Bathara Saverigadi Dewandoro, Bara Seni Seorang Bathara
Bathara Saverigadi Dewandoro adalalah koreografer dan sutradara drama wayang yang mengangkat karya segar bagi kaum muda.
Bathara Saverigadi Dewandoro (27) adalah manifestasi gelora seni dan budaya tradisional beregenerasi. Bermula sebagai penari dan koreografer tari tradisi, dia kini memanggul peran sutradara drama wayang. Seniman muda inspiratif ini menghadirkan interpretasi karya segar bagi kaum muda.
”Aku bercita-cita agar suatu saat bisa mengadakan pertunjukan internasional,” kata Bathara atau yang akrab disapa Ara tentang masa depannya saat bersua di Pos Bloc Jakarta, Desember lalu.
Darah seni telah lama mengalir deras dalam Ara. Lahir di Yogyakarta, orangtua Ara, Suryandoro dan Dewi Sulastri, adalah pendiri Swargaloka yang merupakan organisasi nirlaba yang mengusung budaya tradisi sebagai dasar berkesenian, termasuk lewat drama wayang. Saat Ara berusia setahun, keluarganya pindah ke Jakarta pada masa Reformasi.
Ara sekeluarga tinggal dekat kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan dunia pertunjukan. Padahal, orangtuanya tak pernah memimpikan dia ikut meneruskan jejak mereka bersama saudara-saudari lainnya.
Dasar kepenarian Ara diasah serius saat di bangku SD. Di kelas I, Ara mulai belajar teknik tari Surakarta. Kebetulan sang ayah juga memahami tari ini. Saat di kelas IV, Ara memperluas wawasannya dengan belajar tari Jawa Timur dari kenalan ibunya. ”Tari Remo dari Jawa Timur paling memicu kesukaanku pada dunia tari sampai sekarang,” ucap anak ketiga dari empat bersaudara ini.
Ara juga belajar lagi tentang tari Bali. Dengan demikian, teknik kepenarian Ara terinspirasi tari tiga daerah, yaitu Surakarta, Jawa Timur, dan Bali. ”Aku merasa tiga gaya tari ini sudah cukup melengkapi teknikku,” tuturnya.
Tari Surakarta mengajarkan Ara tentang bagaimana menaruh perasaan, keluwesan, dan kesabaran di setiap gerakan, sedangkan tari Jawa Timur yang keras menempa kemampuan Ara soal gerakan staccato, cepat serta mempunyai spirit patriotik. Adapun tari Bali membuka pemahamannya tentang pengaturan tempo dan detail gerakan, seperti jeriring dan nyeledet.
Berkat ketekunan berlatih, Ara bisa tampil di acara kenegaraan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lomba demi lomba pentas tari ia ikuti, sementara gelar juara bersama tim juga ia rasakan. Bersama Swargaloka, ia mendapatkan piala tetap (dari yang sebelumnya piala bergilir) dalam Festival Selaras Pinang Masak karena juara umum selama 2011-2013.
Baca juga:Ari Bayuaji: Menenun Seni, Memaknai Kolaborasi
Pada 2012, Ara meluncurkan karya koreografi pertamanya, Tekad, yang diikuti karya-karya lainnya dalam berbagai acara Swargaloka. Setahun kemudian, pemuda ini mencetak rekor di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai penata tari tradisional termuda di usia 15 tahun lantaran menggarap proyek drama wayang anak berjudul Anoman Duta bersama 150 anak.
”Aku jadi berpikir bahwa penghargaan itu adalah tanggung jawab besar sehingga harus konsisten berkarya. Aku enggak mau orang berpikir aku berhasil karena anak seniman. Privileseitu memang ada karena aku bisa membangun jejaring, tetapi aku ingin memanfaatkannya dan membuktikan kualitas karyaku,” ujar Ara.
Namanya juga Ara, ia menolak membatasi diri, bahkan ketika sudah berkuliah. Bersama empat rekannya, Ara membentuk tim Ksatria untuk berlaga di Indonesia Mencari Bakat 2021. Ara sebetulnya sudah bermimpi tampil di acara ini sejak bocah. Membawakan tari tradisional, mereka keluar sebagai kampiun.
Saat merancang koreografi, Ara menyesuaikan dengan konsep proyek. Jika konsepnya lebih modern, dirinya tak akan sungkan mencampur elemen modern, seperti hip hop hingga waacking. Ada lebih dari 40 karya koreografi yang dibuat Ara. Ara juga menyalurkan ilmunya di dua kelas tari di Swargaloka yang terdiri atas 22 orang.
