Jonathan Kwik Mengawinkan Hukum Humaniter dan AI
Jonathan Kwik meneliti hukum humaniter dan kecerdasan buatan, lalu memaparkan hasilnya ke forum internasional.
Sekilas, hukum humaniter atau hukum perang serta kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) adalah dua ilmu yang tidak ada nyambung-nyambungnya. Namun, Jonathan Kwik (31) tak beranggapan begitu. Ia melihat celah yang patut diteliti. Ini penting karena AI digunakan dalam praktik hukum dan perang modern.
Jangan tertipu dengan usia Jonathan yang masih muda. Begitu-begitu, pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, ini telah menyandang gelar doktor bidang hukum dari Universitas Amsterdam, Belanda. Disertasinya yang membahas penggunaan teknologi senjata otonom secara sah dibicarakan beberapa pihak, termasuk surat kabar Belanda, tahun ini.
Penelitian Jonathan membuka mata publik tentang celah teknologi yang tak tersentuh hukum. Hal ini tak disadari para pembuat kebijakan karena tidak semua paham seluk-beluk teknologi. Di sisi lain, tak banyak pembuat kebijakan (misalnya praktisi hukum, politik, dan militer) yang mau mempelajari bidang ilmu yang berseberangan—apalagi sangat teknis—seperti teknologi. Di sisi lain, ahli teknologi pun tak paham-paham betul soal hukum.
”Buat saya, itu masalah besar karena kalau mau merancang norma baru dan kita tidak tahu teknologinya, hasilnya akan tidak bisa diterapkan di dunia nyata,” tutur Jonathan dari Den Haag, Belanda, Rabu (27/3/2024).
Hukum yang tidak padu dengan apa yang diaturnya sebenarnya masalah klasik di sejumlah negara. Dalam hal ini, aturan yang disahkan bisa saja ”sangat berbahasa hukum” sehingga tidak bisa diterjemahkan ke ”bahasa teknologi”. Bisa juga aturan yang lahir malah tidak mengacu ke teknologi tertentu sehingga publik bingung menafsirkannya.
Selain itu, penggunaan AI perlu diperhatikan. Jonathan menilai, AI bisa berhalusinasi asal dimanipulasi dengan tepat. Ia mencontohkan bahwa komputer bisa mengidentifikasi sebuah gambar kucing. Ketika gambar bisa dimanipulasi, misalnya, dengan menambah tiga piksel di bagian tertentu pada gambar, komputer bisa mengidentifikasi gambar itu sebagai anjing.
Contoh tadi hasil karangan Jonathan. Namun, yang ingin ia sampaikan adalah siapa pun bisa memanipulasi teknologi asal tahu celahnya. Beberapa pihak telah menggunakan AI untuk mengidentifikasi target serangan. Jika dimanipulasi, AI bisa dikelabui untuk menyerang warga sipil.
Baca juga: Perkembangan Kecerdasan Buatan, Tonggak Bersejarah hingga Capaian Terkini
Beberapa pihak juga menggunakan AI dalam sistem peradilan. Algoritma dalam AI memproses data, misalnya, untuk membantu menentukan hukuman atau memprediksi kecenderungan residivisme.
Jonathan berpendapat bahwa hal ini perlu diperhatikan karena proses pengolahan data oleh AI tidak terpantau. Dalam kondisi tertentu, AI berpotensi menghasilkan keputusan bias karena data yang diolah pun bias.
Ini adalah contoh celah-celah yang, menurut Jonathan, perlu didiskusikan. Selain itu, proses analisis AI, akurasi hasilnya, hingga pertanggungjawaban atas serangan pun perlu dibicarakan.
”AI sudah digunakan di dunia, tetapi orang hukum belum berhasil membuat kerangka hukum yang jelas untuk mengendalikan teknologi. Kerangka hukum untuk menggunakan teknologi secara bertanggung jawab itu penting sekali,” katanya.
Perang pun diyakini akan terus terjadi, bahkan berevolusi menjadi lebih modern. Ukraina, misalnya, menggunakan pesawat nirawak (drone) untuk menyerang Rusia. Sementara itu, Israel menggunakan AI dalam teknologi militernya untuk memilih lokasi target serangan serta mengatur perbekalan pasukan.
