Agung Dwi Pratama, Kegagalan Berbuah ”Maggot”
Berkali-kali gagal dalam usaha membuat Agung Dwi Pratama menemukan ”maggot”. Ia ingin berdaya bersama masyarakat.
Bermodal tutorial dan berkali-kali gagal mencoba, Agung Dwi Pratama (29) mengembangkan maggot di Banggai, Sulawesi Tengah. Kini, ia menggandeng warga sekitar, dan beternak larva lalat hitam itu untuk dimanfaatkan bersama. Cita-citanya, lingkungan bersih dan warga pun berdaya.
Medio 2018, saat mengalkulasi kebutuhan ternak ayam kampungnya, Agung tercekik akan kebutuhan pakan yang begitu tinggi. Dedak, jagung, hingga nutrisi mencapai 75 persen dari ongkos produksi. Ia mulai mencari alternatif pakan.
Saat itu, ia juga belum lama mengalami kerugian besar. Sebanyak 700 ayam kampung yang diternaknya mati sekaligus. Virus menyerang. Kandang bersih tidak ada sisa. Ia pusing memikirkan modal dan keuntungan yang dibangun satu tahun terakhir. Terlebih lagi, ia baru saja menikah dan meninggalkan pekerjaan kantoran untuk beralih menjadi pengusaha. Sebelumnya ia telah berdagang keripik, dan bibit ayam.
Berbagai beban menggelayut di pundaknya. Oleh karena itu, pakan harus lebih ditekan pengeluarannya. ”Kalau kami itu hitungannya, dari Rp 50.000 harga ayam, misalnya, sebanyak Rp 40.000 adalah biaya operasional dan perawatan. Dari jumlah tersebut, Rp 30.000 biaya pakan per ekor,” kata Agung, di Banggai, Minggu (31/3/2024).
Baca juga: Ainun Murwani, Angkat Perkampungan Bantaran Sungai Yogyakarta
Riset awal yang dilakukan lulusan Teknik Elektro Universitas Tadulako ini adalah mengumpulkan referensi sebanyak mungkin. Ia akhirnya menemukan informasi akan maggot. Tidak menunggu lama, ia banyak membaca, menonton video terkait manfaat, hingga cara beternak maggot. Maggot adalah larva dari black soldier fly (Hermetia illucens), atau si lalat hitam.
Agung lalu melihat sebuah saluran di laman Youtube yang aktif memperkenalkan maggot. Di situ, ketertarikannya semakin tinggi. Pemilik saluran juga merupakan peternak ayam dengan produksi besar. Maggot disebutkan memiliki manfaat besar, kandungan protein tinggi, hingga bermanfaat untuk lingkungan.
Ia membulatkan tekad untuk terjun ke dunia maggot. Merogoh kocek Rp 1,5 juta, ia mengikuti kursus daring dan video tutorial. Tahapan dan proses pengembangbiakan maggot diajarkan secara menyeluruh. Ini termasuk pembuatan rumah dan ”makanan” untuk larva ini berkembang biak.
Ia pun mulai mencoba beternak maggot. Kurang sebulan, ia telah panen. Begitu gembira, ia menghabiskan maggot tersebut untuk pakan. Ia mulai beternak lagi dari awal. Setelah beberapa kali panen, ia sadar ada yang salah dengan pengelolaannya.
”Harusnya itu tidak kita habiskan karena harus beregenerasi. Jadi ada siklus yang harus dijaga,” ucapnya.
Setelah mempelajari hal tersebut, volume produksi mulai meningkat. Maggot merupakan pakan yang kaya protein. Namun, persoalan lain mulai datang. Untuk mendapatkan 5 kilogram maggot, dibutuhkan 10 kilogram sampah.
Sampah memang menjadi makanan utama dari telur lalat hitam. Sampah rumah tangga sisa makanan sehari-hari adalah media tumbuh yang begitu efektif untuk perkembangan maggot. Mengembangkan produksi berarti membutuhkan lebih banyak sampah.
Hingga akhirnya, ia berkenalan dengan sejumlah warga di sekitar Toili. Setelah berbincang, ia merasa harus berjejaring dan berkelompok agar menghasilkan sesuatu yang lebih besar dan berdampak dari sebelumnya.