Sutradara muda
Kiprah Ara di Swargaloka berlanjut sebagai sutradara pertunjukan. Sama seperti lainnya, ia melewati tahap sebagai asisten sutradara terlebih dulu. Biasanya, Ara mendampingi pamannya, Irwan Riyadi, menggarap pertunjukan drama wayang. Mulai 2020, Ara rajin terlibat dalam pertunjukan Swargaloka dalam penggarapan cerita dan konsep visual.
Ara lantas debut sebagai sutradara, baik untuk pertunjukan pendek maupun panjang. Dari sekitar 10 karya, ada tiga karya yang berkesan di hati, yaitu Sang Penjaga Hati (2019), Tahta Mas Rangsang (2022), dan Ratapan di Timur Tanah Jawa: Kerajaan Jin Alas Purwo (2023). Ratusan orang menonton pertunjukannya.
Berbeda dari pertunjukan wayang orang, Swargaloka menggelar drama wayang yang menggunakan bahasa Indonesia. Drama wayang di Swargaloka umumnya menggambarkan fokus suatu peristiwa hidup si karakter, tetapi masih membawa filosofi wayang orang. Drama wayang bisa dibilang merupakan jembatan orang awam untuk mengenal cerita dan filosofi wayang.
Ara mengangkat sisi karakter wayang yang jarang tersorot ataupun legenda urban. Dalam Sang Penjaga Hati, contohnya, pemuda ini mengisahkan kisah percintaan Narasoma dalam Mahabharata, sedangkan dalam Kerajaan Jin Alas Purwo, dia menceritakan hasrat mencari kekuasaan berdasarkan legenda urban di Alas Purwo, Banyuwangi. ”Banyak cerita atau permasalahan di dunia wayang itu sangat relate dengan kehidupan sekarang. Anak muda perlu dikenalkan dengan tokoh-tokoh itu. Cerita wayang bisa membuat anak muda lebih sadar tentang hidup bernegara, bersosial, dan berbudaya itu penting,” kata Ara.
Baca juga:Bayu Skak, Multisemesta Lokadrama Jawa
Esensi pertunjukan wayang orang turut dijaga, seperti lewat eksistensi tari, musik, dan unsur teatrikal. Kalau pintu masuk pemain ke panggung berada di sisi kanan, berarti pintu keluar di sebelah kiri. Instrumen musik tradisional, seperti gamelan, tetap dipakai, tetapi digabung dengan instrumen modern. Gaya tari lebih dinamis agar atraktif.
Agar relevan, Ara kerap mengangkat topik universal, seperti romansa dan kematian. Menjadi sutradara memang tidak mudah dibandingkan dengan koreografer. Ara harus memutar otak untuk banyak hal, termasuk bujet. Namun, kepuasannya setimpal.
Ara melihat belakangan anak muda Indonesia semakin melek untuk mengenal seni dan budaya tradisional. Menurut dia, kedua aspek itu merupakan hal penting karena merupakan bagian dari identitas yang membuat diri menjadi seorang individu yang unik.
”Aku juga berjanji pada diri sendiri untuk selalu membawa unsur lokal dalam karya-karyaku. Karena aku merasa tujuanku hadir di industri seni pertunjukan adalah membaca tradisi dan menafsirkannya dengan segala kemampuan yang aku punya,” kata Ara.
Bathara Saverigadi Dewandoro
Lahir: Bantul, Yogyakarta, 7 Februari 1997
Pendidikan: S-1 Fakultas Komunikasi LSPR Institute of Communication & Business, Jakarta (2015-2021)
Pekerjaan:
- Penari, koreografer, dan sutradara pertunjukan
- Pelatih tari Swargaloka dan Omah Budaya Wulangreh
Art Director Swargaloka Art
Karya koreografi, antara lain:
- Tari Sun Kembang Using (2017)
- Jejak Asa Sang Dewi 3 (2018)
- Tembang Nestapa (2019)
- Bumilangit (2022)
Prestasi, antara lain:
- Penghargaan Anugerah Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kategori Remaja Berprestasi, 2015
- Satu dari 56 Seniman Terpilih untuk Program Pegiat Budaya ke Selandia Baru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016
- Satu dari 10 Koreografer Muda Potensial, Indonesia Dance Festival, 2018
- Satu dari 14 Kreator Terpilih, Ruang Kreatif Seni Pertunjukan, Galeri Indonesia Kaya, 2019
- Satu dari 8 Koreografer Terpilih, Jakarta Dance Meet Up Selection, Dewan Kesenian Jakarta, 2019
- Juara 1 kategori Traditional Dancesport Pra Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI, 2023
Pengalaman, antara lain:
- Penari Kontingen DKI Jakarta pada Duta Seni Pelajar se-Jawa Bali di Surabaya, 2011
- Pendiri dan Ketua Pelaksana Festival Tari Kreatif Nusantara, 2013