Korupsi Kejahatan Luar Biasa
FEBRI HENDRI AA, Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (Opini KOMPAS, Jumat 23-10-2015)
Pemerintahan baru telah berupaya membangun demokrasi dan memberantas korupsi dengan mengesahkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi PPK (Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) dan memilih panitia seleksi calon pimpinan KPK. Namun, dalam praktiknya, banyak momentum yang terlewat dalam upaya pemberantasan korupsi ini.
Presiden harusnya tetap pada prinsip bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan pelakunya tidak mendapatkan keistimewaan sedikit pun dalam hukum atau sanksi. Dengan demikian, remisi koruptor seharusnya sangat ketat, utamakan pada narapidana yang bekerja sama membongkar kasus korupsi.
Indonesia memang membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi di tengah kelesuan ekonomi global. Akan tetapi, hal ini jangan menjadi dasar untuk mengabaikan gerakan anti korupsi dan penguatan demokrasi. Sebaliknya, penguatan ekonomi justru akan terjadi bersamaan dengan penguatan demokrasi dan mendorong pemerintahan bersih dari korupsi.
Pembelajaran dari rezim Orde Baru telah membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa demokrasi akan menciptakan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Demokrasi Indonesia saat ini telah dibajak oleh kekuatan elite dan kelompok bisnis. Oleh karena itu, mengejar pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan demokrasi dan pemberantasan korupsi justru akan memperkuat relasi politik-bisnis para elite dan tidak memberdayakan dan menyejahterakan rakyat Indonesia.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu mengonsolidasikan kekuatan rakyat untuk melawan pembajakan demokrasi. Sebagai pemimpin Jokowi-Kalla juga harus di garis depan dalam menggalang kekuatan rakyat untuk membangun demokrasi dan pemberantasan korupsi. Masih ada empat tahun untuk perubahan.
DAOED JOESOEF, Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne (Opini KOMPAS, Senin 05-09-2016)
Senyampang nasi belum menjadi bubur tak boleh kita meremehkan gejala korupsi sebab ia langsung mencerminkan pemudaran tanggung jawab moral. Korupsi dan moralitas adalah dua sisi koin yang sama. Kita diniscayakan waspada terhadap korupsi karena kehidupan modern menurut naturnya cenderung koruptif sangat berbeda dengan kehidupan berkalang adat.
Memudarnya tanggung jawab moral menimbulkan suatu situasi ganda yang memprihatinkan. Di satu pihak, warga individual menjadi kian stres dan beringas karena merasa diabaikan nasibnya begitu saja. Dia menjadi cepat naik pitam, gampang mengamuk siapa saja dan merusak apa saja, tak mau tahu tentang akibat destruktif perbuatannya. Di lain pihak, unsur-unsur pembentuk pola pikir masyarakat yang berpembawaan divergen kian menekan unsur yang cenderung konvergen hingga ia menjadi tidak berdaya. Hal ini memprihatinkan karena dalam keadaan normal konvergensi pola pikir masyarakat yang justru mengimbangi karakter individual destruktif warganya.
Memudarnya tanggung jawab moral karena pelaku dan sasaran perlakuan cenderung anonim. Pelaku terdiri dari politikus, birokrat, penguasa/pejabat, dan pebisnis. Sasaran perlakuan adalah penanggung akibat tindakan para pelaku. Anonimitas ini merupakan anomali dari modernisasi cara pengelompokan manusia. Dampaknya diperparah kedangkalan pemikiran reformasi yang memanfaatkan anonimitas manusia modern tadi.
Manusia modern selaku apa pun dan di mana pun diingatkan agar tetap bertanggung jawab moral atas perbuatannya terhadap sesama manusia. Wajar jika setiap orang berusaha berperan dalam kehidupan bersama. Namun, peran bukan berarti mematikan tanggung jawab. Ia harus ditanggapi sebagai peluang bagi manusia untuk tertanggung jawab atas nasib pihak lain, yaitu orang-orang yang dengan dia bukan sekeluarga, sesuku, sedaerah, seagama, separtai, atau dari ras yang sama. Jadi, kepedulian moralnya terhadap pihak lain karena ia berupa manusia yang sama sekali lain dengan dia.
Namun, alih-alih mencerahkan kabut anonimitas, orang-orang yang sekarang berperan dalam kehidupan bersama malah memanfaatkan kondisi tersebut bagai memancing di air keruh. Mereka yang secara protokoler dibahasakan ”Yang Mulia” atau ”Yang Terhormat” di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif ternyata bersikap tidak sesuai dengan pembahasan itu, berperilaku koruptif. Korupsi bahkan mereka lakukan secara berjemaah. Bukankah ada diberitakan betapa pimpinan Komisi V DPR minta uang jasa Rp10 triliun. Ada pula tokoh yang dipercaya mengurus masalah keagamaan ternyata tidak bermoral, dinyatakan sebagai koruptor dalam dan oleh pengadilan.
Para koruptor masih bisa tersenyum simpul ketika digiring polisi ke pengadilan. Mereka melenggang santai bagai pengantin yang akan naik ke pelaminan. Hukuman negara tak ditakuti karena nanti toh ada remisi, sementara di dalam penjara konon diperlakukan istimewa. Kelompok politiknya, partai, tak mengutuk apalagi memecat dari partai karena dianggap berkorupsi sebagai tindakan biasa yang kebetulan sedang ”apes”. Bukankah yang lain juga berbuat begitu. Berarti kelompok besar di mana sang koruptor tergolong dan lembaga penegak hukum masih terkesan permisif terhadap korupsi. Padahal, koruptor jauh lebih jahat daripada pencuri ayam.
Berhubung hukuman negara tidak menjerakan koruptor, sedangkan ”keluarga besar” tidak memberikan sanksi, perlu ada hukuman dari pihak kelompok natural terkecil di mana sang koruptor tergolong secara alami. Ia berupa keluarga, suku, marga, dan lingkungan adat. Mereka ini, demi pemberantasan korupsi yang efektif dituntut ikut bertanggung jawab moral terhadap kesalahan koruptor yang dilakukan anggota kekeluargaannya. Tanggung jawab itu berupa sanksi pengucilan sang koruptor dari kelompoknya, sebagai orang Bali yang dikeluarkan dari banjarnya karena melanggar delik adat nan diadatkan sejak leluhur. Apabila kelompok atau keluarga besar artifisial tidak berdaya, kelompok terkecil (atomis) berpotensi bisa bertindak represif, bahkan preventif asal dilakukan secara konsisten dan kontinu, lebih-lebih oleh kaum perempuan (ibu, istri, kekasih) dan anak kandung.
SALDI ISRA, Profesor Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang (Opini KOMPAS, Rabu 04-01-2017)
Ibarat labirin, korupsi menjadi virus perusak yang terus membelit dan melilit sekujur tubuh Indonesia. Sekalipun telah disuntikkan berbagai vaksin guna menghentikan dan sekaligus mengurangi lajunya, hingga pengujung tahun 2016 belum terlihat tanda-tanda praktik korupsi berkurang. Karena itu, menghentikan laju praktik koruptif akan selalu jadi pekerjaan yang membutuhkan komitmen dan perjuangan panjang nan melelahkan.
Secara kuantitatif, sebagaimana dicatat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga 31 Oktober 2016, perkara korupsi menunjukkan kenaikan tajam dibandingkan 2015. Misalnya, penanganan tindak pidana korupsi tahap penyidikan naik dari 57 menjadi 81 kasus dan penuntutan naik dari 62 menjadi 70 kasus (/Kompas/, 17/12). Apabila ditambah perkara sampai hari terakhir 2016, kenaikannya pasti semakin memprihatinkan. Cacatan ini akan makin memprihatinkan apabila ditambahkan dengan data kejaksaan dan kepolisian.
Sekalipun data yang disajikan itu hanya berasal dari catatan KPK, angka itu lebih dari cukup guna menggambarkan betapa agenda menghentikan praktik korupsi masih jauh dari berhasil. Padahal, menilik perjalanan waktu, pemberantasan korupsi telah menjadi agenda prioritas selama hampir dua dekade terakhir. Tak sebatas prioritas, pemberantasan korupsi
pun dilakukan secara luar biasa (extraordinary).
Selama ini, salah satu penyebab yang sering dikemukakan dalam menjelaskan meruyaknya perilaku koruptif adalah kelemahan elementer dari materi hukum (legal substance). Sebagaimana acap kali saya kemukakan, salah satu kelemahan paling dasar adalah banyak aturan hukum yang tak jelas, memiliki makna ganda (multiinterpretasi), dan memihak pelaku korupsi. Namun disadari, secermat dan sebaik apa pun membuat UU, sulit keluar secara paripurna dari kelemahan tersebut.
Karena itu, meningkatnya perkara korupsi sepanjang 2016 menjadi tak cukup relevan hanya dijelaskan dari kelemahan materi hukum. Bagaimanapun, dalam bingkai penegakan hukum, materi hukum salah satu faktor yang dapat memengaruhi pemberantasan korupsi. Karena itu, di antara penyebab berikut dapat dikatakan memberikan kontribusi penting sulitnya membendung dan menghentikan laju korupsi. Tentunya, penyebab dimaksud memberi kontribusi pula meningkatnya perkara korupsi pada tahun-tahun sebelumnya, termasuk tahun 2016.
Pertama, perilaku koruptif telah menjadi praktik keseharian sehingga menjadi sulit membedakan antara perilaku koruptif dan perilaku yang seharusnya. Bahkan acap kali terdengar ungkapan ”jika korupsi dihentikan, gerak pembangunan pun akan berhenti secara tiba-tiba”. Bagi mereka yang menerima kebenaran ungkapan ini, korupsi dipandang semacam pelumas bergeraknya roda pembangunan. Oleh karena itu, di tengah masyarakat korupsi dianggap sesuatu yang umum, biasa dan tak dipandang sebagai bentuk kejahatan.