”Kami akhirnya membuat kelompok yang diberi nama GenToili BSF. GenToili diambil dari nama generasi dari kecamatan Toili,” ujarnya.
Kekuatan perjuangan
Perkenalan dengan rekan kelompoknya membuat Agung terpacu untuk bergerak bersama. Mereka mulai mengumpulkan sampah di lingkungan bersama-sama. Berboncengan, mereka berkeliling ke rumah-rumah, warung makan, hingga pesantren untuk mengumpulkan sampah makanan. Mereka akan datang untuk mengambilnya.
Sampah tersebut dikumpulkan di sekretariat. Setelah difermentasi, lalu disiapkan untuk menjadi media kembang tumbuh maggot. Sistem rumah produksi sederhana juga dibuat. Mereka mampu menghasilkan hingga 200 kilogram dalam sebulan. Hasilnya dibagi rata bersama. Sebab, para anggota kelompok ini adalah peternak ayam, lele, atau ternak lain.
Baca juga: Basuki Budi Santoso, ”Gila” Menanam Pohon
Berbekal modal tersebut, mereka mengajukan proposal ke Pertamina EP Donggi Matindok Field yang memang beroperasi di Banggai. Setelah diseleksi, mereka masuk sebagai kelompok binaan. Bantuan pun mengalir.
”Kami dapat rumah produksi, kolam lele, dan pelatihan. Lalu ada juga mesin cacah untuk sampah, yang sayangnya ada kesalahan produksi saat kami pesan. Itu sampahnya kalau dimasukkan malah muncrat ke muka,” tutur Agung terbahak. Mesin tersebut dalam perbaikan saat ini.
Menurut Agung, mesin cacah sangat dibutuhkan kelompoknya. Sebab, dengan jumlah sampah yang banyak, harus diolah dengan alat. Selama ini, sampah difermentasi selama beberapa hari untuk bisa menjadi media tumbuh maggot.
Hal tersebut juga seturut dengan rencana-rencana besar ke depan. Saat ini, mereka telah memiliki produk lain berupa maggot kemasan. Maggot disangrai dan dikemas yang diberi nama Maggo Booster.
Mereka mengemas dan menjualnya sendiri. Setelahnya, mereka berkeliling kampung menawarkan produk ini ke toko hobi, pegiat hewan peliharaan, juga komunitas. Produk ini cocok untuk ikan koi, burung kontes, dan hewan peliharaan lain.
Ia menjelaskan, produk ini dibuat untuk menjaga keberlangsungan, sekaligus eksistensi kelompok. Sebab, tidak semua anggota kelompok saat ini adalah peternak ayam atau lele. Produk yang bisa dijual bebas akan mendatangkan manfaat lebih untuk pribadi ataupun kelompok.
”Kami juga punya mimpi untuk bikin pabrik tepung maggot. Itu kami rasa akan memberikan manfaat yang akan lebih besar ke depan,” kata Agung. ”Yang sulit itu sekarang untuk sampah pun ada yang minta kami bayar. Padahal, kami bantu untuk bersihkan lingkungan dan rumah warga dari sampah.”
Meski begitu, ia tidak kenal menyerah. Sejak awal, ia telah berkali-kali gagal, tetapi selalu berusaha. Sang istri, Devyayu Prabaningsih, menjadi motivator utamanya untuk meraih mimpi yang diidamkan.
Dorongan untuk bangkit dan mencoba banyak hal telah mereka lalui sejak berpacaran di masa kuliah. Hal itu berlanjut hingga setelah mereka menikah saat ini.
Sang istri, lanjut Agung, selalu menekankan untuk tidak berpuas diri akan sesuatu yang telah dilakukan. ”Pasti selalu bisa lebih baik, dan terus bersyukur. Yang lebih penting, apa yang kita lakukan itu berdampak untuk banyak orang,” ucapnya. ”Setelah berkali-kali gagal, dan tetap berjuang, nanti hasilnya pasti terasa manis.”
Agung Dwi Pratama
Istri: Devyayu Prabaningsih (30)
Pendidikan : Teknik Elektro Universitas Tadulako, Palu
Aktivitas : Ketua Kelompok GenToili, Banggai, Sulawesi Tengah