Claire Denis, Gugah Kemanusiaan lewat Film
Film adalah kekuatan untuk berpendapat bagi sutradara Claire Denis (77). Seperti apa saja perspektifnya?
Lebih dari tiga dekade berkarya, sutradara dan penulis skenario asal Perancis, Claire Denis (77), memanfaatkan film sebagai sarana menyuarakan pandangan dan perasaannya. Dengan film, ia berharap bisa berkontribusi untuk membangun dunia yang lebih baik bagi siapa pun yang meninggalinya.
Mengenakan blazer hitam dipadu jins dan sepatu boots, Denis menaiki panggung di auditorium Museum of Islamic Arts, Doha, Qatar, pada Sabtu (2/3/2024) pagi. Ia yang mengaku kurang bugar hari itu karena baru saja mendarat di Doha setelah hampir tujuh jam penerbangan dari Paris ke Doha tetap menunjukkan semangat mengisi kelas selama dua jam.
Pengalaman Denis memang layak dibagikan kepada para pembuat film baru yang hadir dalam kelas tersebut dan mengikuti pelatihan selama sepekan di Qumra 2024. Denis merupakan salah satu sutradara dan penulis skenario perempuan yang cukup moncer dengan hasil karya yang berkibar di berbagai festival film dunia, seperti Cannes, Locarno, Berlin, dan Venice.
Sebanyak 16 film panjang lahir dari tangannya. Film pertamanya bertajuk Chocolat (1988) langsung berhasil masuk Festival Film Cannes untuk bertarung memperoleh Palme D’Or saat itu. Meski tak menang, film tentang seorang perempuan yang bersahabat dengan penjaga rumahnya ketika tinggal di Kamerun, Afrika, ini mencuri perhatian karena gugatannya terhadap sistem kelas yang memunculkan rasisme di kemudian hari.
Pilihan latar tempat di Afrika ini berhubungan dengan masa kecil Denis yang tumbuh di sejumlah negara di Afrika yang dijajah Perancis, seperti Burkina Faso, Kamerun, Senegal, dan Perancis Somaliland yang saat ini menjadi Djibouti. Ayah Denis merupakan pegawai yang ditugaskan di negara-negara tersebut. Akan tetapi, Denis kembali ke Perancis pada usia 12 tahun karena terserang polio dan butuh pengobatan.
Baca juga: Jalan Lain Menjaga Ingatan soal Palestina
Namun, dari masa kecilnya itu, perspektif Denis dalam melihat ketidakadilan terasah. Bahkan, pendidikan yang diperolehnya ini membawa pengaruh pada film-film yang dibuatnya.
”Saat itu, kami memahami bahwa kemerdekaan yang dibutuhkan mereka (orang-orang Afrika). Ayahku juga mengatakan hal serupa walau dia bekerja untuk Perancis. Dia mengajarkan aku dan saudaraku untuk memahami tentang tidak baiknya penjajahan,” jelas Denis yang sempat merasa tak cocok dengan lingkungan di Perancis ketika kecil.
Selain Chocolat, ia juga membesut film White Material (2009) yang mengangkat tema tentang Afrika dengan konflik perlawanan terhadap kolonialisme. Tak melulu seputar kolonialisme dan politik, Denis juga bermain dengan kritik sosial dalam kehidupan sehari-hari, seperti Nenette et Boni (1996) yang membawa pulang Golden Leopard dari Festival Film Locarno.
Film itu soal membangun hubungan juga. Itu sangat penting. Terlebih saya adalah orang yang sangat pesimistis dan kadang tidak sabaran sehingga menyenangkan saat menemukan tim kerja yang solid dan bisa berbicara dengan santai mengenai pekerjaan.
Denis yang mengaku senang dengan film karena memberinya ruang bebas untuk mengeksplorasi apa pun lagi-lagi memukau dengan keberaniannya mengangkat tema mengenai para tentara selepas pulang perang melalui film Beau Travail (1999).