Baca juga: Palestina Jadi Ladang Uji Coba Teknologi Kecerdasan Buatan Militer Israel
Perang tak lagi sekadar saling lempar bom dan berkirim rudal, tetapi kini juga ada serangan siber. Hukum humaniter yang berusia lebih dari 100 tahun dianggap tidak relevan lagi sehingga perlu diperbarui.
”Menurut saya, kita bisa menggunakan prinsip-prinsip ini (hukum humaniter) selama ditafsirkan ulang berdasarkan teknologi yang dimiliki,” kata Jonathan. ”Tapi, ini pendapat saya. Ada juga yang tak setuju,” ujarnya.
Berbagi ilmu
Orang yang mendalami hukum dan AI sekaligus tergolong jarang. Karena itu, Jonathan ingin betul berbagi ilmu ke publik, syukur-syukur jika hal ini bisa membuka ruang diskusi di berbagai kalangan.
Pencinta kucing dan gim ini pernah memaparkan hasil risetnya di sejumlah forum internasional. Beberapa di antaranya konferensi Komite Palang Merah Internasional (ICRC), NATO Cooperative Cyber Defence Center of Excellence (CCDCOE), serta forum PBB di Kelompok Pakar Pemerintah mengenai Sistem Senjata Otonom yang Mematikan (GGE on LAWS).
Pemaparan Jonathan lantas menjadi topik pembicaraan baru di berbagai kalangan, termasuk akademisi dan pembuat kebijakan. Ada pula yang tak segan bertanya banyak hal kepada Jonathan. Ia senang karena orang-orang terbuka untuk belajar hal baru dan mendiskusikan isu penting.
”Ini artinya, diskusi kita sudah berkembang dan maju ke depan, tidak muter-muter saja seperti sekarang,” katanya. ”Selama lebih dari 10 tahun, mereka bergelut di masalah definisi, seperti apa definisi senjata otonom. Sejak 2013 sampai sekarang belum selesai, padahal teknologi berkembang terus.”
Suka mengajar
Keinginannya untuk berbagi ilmu tak lepas dari kesukaan Jonathan untuk mengajar. Setelah rampung dengan studi pascasarjana di Universitas Groningen, ia sempat kembali ke Indonesia selama tiga tahun dan mengajar di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Mengajar membantunya berpikir secara sistematis.
Pemikiran sistematis pula yang membantunya selama masa studi dari sarjana hingga doktor. Jonathan sebisa mungkin menyusun jadwal dan target yang ingin dicapai selama studi. Ia berjanji untuk menyelesaikan masa S3 dalam empat tahun. Tahun pertamanya dihabiskan dengan belajar dari nol di fakultas teknologi informasi (TI) universitasnya.
Jujur, ia kesulitan belajar TI karena tak punya latar belakang di bidang itu. Ia juga tak paham terminologi TI. Berbekal rasa penasaran akan ilmu baru, ia memacu diri untuk belajar ke sana kemari. Buku-buku TI untuk mahasiswa S1 pun dilahap. Usahanya lantas berbuah manis.
Jonathan semula tak menyangka akan menapaki karier dan studi di bidang hukum. Ia semula mau belajar psikologi di Universitas Groningen setelah lulus SMA, tetapi keberuntungan membawanya ke prodi pilihan keduanya: hukum.
Dalam perjalanannya, Jonathan menaruh minat pada hukum humaniter setelah mendapat kuliah tentang itu suatu waktu. Hukum humaniter pun jadi salah satu bidang keahliannya saat ini. Ia berharap ilmunya berguna bagi publik.
”Orangtua saya, terutama ibu, sejak dulu mengatakan agar saya bisa bantu orang, memberi dampak positif dari apa pun yang dilakukan. Sayangnya, saya bukan orang kuat sehingga kontribusi saya tidak bisa dari fisik,” ucapnya. ”Jadi, kalau mau berdampak positif ke masyarakat, saya pikir bisa melalui otak saya.”
Jonathan Kwik
Tempat, tanggal lahir: Semarang, 19 Maret 1993
Orangtua: Andy Siswanto dan Han Ay Lie
Pendidikan:
- Sarjana Hukum Universitas Groningen, Belanda (2015)
- Magister Hukum Universitas Groningen, Belanda
- Doktor Hukum Universitas Amsterdam, Belanda
Pekerjaan:
- 2016-2019: Dosen Universitas Katolik Soegijapranata
- 2016-kini: mitra akademis ICRC Indonesia dan Timor Leste
- 2023-kini: Tim ahli Asia-Pacific Journal of International Humanitarian Law