Kedua, tindakan dan langkah pembaruan begitu mudah terjebak pada perilaku ”hangat-hangat tahi ayam”. Fakta empirik membuktikan, sejumlah skandal korupsi yang terkuak di lingkungan pemerintah hanya memiliki daya kejut dalam waktu terbatas. Seperti terjebak dalam sebuah pola: sebuah skandal segera menguap begitu skandal baru terkuak. Kecenderungan, terkuaknya skandal korupsi nyaris tak pernah menjadi momentum melakukan perubahan secara total. Biasanya, ketika pelaku yang bernasib sial dihukum, upaya untuk mengungkap jejaringnya tidak pernah dilakukan dengan serius. Padahal jamak dipahami bahwa korupsi, apalagi yang masuk kategori skandal, tidak mungkin dijalankan pelaku secara tunggal.
Ketiga, selain kedua faktor di atas, penyebab lain tidak mudah mengurangi dan menghentikan laju praktik korupsi dipicu oleh penjatuhan hukum (vonis hakim) yang jauh dari memadai untuk mampu memberikan efek jera. Bukti paling menonjol, sejak 2013, secara umum, pengadilan menjatuhkan vonis semakin hari makin ringan. Bahkan, akhir-akhir ini, vonis bagi mereka yang melakukan korupsi berada di kisaran dua tahun. Celakanya, kecenderungan penurunan ini terjadi sejak pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi daerah. Padahal, sebagai bagian menimbulkan efek jera, UU pemberantasan tindak pidana korupsi memberikan ruang untuk menjatuhkan hukuman secara maksimal.
Sejumlah pengalaman menunjukkan, penjatuhan pidana rendah diikuti dengan kemudahan lain yang dinikmati mereka yang dipidana. Kemudahan dimaksud adalah adanya ketentuan selama melaksanakan hukuman memiliki kesempatan menghuni rumah tahanan lebih singkat dari vonis hakim. Bahkan, berkaca dari sejumlah kasus, dengan kemampuan keuangan yang dimiliki terpidana korupsi, rumah tahanan tidak cukup memberikan efek penjeraan. Sebagian di antara terpidana mudah menikmati segala macam kemewahan, termasuk mangkir dari rumah tahanan sebagaimana yang pernah dilakukan Gayus Tambunan.
Tidak kalah mengkhawatirkan, bekas narapidana korupsi diberi ruang untuk ikut kontestasi politik begitu selesai menjalani masa hukuman. Dengan kemudahan itu, sebagian mereka yang pernah dipidana kasus korupsi dengan mudah mengikuti kontestasi politik. Jalan mudah berkiprah kembali di panggung politik meruntuhkan misi politik menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Disadari atau tidak, segala kemudahan tersebut membuat banyak kalangan tidak takut melakukan korupsi.
Sebagai catatan awal tahun, perlu disadari, labirin perilaku koruptif sangat mungkin kian menggila sepanjang 2017. Untuk itu, haruslahditemukan jalan keluar dari labirin perilaku koruptif yang telah lama menjadi virus perusak yang terus membelit dan melilit negeri ini. Melihat daya rusak yang ditimbulkan, tak cukup lagi dengan mengimbau agar menghentikan perilaku koruptif. Untuk itu, mereka yang diberikan wewenang mengelola kepentingan publik apabila terbukti melakukan korupsi, hukuman harus mampu memberikan efek jera.
Begitu juga bagi pelaku korupsi karena ketamakan, hukuman maksimal harus mampu menjangkau dan memiskinkan pelaku korupsi. Tak berhenti sampai pelaku, penegakan hukum harus mampu membongkar jejaring pelaku korupsi secara tuntas. Selama hanya berfokus pada pelaku, koruptor mungkin saja menggunakan pihak lain sebagai tempat menyimpan harta hasil korupsi. Karena itu, langkah serius mengejar dan membongkar semua pihak yang jadi jejaring koruptor menjadi pilihan yang tak terhindarkan.
Sementara itu, bagi pelaku politik yang terbukti melakukan korupsi, hukuman tidak cukup dengan pidana badan dan pemiskinan, tetapi harus berani juga mencabut hak politik mereka. Tanpa itu, politisi yang pernah dihukum karena terbukti korupsi akan tetap memiliki ruang ”merampas” panggung politik. Tanpa keberanian mencabut hak politik, banyak kalangan percaya, suatu waktu nanti panggung politik negeri ini akan dikuasai oleh bekas pelaku korupsi. Saya termasuk orang yang percaya: pidana maksimal dan memangkas segala kemudahan dapat menjadi strategi ampuh keluar dari jebakan labirin praktik korupsi di kalangan politisi.