Rengkuh Banyu Mahandaru dan Analogi Tusuk Gigi
Saat kuliah, Rengkuh Banyu Mahandaru selalu berpikir ingin membuat desain produk yang bisa diterima semua kalangan.
Di Jaipur, India, Rengkuh Banyu Mahandaru (32) meraih inspirasi penggunaan piring dan mangkuk-mangkuk kecil terbuat dari dedaunan tanaman endemik seperti jati yang dikeringkan. Sekembalinya ke Tanah Air, Rengkuh mengimplementasikan pengalaman itu.
Tidak sama persis di Jaipur. Rengkuh memilih mengolah pelepah pinang menjadi kemasan makanan sekali pakai. Dia memilih pelepah pinang karena ketersediaan material tersebut cukup melimpah, tetapi masih dianggap limbah.
Ia menyebutkan, data terkini sebaran jenis tumbuhan pinang di Sumatera diperkirakan mencakup area 150.000 hektar. Sejauh ini, pelepah pinang yang digunakan Rengkuh baru sebatas dari wilayah Jambi dan Sumatera Selatan. Wilayah Indonesia timur masih menyimpan cadangan bahan baku pelepah pinang berikutnya.
Baca juga: Greta Gerwig, Kiprah Sang Master Pencerita
Kemasan pelepah, ungkap Rengkuh, ditujukan sebagai pengganti penggunaan kantong plastik dan stirofoam sebagai kemasan makanan sekali pakai yang semakin merebak. Bayangkan saja, pemesanan dua atau tiga jenis makanan lewat aplikasi gawai saja bisa menggunakan kantong plastik lebih dari jumlah makanan yang dipesan.
Di sisi lain, teknologi pengolahan pelepah pinang untuk kemasan makanan jauh lebih sederhana dan cepat jika dibandingkan dengan memproduksi piring dan mangkuk dari dedaunan seperti di Jaipur. Piring dan mangkuk daun di sana memerlukan penjahitan. Waktu pengerjaannya lebih lama.
Baca juga: Luis Hay, Penjaga ”Burung Surga” Papua
Selain itu, masyarakat Indonesia pun sebagian masih memiliki tradisi memanfaatkan daun untuk pembungkus makanan. Di Cirebon, misalnya, daun jati masih digunakan untuk membungkus nasi jamblang. Daun pisang di banyak tempat juga masih dimanfaatkan sebagai pembungkus beraneka macam makanan.
Atas dukungan dana BRI Ventures serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada 2022 Rengkuh mendirikan unit produksi kemasan makanan dari pelepah pinang yang cukup besar di Cibinong, Jawa Barat. Kapasitas produksinya mencapai 160.000 potong kemasan per bulan dengan pasar utama ekspor hingga 80 persennya.
Selebihnya, sekitar 18-20 persen untuk memenuhi pasar dalam negeri. Di dalam negeri harga satu kemasan pelepah pinang masih tergolong tinggi, antara Rp 2.500 sampai Rp 4.500.
Untuk produk kemasan pelepah pinangnya itu, Rengkuh membangun jenama ”Plepah”. Pada April 2023, ia diminta ikut pameran di Jerman. Di sana muncul banyak permintaan dari luar negeri. Akan tetapi, regulasi dalam negeri tentang kandungan kimia, bakteri, serta bukan hasil deforestasi belum dianggap sebagai patokan global. Ini kesulitan tersendiri baginya.
Dari banyaknya permintaan luar negeri itu, hanya Australia yang bisa dipenuhi. Itu pun melalui perantara pengusaha Dubai yang datang ke Jakarta pada November 2023 untuk menemuinya. Baru-baru ini terkirim satu kontainer berisi 150.000 potong kemasan. Selanjutnya, Australia minta dikirim bahan mentahnya saja.
Rengkuh tak berhenti pada usaha produksi kemasan dari pelepah pinang. Ia pun mengembangkan produksi sumber energi biomassa di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dengan biomaterial meliputi tandan sawit kosong, ampas tebu, kayu, kulit beras, dan sebagainya.
Baca juga: Jamie, Cinta dalam Sepotong Keju
”Pada Oktober 2023 sudah terkirim beberapa ton biomassa untuk bahan bakar pembangkit listrik di Jawa Tengah,” ujar Rengkuh, ketika dihubungi Kompas pada Rabu (27/3/2024) petang.
Rengkuh saat itu sedang dalam perjalanan darat dari Kubu Raya menuju Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sehari sebelumnya ia masih di Jakarta. Ia mengatakan, mendadak harus terbang ke Kalimantan untuk suatu urusan.
Dia menjelaskan, energi biomassa yang diproduksinya itu dari biomaterial yang berasal dari limbah pertanian dan perkebunan yang dipadatkan. Produk pemadatan biomaterial ini tidak ubahnya seperti bahan bakar kayu atau batu bara.
Berpikir desain
Apa yang digeluti Rengkuh kini adalah bagian dari hal yang dicita-citakan Rengkuh sejak lama. Pria kelahiran Garut, Jawa Barat, 26 Juli 1991 ini adalah desainer produk lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), 2008-2013.
”Saat kuliah saya selalu berpikir, ingin membuat desain suatu produk yang bisa diterima semua kalangan. Saya ingin membuat produk dengan analogi seperti tusuk gigi yang semua orang bisa memakainya,” ujar Rengkuh.
