tempat tinggal akan tetap seperti sekarang atau tetiba sudah menjadi tempat tumbuhnya gedung-gedung jangkung. Sudah yakinkah bahwa tanah tempat rumah kita berdiri adalah hak milik, sekadar hak guna yang memiliki batas masa pakai tertentu, atau justru berada di lahan yang tak seharusnya dijadikan permukiman?
Apa hak dan kewajiban warga yang harus diketahui juga dilakukan minimal terhadap lingkungan terdekat, yaitu tempat tinggalnya. Pernahkah menelisik lebih dalam tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota, termasuk lingkungan tempat tinggal yang semuanya tertuang di dokumen RTRW DKI Jakarta 2030?
Sosialisasi RTRW di tingkat kelurahan dan RT/RW pun mungkin tak terlaksana dengan baik atau bahkan sebagian warga tidak pernah merasa pernah diundang untuk ikut. Lebih sialnya lagi, mungkin juga sebagian warga merasa tak perlu terlibat dalam upaya penataan kawasannya. Sebab, seperti halnya PPSU dan soal sampah, sebagian orang menilai, pembangunan memang murni hanya ranah pemerintah.
Target ke-17
Padahal, sejak dua tahun terakhir, semestinya publik harus selalu dirangkul dan menjadi obyek sekaligus pelaku dalam pembangunan, termasuk pengelolaan kota. Tepat pada 2015, Indonesia telah menyetujui untuk mengimplementasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Target ke-17 dalam SDGs spesifik mengamanatkan partnership antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil alias partisipasi publik secara total harus diwujudkan.
Mengutip siaran pers Wakil Presiden Jusuf Kalla saat berada di New York pada 25 September 2015, ia menegaskan, Indonesia menyambut baik partisipasi masyarakat sipil dalam implementasi SDGs. Siaran pers disampaikan seusai pertemuan Jusuf Kalla dengan sekitar 10 wakil organisasi masyarakat sipil dari Indonesia yang juga hadir di Sidang Umum PBB, 25‐27 September 2015. Pertemuan sekitar satu jam itu berlangsung di Kantor Perutusan Tetap Republik Indonesia PBB di New York. Wakil Presiden Jusuf Kalla didampingi Menteri Luar Negeri Retno Lestari Marsudi.
Sumber: http://www.sdgsindonesia.or.id (situs resmi Kementerian ATR/Bappenas)
Sugeng Bahagijo, Direktur International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam pertemuan tersebut seperti dijelaskan dalam siaran pers menyampaikan, SGDs adalah versi global rencana pembangunan jangka menengah (RPJM). Jika pemerintah segera mengimplementasi program PBB yang berisi 17 target dan 169 sasaran, itu akan mempercepat pencapaian program pembangunan pemerintah yang tercantum dalam RPJM. Hanya saja, berbeda dengan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) 2000‐2015, pelaksanaan SDGs 2030 menuntut pemerintah lebih terbuka (inklusi) dengan melibatkan masyarakat sipil. Tidak hanya saat membuat laporan, tetapi juga menyusun konsep indikator dan implementasi.
Dalam pelaksanan MDGs yang berakhir tahun 2015, PBB menilai pemerintah Indonesia kurang berhasil (off the track) menjalankan empat dari delapan target MDGs, yaitu menekan angka kematian ibu saat melahirkan, menekan jumlah pengidap HIV, memastikan kelestarian lingkungan hidup, serta menyediakan akses air minum dan sanitasi layak bagi masyarakat. Selain terlambat, baru 10 tahun melakukan adopsi setelah program dicanangkan, kegagalan ini juga karena tidak melibatkan partisipasi masyakarat.
Terkait dengan partisipasi masyarakat, Indonesia sudah menyanggupi untuk meningkatkannya dalam pembangunan. Jusuf Kalla memerintahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai koordinator dalam meningkatkan peran masyarakat di semua sektor pembangunan.
Tangga partisipasi Arnstein
Panjang lebar bicara partisipasi publik, tetapi mungkin masih sulit membayangkan bentuk partisipasi warga itu sebenarnya seperti apa. Untuk memahaminya, sepertinya lebih mudah jika mengutip langsung dari Sherry Arnstein. Bagi Arnstein, partisipasi adalah kekuatan warga. Subjudul di atas diambil dari artikel yang ditulis Arnstein tahun 1969 di Journal of the American Institute of Planners yang antara lain bisa dibaca lagi di buku The City Reader 6th Edition 2015.
