Menyikapi Bencana Ekologi
MUTIARA ANDALAS, Mahasiswa Program Licensiat Graduate Theological Union,
Berkeley, California (Opini Kompas, 9 Januari 2006)
Bencana ekologi, seperti banjir dan tanah longsor, menyingkap persoalan kerusakan ekologi yang sudah mencapai taraf kritis. Pembabatan hutan dalam skala massal dan berbagai eksploitasi ekologi lainnya telah melahirkan monster ekologi pemangsa kehidupan. Akibatnya, kehidupan ekologi pada masa sekarang dan masa depan berada dalam ancaman serius kematian prematur.
Holocaust ekologi tampaknya akan menjadi salah satu isu utama dunia abad ini. Ancaman holocaust ekologi itu telah menjadi realitas di berbagai belahan dunia dalam waktu yang saling berdekatan. Dunia kita tak boleh lagi mati rasa terhadap isu kerusakan ekologi.
Perhatian Pemerintah Indonesia belum sampai pada kesadaran perlunya habitus baru untuk merawat ekologi. Perhatian kita masih terforsir pada usaha mereduksi kerusakan ekologi dan rehabilitasi korban pasca-bencana. Kita masih berada pada tahap memetakan wilayah- wilayah paling berisiko terhadap ancaman holocaust ekologi dan manajemen menghadapi holocaust ekologi.
Revolusi ekologi harus sampai pada habitus baru manusia untuk merawat ekologi. Kita, manusia, tidak hidup di luar ekologi. Kita adalah bagian dari jejaring ekologi. Eksploitasi manusia terhadap alam terbukti berdampak destruktif bagi kontinuasi kehidupan seluruh ekologi.
BUDI WIDIANARKO, Guru Besar Toksikologi Lingkungan, Unika Soegijapranata (Opini Kompas, 31 Maret 2010)
Semua pihak seolah baru terjaga ketika bencana tiba, dan mulai melantunkan nada-nada penyesalan mengapa tidak mencegah kerusakan kawasan hulu sejak dini. Penyesalan yang datang terlambat itu sama sekali bukan karena absennya pengetahuan tentang daur air. Pelajaran tentang siklus hidrologi telah diberikan sejak tahun-tahun awal sekolah dasar. Namun, kita rupanya gagal menghubungkan pengetahuan tentang daur air dengan perilaku kita terhadap air.
Manusia cenderung selalu bersikap ambigu terhadap alam. Alam dipandang sebagai "sang pemberi" sekaligus "musuh". Manusia bukannya tak mengerti bahwa perusakan ekosfir secara terus-menerus akan mengakibatkan planet Bumi tidak layak huni, tetapi mereka memilih merusak atau setidaknya membiarkan perusakan terus terjadi. Jawabnya terletak pada keinginan manusia untuk terus memacu kemajuan ekonomi.
DWI ANDREAS SANTOSA, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Associate Scholar Center of Reform on
Economics (Opini Kompas, 14 Februari 2014)
Banjir dapat dikelola melalui dua cara, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi merujuk pada upaya memodifikasi sumber-- dalam hal ini kejadian hujan dalam skala yang ekstrem dan modifikasi aliran permukaan --sehingga probabilitas banjir dapat diturunkan. Adaptasi merujuk pada upaya untuk mengurangi dampak banjir pada wilayah yang terkena.
Praktik manajemen lahan yang tidak memerhatikan aspek konservasi dan menurunnya kapasitas infiltrasi air menyebabkan air ”melenggang bebas” dari wilayah pertanian yang lebih tinggi dan ”membanjiri” wilayah pertanian/lainnya yang lebih rendah. Dengan demikian, upaya meningkatkan kapasitas wilayah pertanian ”atas” untuk menahan air serta meningkatkan serapan air ke dalam tanah melalui praktik pertanian ekologis dan konservatif merupakan cara mitigasi ideal untuk mengurangi banjir.
Selain langkah instan, seperti selama ini dilakukan melalui anjuran tanam ulang, bantuan benih, dan ganti rugi, perlu juga dilakukan langkah jangka panjang yang lebih komprehensif. Selama ini belum ada kebijakan nasional terkait dengan manajemen risiko banjir untuk pertanian. Kebijakan harus merupakan gabungan dari kebijakan mitigasi dan adaptasi.
Kebijakan mitigasi meliputi kebijakan investasi publik melalui pembangunan infrastruktur untuk menahan banjir, dam dan embung, perbaikan drainase lahan dan irigasi pertanian. Kebijakan intervensi adaptasi untuk mengurangi kerusakan akibat banjir ditempuh melalui pengembangan sistem peringatan dini banjir, peningkatan resiliensi, penanganan korban, dan kompensasi.
A SONNY KERAF, Menteri Negara Lingkungan Hidup 1999-2001 (Opini Kompas, 27 September 2016)
Banjir bandang yang menerjang Kabupaten Garut, Jawa Barat (22 September 2016 makin meneguhkan dugaan bahwa telah terjadi krisis lingkungan hidup sangat parah di Pulau Jawa. Krisis lingkungan hidup ini cepat atau lambat—kalau tidak segera diatasi—bisa menyebabkan Pulau Jawa tenggelam.
Dalam sekitar 10 tahun terakhir, setiap tahun terjadi banjir bandang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta di DAS Citarum di Jawa Barat. Tahun ini, DAS Cimanuk dan mungkin akan disusul lagi oleh DAS lain di Jawa. Ekosistem DAS utama di Jawa sudah hancur. Daya dukung dan daya tampung ekosistem Jawa sudah tidak mampu lagi menunjang pembangunan dan segala aktivitas utama di Jawa.
Kita telah salah urus, salah kelola, dan salah dalam membangun Jawa. Jawa terlalu dipadati manusia dengan segala aktivitas pembangunan dalam skala masif tanpa memedulikan daya dukung dan daya tampungnya.