Rengkuh anak kedua dari dua bersaudara. Ayah dan ibunya pegawai negeri sipil. Ayahnya bekerja di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan ibunya di bawah Kementerian Lingkungan Hidup.
Semasa kecil, Rengkuh terkesan dengan hobi ayahnya yang senang melukis pemandangan. Begitu pula terkesan dengan ibunya yang sering mengajak Rengkuh jalan-jalan ke hutan. Itu semua membuat Rengkuh amat dekat dengan alam, amat dekat dengan keinginan untuk menjaga kelestariannya.
Di saat Rengkuh duduk di bangku kelas dua atau tiga SD, ada peristiwa yang memantik keinginannya untuk ikut menjaga kelestarian alam. Ia diajak ibunya naik ke lereng Gunung Guntur di Garut untuk reboisasi hutan yang gundul.
Ia terkesan dengan ibunya yang turut memelopori penanaman hutan kembali, serta mengembangkan survei tanah-tanah yang longsor. Tebersit di benaknya, ketika dewasa nanti Rengkuh juga ingin seperti ibunya yang bisa menjaga kelestarian hutan.
Saya ingin membuat produk dengan analogi seperti tusuk gigi yang semua orang bisa memakainya.
Ketika Rengkuh menginjak kelas 2 SMP, ayahnya dipindah kerja ke Jakarta. Mereka akhirnya menetap di Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten. Ibunya pun memutuskan untuk berhenti bekerja dari Kementerian Lingkungan Hidup dan beralih pekerjaan di bidang usaha furnitur. Rengkuh menjalani fase hidup itu hingga lulus SMA dan diterima kuliah di ITB.
Setelah lulus jenjang S-1 pada 2013, Rengkuh bekerja di sebuah industri desain di Jakarta. Ia lebih banyak mengerjakan desain produk furnitur. Sembari bekerja, Rengkuh memutuskan akan melanjutkan studi di jenjang S-2. Ia pun mengambil Program Studi Bisnis Manajemen Sekolah Bisnis Manajemen ITB, 2015 -2017.
”Setelah lulus S-2 saya resign dari industri desain dan diterima menjadi staf ahli Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk bidang penguatan kreativitas. Saya lalu ditempatkan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara,” kata Rengkuh.
Rengkuh mengemban pekerjaan untuk pengembangan daerah wisata selam di Wakatobi. Lagi-lagi, persoalan lingkungan hidup dijumpainya. Kawasan pantai dan laut Wakatobi dipenuhi sampah plastik.
”Bersama masyarakat saya berusaha mengatasi persoalan ini. Saya mengajak masyarakat untuk tidak membuang plastik di laut,” ujar Rengkuh. Di sinilah mulai tumbuh bibit-bibit naluri Rengkuh memilih jalan pengembangan komunitas untuk kebaikan lingkungan hidup.
Tahun 2018 Rengkuh mendapat tawaran sebuah korporasi dari Inggris untuk bekerja di bidang pengembangan komunitas atau masyarakat di pinggir hutan. Rengkuh ditempatkan di wilayah Jambi dan Sumatera Selatan. Tugas utamanya adalah mencegah masyarakat merambah hutan dan menghindarkan dari konflik dengan harimau.
Rengkuh melihat persoalan kebutuhan ekonomi yang mendorong tindakan masyarakat merambah hutan. Ia menggunakan pedoman cara berpikir desain untuk mengatasi persoalan ini. Ia melihat sumber daya yang ada dan potensi untuk mengolahnya supaya menghasilkan pendapatan.
”Dari situ saya melihat peluang dari pelepah pinang yang melimpah. Sudah terpikir untuk membuat kemasan dari pelepah pinang bersama masyarakat sekaligus untuk memberi penghasilan tambahan bagi masyarakat,” kata Rengkuh.
Baca juga: Atom Egoyan Tak Lelah Mencintai Film
Rengkuh kemudian mendapat kesempatan dari kantornya untuk mempelajari sistem pengembangan masyarakat ke Inggris dan India. Rengkuh berangkat ke Inggris pada Juli 2018 dan tinggal di sana selama sebulan. Ia mempelajari tentang pengembangan sistem pengolahan limbah domestik. Di Inggris, sistemnya sudah berkembang baik.
Rengkuh berpindah mengunjungi Jaipur, India, pada September hingga November 2018. Ia mengamati masyarakat yang memproduksi piring dan mangkuk dari dedaunan.
Di Jaipur, Rengkuh seperti memperoleh peneguhan untuk tetap menjadi desainer produk, sekaligus memulai langkah menjadi pengusaha. Orientasinya, tetap pada pengembangan komunitas untuk perbaikan serta pelestarian alam.
Rengkuh Banyu Mahandaru
Lahir: Garut, 26 Juli 1991
Pendidikan:
-S-1 Jurusan Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (2008-2013).
-S-2 Program Studi Bisnis Manajemen Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB pada 2015-2017.
Penghargaan:
-2023: Semangat Astra Terpadu untuk (SATU) Indonesia Awards Ke-14 dari perusahaan Astra untuk prestasi produksi kemasan makanan sekali pakai dari pelepah pinang.