Dengan mengembangkan ekowisata, Luis Hay menjaga kelestarian hutan dan menyelamatkan burung cenderawasih di Tanah Papua.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Kerusakan hutan mengancam ruang hidup burung cenderawasih di Tanah Papua. Melalui ekowisata di Pulau Misool, Raja Ampat, yang dikelolanya sejak tujuh tahun lalu, Luis Hay (39) menjaga kelestarian ”Burung Surga” itu dari kepunahan.
Perahu motor yang dikemudikan Luis Hay membelah lautan di bawah terang bulan, Rabu (27/3/2024) subuh. Bersama sejumlah pengunjung, Luis menyusuri perairan di sisi barat Kampung Kapatcol, Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Mereka menuju kawasan ekowisata yang menjadi habitat berbagai jenis burung, salah satunya cenderawasih.
Ia harus berangkat pagi-pagi buta. Sebab, biasanya burung cenderawasih bermain di kawasan ekowisata itu sekitar pukul 06.00-09.00 WIT. ”Kita harus tiba di lokasi sebelum cenderawasih datang. Kalau cuaca bagus, cenderawasih akan keluar dan jelas terlihat,” ujarnya.
Sekitar setengah jam berlayar, Luis tiba di dermaga kayu di pintu masuk kawasan ekowisata. Pengunjung yang ia bawa pun ikut turun. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati kebun-kebun warga sebelum tiba di kawasan hutan.
Bapak enam anak itu berjalan paling depan. Tangannya menggenggam parang. Saat menyabetkan parang untuk menyingkirkan ranting pohon yang menghalangi jalan, ia mengalihkan pandangannya ke atas. Langit yang semula cerah berubah menjadi gelap.
Selter untuk beristirahat sudah terlewat. Jarak menuju lokasi pengamatan burung cenderawasih tinggal sekitar 500 meter dengan medan sedikit menanjak. Luis pun mengajak wisatawan untuk mempercepat langkah agar sampai ke lokasi tujuan sebelum hujan turun.
Akan tetapi, belum 2 menit melanjutkan perjalanan, hujan turun cukup lebat. Wisatawan memanfaatkan rimbun pepohonan untuk berlindung dari hujan sembari memakai jaket dan jas hujan. Perjalanan pun dilanjutkan dengan menapaki jalan tanah yang mulai licin.
Dari kejauhan terlihat dua gubuk bertiang kayu dan beratap daun-daun kering. Luis bersama wisatawan masuk ke gubuk untuk berteduh sembari beristirahat setelah berjalan kaki sekitar 45 menit. Di dekat gubuk terdapat tempat duduk kayu yang biasa digunakan pengunjung untuk mengamati burung cenderawasih.
”Kita tunggu di sini. Semoga sebentar lagi langit cerah. Kalau tetap hujan begini, biasanya cenderawasih jarang keluar. Masih ada waktu menunggu hujan berhenti,” ucapnya.
Ketika hujan reda, kicau burung dengan suara beragam mulai terdengar. Luis yang semula berdiri segera berjongkok. Para wisatawan pun mengikutinya. Dari berbagai kicauan itu, ia bisa mengidentifikasi jenis-jenis burung yang datang, seperti cenderawasih, kakatua, mambruk, nuri, dan maleo.
”Terdengar ada suara cenderawasih. Kalau mau bicara jangan terlampau berisik. Jalan boleh, tapi harus pelan-pelan,” ujar Luis. Pandangannya menyapu pepohonan di sekitar hutan untuk mencari keberadaan cenderawasih.
Tak berselang lama, mata Luis berhasil menemukan posisi burung cenderawasih. Tangannya menunjuk salah satu pohon setinggi sekitar 25 meter. Saat pengunjung mengalihkan pandangan ke pohon tersebut, seekor burung dengan bulu dada berwarna coklat dan ekor berwarna kuning terbang menjauh.
Sembari mengikuti cenderawasih itu, beberapa wisatawan membidikkan kamera untuk memotret. Namun, belum sempat tombol pembuka rana (shutter) ditekan, cenderawasih kembali terbang dan menghilang di antara rimbunnya pepohonan.
”Itu cenderawasih kuning. Ada juga cenderawasih merah yang sering main di sini. Ini salah satu manfaat jika hutan dijaga, kita bisa melihat burung cenderawasih terbang bebas di alam,” ucapnya.
Keseimbangan ekosistem
Sejak 2017, Luis mengembangkan kawasan ekowisata di hutan yang berdekatan dengan kebun miliknya. Maraknya perburuan cenderawasih menjadi salah satu alasan yang mendorongnya untuk mengelola ekowisata itu.
Kepala Kampung Kapatcol tersebut menjaga kawasan hutan dari perburuan satwa. Ia dibantu beberapa warga. Pohon-pohon tidak boleh ditebang sembarangan.
”Kalau cenderawasih terus-terusan diburu dan hutannya ikut dirusak, lama-lama akan punah. Suatu saat, generasi masa depan Papua mungkin cuma bisa mendengar tentang cenderawasih tanpa bisa melihatnya hidup di alam bebas,” katanya.
Menurut Luis, melalui ekowisata, hutan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Sebab, tanpa menebang pohon dan menangkap satwa-satwa liar yang hidup di sana, warga tetap bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan wisata.
Selain pelancong lokal, kawasan ekowisata itu telah dikunjungi wisatawan dari banyak negara, seperti Korea Selatan, Australia, Perancis, India, Jerman, Amerika Serikat, dan Swedia. Pengunjung dikenai biaya transportasi perahu motor Rp 200.000-Rp 300.000 per orang.
”Ekowisata itu menjadi salah satu cara menyelamatkan lingkungan. Sejumlah pengunjung dari luar negeri datang hanya untuk melihat cenderawasih di hutan. Kalau cenderawasih ditangkap lalu dijual, di masa depan kami tidak akan mendapatkan apa-apa lagi,” jelasnya.
Luis menjelaskan, melestarikan cenderawasih bukan hanya menyelamatkan satwa tersebut dari kepunahan. Sebab, cenderawasih berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan tropis. Sebagai pemakan buah dan serangga, cenderawasih membantu penyebaran biji-bijian dan mengontrol populasi serangga di hutan.
Oleh sebab itu, cenderawasih ikut menjaga keanekaragaman hayati di hutan. Burung ini menjadi perantara tumbuh berkembangnya pohon-pohon penghasil buah-buahan sehingga mendukung kehidupan satwa-satwa pemakan buah lainnya.
”Kalau cenderawasih tidak diselamatkan, pohon-pohon akan semakin sedikit dan hutan terancam hilang. Padahal, bagi kami orang Papua, hutan dan laut adalah sumber kehidupan. Kesadaran ini yang harus terus ditumbuhkan hingga ke anak cucu,” katanya.
Luis Hay
Lahir: Sorong, 8 Juni 1984
Pendidikan: SMK Imanuel Sorong (lulus 2005)
Pekerjaan: Kepala Kampung Kapatcol, Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya