BONTANG, KOMPAS — Produksi amonium nitrat atau bahan baku peledak buatan dalam negeri yang berkualitas sulit dioptimalkan karena terganggu amonium nitrat impor yang lebih murah. Impor sebenarnya tidak perlu karena kini sektor tambang yang mulai perlahan bangkit.
Hal itu disampaikan CEO PT Kaltim Nitrate Indonesia (KNI) Antung Pandoyo, Kamis (8/6). Selama dua hari, Rabu (7/6) dan Kamis (8/6), sejumlah wartawan diajak melihat pabrik PT KNI–produsen amonium nitrat (AN) atau bahan baku peledak terbesar di Indonesia–di Bontang itu.
Antung mengatakan, kapasitas produksi AN oleh tiga produsen–salah satunya PT KNI–di Indonesia bisa 510.000 ton per tahun. Namun, hanya mencatatkan 350.000-370.000 ton per tahun. Kapasitas produksi PT KNI, yang mulai beroperasi tahun 2012, misalnya, 300.000 ton per tahun, tetapi baru terpakai 253.000 ton per tahun.
Sekitar 70 persen produksi AN untuk pasar dalam negeri, yakni perusahaan tambang skala besar. Bahan baku peledak berdaya rendah ini digunakan di lokasi tambang. Sekitar 80 persen pembeli AN juga merupakan perusahaan batubara.
Di sisi lain, sekitar 30 persen produksi AN dari PT KNI diekspor ke Filipina, Malaysia, Australia, Papua Niugini, dan India. Artinya produk Indonesia bisa diterima negara lain karena berkualitas, termasuk Australia yang sangat ketat peraturannya. Namun, di sisi lain, pemerintah masih membuka keran impor AN yang mayoritas dari China, padahal kualitas AN dari Indonesia lebih baik.
”Tahun ini, Indonesia mengimpor 90.000-an ton AN, sementara kekuatan produksi AN di dalam negeri, kan, berlebih. Kapasitas PT KNI per tahun yang 300.000 ton, misalnya, masih bisa dipacu hingga 311.000 ton. Namun, masih saja ada impor. Tak hanya itu, karena negara pengimpor pun menerapkan strategi dumping,” ucapnya.
Produk AN impor asal China dijual lebih murah, sekitar 10 persen dari produk AN dalam negeri. Masalah ini pernah dibawa ke Komite Anti Dumping Indonesia, 1 Juni 2015, tetapi hingga kini belum ada hasilnya. ”Kami menengarai ada praktik dumping yang dilakukan China, Korsel, dan Malaysia,” kata Antung.
Ia memastikan kualitas AN-nya termasuk terbaik, tetapi ada faktor harga yang dipertimbangkan pasar domestik. Saat bisnis batubara Indonesia terguncang tahun 2014-2015, urusan harga menjadi lebih sensitif. Setelah kondisi perlahan membaik, ternyata belum ada kabar baik.
Operations Manager PT KNI Indra Prasetya menambahkan, bahan baku NA, yakni amoniak, seluruhnya diambil dari dalam negeri. ”Ini satu keuntungan. Di sisi lain, masih ada impor. Idealnya, pasar yang dimasuki impor itu, kan, sebisa mungkin diisi produsen dalam negeri dulu,” kata Indra.
Menurut Indra, bisnis tambang batubara di Kaltim memang bergerak membaik, tetapi masih perlu waktu. Indra memprediksi tambang baru bisa pulih paling cepat tahun 2019. Jika pasar dalam negeri belum cukup merespons, peluang ekspor sejatinya masih terbuka. PT KNI menargetkan tahun ini mencatat kapasitas produksi 280.000-290.000 ton.
Salah satu strateginya adalah mengedukasi market Indonesia, yakni perusahaan tambang. Menurut Indra, produk AN–yang berbentuk butiran kecil–ini dinilai dari kualitasnya, antara lain tidak menggumpal dan dampak ledakannya. Daya ledak produk AN adalah 1/32 TNT.
Secara terpisah, Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni memberi dukungan berkembangnya industri dalam negeri. Sebab, para pelaku industri juga memberikan kontribusi riil terhadap pemerintah daerah.