LPSK Minta Aparat Hukum Tuntaskan Kasus Penyerangan Aktivis Antikorupsi
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban meminta aparat hukum, terutama Polri, lebih proaktif menuntaskan kasus penyerangan terhadap aktivis antikorupsi yang menjadi saksi atau pelapor kasus korupsi. Selama ini, sebagian besar kasus penyerangan terhadap aktivis antikorupsi tidak pernah tuntas. Hal ini bisa menjadi preseden buruk dalam pengungkapan kasus korupsi. Warga bisa takut melaporkan temuan kasus korupsi karena berisiko tinggi dan tidak ada kejelasan hukum jika mendapatkan serangan.
Demikian dikatakan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai ketika bersilaturahim dengan awak media di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (6/7). Abdul mengatakan, pihaknya telah memberikan perlindungan dan bantuan hukum kepada sejumlah aktivis ataupun advokat antikorupsi yang melaporkan dugaan kasus korupsi. Umumnya, mereka mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum setelah mendapatkan serangan oleh pelaku yang tidak dikenal. Serangan itu terkait dengan laporan kasus korupsi tersebut.
Namun, berdasarkan hasil pemantauan LPSK, sebagian besar kasus penyerangan terhadap aktivis ataupun advokat antikorupsi tersebut tidak pernah tuntas. Kasus-kasus itu sebagian besar terhenti di tahap penyelidikan ataupun penyidikan. ”Sebagian besar kasus penyerangan terhadap aktivis atapun advokat antikorupsi berakhir abu-abu atau tidak jelas dan tuntas,” ujarnya.
Hal ini terjadi pada kasus penganiayaan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satya Langkun pada 2010. Ia diserang orang tak dikenal di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Kamis (8/7/2010). Akibat serangan itu, ia mengalami luka sabetan senjata tajam di kepala dan sejumlah bagian tubuh.
Serangan tersebut diduga dampak dari aksinya melaporkan dugaan korupsi dalam perkara rekening gendut perwira Polri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). LPSK sudah memberikan perlindungan dan bantuan hukum untuk Tama. Namun, hingga sekarang, kasus serangan tersebut tidak tuntas. ”Pelakunya tidak pernah diketahui hingga saat ini,” ucap Abdul.
Hal serupa terjadi pada aktivis 98 Sukma Hidayat (38) pada tahun ini. Ia dan istrinya, Marlia Agustina (34), disiram air keras oleh orang tidak dikenal ketika dalam perjalanan pulang di Jalan Pengadilan Tinggi, Kecamatan Sukarami, Palembang, Selasa (31/1). Akibat serangan tersebut, ia dan istrinya mengalami luka bakar serius di kepala, tubuh, dan tangan.
Serangan itu diduga terkait aksi Sukma yang meminta KPK mengusut tuntas dugaan kasus korupsi dana hibah dan bantuan sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tahun anggaran 2013. LPSK pun sudah memberikan perlindungan dan bantuan hukum untuk Sukma. Akan tetapi, hingga kini, kasus serangan ini tidak tuntas. ”Kasus Sukma pun tidak jelas hingga sekarang,” kata Abdul.
Kasus terakhir terkait penyidik senior KPK Novel Baswedan yang disiram air keras oleh orang tidak dikenal saat pulang shalat subuh di sekitar rumahnya di RT 003 RW 010, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, DKI Jakarta, Selasa (11/4). Akibat serangan ini, ia mengalami luka bakar serius di kepala dan mata.
Serangan terhadap Novel juga diduka terkait kasus korupsi yang ditanganinya. ”Walaupun tidak turut terlibat dalam kasus ini, kami memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini. Dan, kasus ini pun sama seperti kasus-kasus serupa sebelumnya, tidak ada kejelasan sampai sekarang,” kata Abdul.
Preseden buruk
Abdul mengatakan, ketidakjelasan penanganan kasus serangan terhadap para aktivis ataupun pelapor kasus korupsi dinilai akan menjadi preseden buruk untuk pengungkapan kasus korupsi di Indonesia. Masyarakat bisa apatis terhadap temuan kasus korupsi di sekitarnya. Hal ini karena mereka takut mendapatkan serangan jika melapor.
”Pelaku penyerangan pun tidak akan jera untuk menyerang orang-orang yang berupaya melapor ataupun mengungkap kasus korupsi,” ujarnya.
LPSK sendiri merupakan lembaga negara yang fokus memberikan perlindungan dan bantuan hukum terhadap saksi dan korban yang terkait kasus pidana. LPSK dibentuk pada tahun 2008. Sejak dibentuk, permohonan perlindungan dan bantuan hukum dan penanganan perlindungan dan bantuan hukum yang dilakukan LPSK terus meningkat dari tahun ke tahun.
Setidaknya, tiga tahun ini, angka permohonan perlindungan dan bantuan hukum kepada LPSK terus meningkat, yakni permohonan 2.099 kasus dan teregister 1.687 kasus pada 2015, permohonan 2.387 kasus dan teregister 1.727 kasus pada 2016, serta permohonan 676 kasus dan teregister 534 kasus per Mei 2017. ”Salah satu kasus yang paling banyak kami tangani merupakan kasus terkait korupsi,” ucap Abdul. (DRI)