”Kalau dibilang berani sekali Denis masuk ke tema maskulin, tahu apa dia. Aku pernah berpikir jadi laki-laki sepertinya enak, andai aku menjadi laki-laki. Tetapi, nyatanya, mereka juga manusia, punya banyak sisi. Ini muncul setelah aku berjumpa tidak sengaja dengan seorang tentara yang baru pulang dari perang. Jadi, ini memang sudut pandangku secara bebas mengenai sesama manusia,” ungkap Denis yang menjadi salah satu sutradara perempuan berpengaruh di dunia.
Ia juga memproduksi film drama seperti Let The Sunshine In (2017) dan Both Sides ofThe Blades (2022) yang dianugerahi Silver Bear untuk Sutradara Terbaik di Festival Film Berlin. Adapun dua film drama ini dipercayakan peran utamanya oleh Denis kepada aktris Perancis, Juliette Binoche, yang berulang kali bekerja sama dengan Denis.
”Film itu soal membangun hubungan juga. Itu sangat penting. Terlebih saya adalah orang yang sangat pesimistis dan kadang tidak sabaran sehingga menyenangkan saat menemukan tim kerja yang solid dan bisa berbicara dengan santai mengenai pekerjaan,” ujar Denis yang bahkan menghindari pemilihan pemain melalui casting.
Berbicara mengenai hubungan yang solid, Denis membuktikannya bukan hanya lewat kerja sama dengan aktor dan aktris yang sama untuk sejumlah judul. Nama Agnès Godard, sinematografer, adalah orang yang sangat dipercayanya. Dari 16 judul film buatannya, sebanyak 11 film selalu dilakukan Denis bersama Godard.
Ambil keputusan
Kesuksesannya di dunia film ini rupanya juga berawal dari kesadarannya untuk memutuskan nasibnya sendiri. Semula, ia mengambil kuliah di jurusan ekonomi. ”Itu seperti bunuh diri. Hari-hari yang kulalui hanya membuatku marah,” ujarnya sambil tertawa.
Hingga pada 1969, ia pindah studi ke sekolah tinggi film, yaitu L’Institut des Hautes Études Cinématograpiques (IDHEC) yang kini berganti nama menjadi La Femis. Lulus pada 1971, ia mulai terjun ke dunia film membantu sejumlah sutradara seperti Jacques Rivette, Robert Enrico, Costa-Gravas, hingga Wim Wenders. Dari Wenders-lah, Denis mendapat suntikan spirit untuk membuat filmnya sendiri.
Terlebih lagi, Denis merasa banyak hal yang ingin disuarakan dan dibaginya kepada orang-orang. Film, baginya, menjadi sarana berpendapat dan berbagi sudut pandang. ”Aku hanya berbagi visi. Aku ingin lewat film ini kekejaman di dunia ini berkurang. Kalau untuk dunia yang damai, sepertinya tidak mungkin. Jadi, setidaknya kekejaman makin berkurang,” katanya.
Baca juga: Perempuan, Film, dan Ruang Aman
Atas dasar ini, ia pun aktif dalam berbagai aksi kemanusiaan yang berkaitan dengan perlawanan terhadap ketidakadilan, kekerasan, dan kekejaman. Salah satunya pada Desember 2023, ia bersama 50 sineas menandatangani surat terbuka yang dipublikasikan di koran Liberation terkait dengan dorongan gencatan senjata di Gaza, mendesak Israel menghentikan serangan yang membunuh banyak masyarakat sipil, dan membiarkan bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Palestina.
Di usianya yang melewati 70 tahun ini, Denis tetap memiliki banyak mimpi. Bahkan, ia masih bersiap menggarap film barunya pada tahun ini. Terakhir pada 2022, film Stars at Noon (2022) miliknya meraih Grand Prix di Festival Film Cannes. ”Ada yang bilang aku akan pensiun. Rasanya tidak. Aku akan berhenti hanya saat aku tidak lagi di dunia ini,” tutupnya.
Claire Denis
Tempat tanggal lahir: Paris, 21 April 1946
Pendidikan: L’Institut des Hautes Études Cinématograpiques (IDHEC)