Arnstein mengungkapkan di artikelnya bahwa dirinya meyakini partisipasi warga adalah kekuatan warga karena ini menjadi bentuk redistribusi kekuatan yang memungkinkan kaum tak berpunya ikut dalam proses politik dan ekonomi yang menentukan masa depan mereka sendiri.
Partisipasi publik merupakan strategi jitu, kata Arnstein, untuk warga kelas ekonomi lemah turut andil dalam menentukan tujuan dan kebijakan pembangunan. Hal ini termasuk bagaimana pajak rakyat seharusnya digunakan, pelaksanaan program pembangunan, hingga bagaimana bentuk perlindungan yang tepat bagi mereka. Secara sederhana, partisipasi publik akan memungkinkan kaum lemah mampu memicu adanya reformasi sosial secara signifikan yang membuat mereka mampu berbagi keuntungan dengan kelas sosial yang lebih tinggi.
Namun, melaksanakan partisipasi publik tidak segampang mendefinisikannya. Arnstein membuat ilustrasi unik yang, meskipun telah dibuat nyaris setengah abad silam, tetap relevan hingga kini. Arnstein membagi partisipasi publik dalam beberapa tingkatan. Ia mengibaratkan tingkat partisipasi publik dalam bentuk tangga yang memiliki 8 anak tangga.
Sumber: The City Reader 6th Edition 2015
Dua anak tangga terbawah ia sebut manipulation dan therapy dikategorikannya sebagai kondisi tanpa partisipasi warga dalam suatu pemerintahan. Segala kebijakan adalah top-down, khususnya dalam menyangkut hidup masyarakat kelas bawah. Program atau kebijakan yang dilabeli partisipasi publik di situasi seperti ini hanya sekadar label tanpa realisasi berarti.
Dua anak tangga partisipasi berikutnya adalah informing dan consultation. Dalam hal ini, Arnstein menyebutkan, rakyat kecil mulai didengar dan bisa bersuara. Akan tetapi, keputusan kebijakan apa pun tetap ada di tangan penguasa tanpa perlu mempertimbangkan aspirasi warga kelas ekonomi lemah itu.
Sedikit lebih tinggi dari informing dan consultation ialah placation. Pada level ini, untuk menetapkan aturan dasar yang langsung berkenaan dengan masyarakat tidak mampu, suara dan aspirasi mereka diterima. Namun, tetap saja keputusan kebijakan masih mutlak di tangan penguasa.
Tiga anak tangga partisipasi yang disebut terakhir, menurut Arnstein, masuk dalam kategori tokenisme. Hal ini mengingatkan kita akan sistem pemilihan umum yang dianut oleh sebagian saudara kita di Papua. Kepala suku bisa memilih calon pemimpin daerah mewakili kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
Selanjutnya, ada level partnership yang memungkinkan warga bernegosiasi dan ikut serta secara setara dengan para penguasa lokal. Dua tangga partisipasi teratas, yaitu delegated power and citizen control. Di dua level terakhir, rakyat kecil menjadi tuan di rumahnya, di kawasannya, di kotanya. Warga memiliki hak mayoritas dalam penentuan kebijakan publik atau kekuatan penuh di bidang pengelolaan daerahnya.
Bisa jadi level partisipasi warga di tiap daerah di Indonesia berbeda. Bahkan, mungkin di tingkat kota seperti Jakarta pun ada beberapa program yang dinilai telah berada di level partisipasi tinggi, tetapi ada juga yang mungkin masih top-down. Bagaimana secara bertahap bisa mencapai delegated powers dan citizen control butuh kesadaran dan peran aktif pemerintah dan warga.
Yang pasti, warga kota harus melek atas hak serta kewajibannya. Suatu hal yang sewajarnya terjadi bagi warga Ibu Kota yang berpendidikan, informasi mudah didapat, dan kemampuan ekonomi lebih baik dari beberapa daerah lain. Tidak sekadar heboh di media sosial atas hal-hal tertentu yang lalu menguap, yang sama sekali tak berkorelasi dengan kepentingan pembangunan kota.
Pemerintah sudah tidak saatnya lagi terus bermulut manis, tetapi jeblok di tata kelola kota. Kerja sama yang baik antara warga dan pemerintahlah yang menentukan perubahan nasib kota ini. Partisipasi warga bukan sekadar istilah asal comot yang dicantumkan dalam program pembangunan, hanya legitimasi bagi pengambil kebijakan untuk berbuat seenaknya. Masa iya, gagal menjadi kebiasaan yang dipelihara. Hanya keledai yang terperosok di lubang yang sama berkali-kali. Malu!