Dadi Mulyadi, petani di Ciamis, berjuang atas hak tanah selama 20 tahun lebih. Ilmunya kini berguna untuk sekitarnya.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Dadi Mulyadi (64) berjuang selama 20 tahun untuk hak tanah bagi dia dan ratusan keluarga di Kampung Cijoho, Desa Muktisari, Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kini, dia tengah mencoba mendampingi para petani untuk benar-benar sejahtera dari tanah yang didapat dengan susah payah itu.
Dadi akhirnya menggenggam erat sertifikat tanah yang diserahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto, Kamis (12/10/2023). Siang itu, di Desa Muktisari, Ciamis, Jawa Barat, puluhan warga termasuk Dadi menjadi penerima redistribusi lahan dari pemerintah.
Total ada 250 warga yang mendapatkan hak atas lahan seluas 106,5 hektar eks perkebunan PT Maloya. Luas lahan yang didapatkan warga bervariasi.
Dadi, misalnya, mendapat tanah seluas 90 bata atau setara 1.260 meter persegi. Ada warga lain yang mendapat tanah dengan luasan berbeda. ”Sekarang sudah lega, kami sudah tidak ragu lagi menanam. Tidak ada lagi tekanan,” ujarnya.
Kerutan di wajah Dadi menjadi saksi perjuangannya. Sejak tahun 2000-an, dia kenyang diintimidasi. Tekanan dari pihak-pihak, seperti preman hingga diduga aparat, membuat para petani selalu waswas saat menggarap lahannya.
Ketika itu terjadi, dia selalu yang terdepan memberi semangat warga agar tidak takut dan tetap mengolah tanah telantar itu. Tidak hanya dengan menanam, ia berjuang lewat diskusi hingga aksi yang tidak terhitung lagi jumlahnya.
”Rekan-rekan perjuangan saya sudah banyak yang meninggal karena usia. Semoga mereka tahu, usaha ini sekarang tidak sia-sia,” katanya.
Budidaya
Bukan tanpa alasan Dadi ngotot berjuang demi tanah di kampung halamannya. Tanpa hak atas itu, Dadi dan banyak warga di kampungnya pernah dibuat menyerah akibat keadaan. Demi tetap hidup, mereka ”terusir” ke berbagai daerah dengan bekal pas-pasan.
Dadi, misalnya, pernah lama meninggalkan Cijoho. Periode tahun 1970-2000, dia menjadi pegawai rumah makan, buruh tani, buruh bangunan, serta penjual ulekan batu di Bandung hingga Cimahi.
Ironisnya, perjuangannya tidak pernah membuahkan hasil ideal. Dia dan keluarga tetap saja hidup susah. Hingga akhirnya, dia pulang kampung. Dia nekat mengelola tanah telantar di Cijoho.
Dulu, lahan di Cijoho itu dikuasai pemerintah kolonial Belanda pada 1905. Pada 1975, lahan digarap PT Maloya dengan masa berlaku hak guna usaha (HGU) hingga 31 Desember 2010.
Apalagi, durian termasuk tanaman keras yang baik untuk tanah dan mampu menyerap air
Setelah mendapat izin dari perusahaan pemilik HGU, Dadi dan warga lain mulai membersihkan lahan dari pohon karet. Namun, saat lahan sudah dibersihkan dan mereka mulai menanam, tekanan dari luar muncul. Tujuannya, ingin merebut kembali lahan itu.
”Seingat saya, kami mulai menebang pohon-pohon karet untuk menjadi ladang. Saya bersama paman lalu membuat sawah yang begitu sulit. Namun, saat sudah rampung, pihak yang katanya mewakili perusahaan ingin mengambil kembali lahan itu,” kenangnya.
Akan tetapi, warga bergeming. Dadi dan warga lainnya sudah bosan menjadi penonton tanpa menikmati lahan yang ada di kampung sendiri. Mereka menanam singkong dan kacang tanah di lahan itu.
Dadi pun bergabung dengan Serikat Petani Pasundan (SPP) untuk memperjuangkan Reforma Agraria di Cijoho. Bersama para sesepuh kampung, dia mengajak masyarakat tetap bertahan dan menggarap lahan.
Namun, tidak semua warga mampu konsisten menanam seperti Dadi. Sebagian penggarap tidak mendapatkan hasil panen ideal. Kondisi ini membuat mereka patah arang, bahkan ada yang mulai meninggalkan lahan-lahan tersebut.
Dadi tidak tinggal diam. Sebagai Ketua Kelompok Tani Hortikultura Kampung Cijoho, dia lalu mencari komoditas yang mudah ditanam dan berpotensi menguntungkan.
Panen perdana
Tahun 2017, pilihannya jatuh pada durian. Alasannya, durian tidak pernah sepi peminat. Hampir semua kios durian yang ia tahu kewalahan memenuhi permintaan konsumen. ”Apalagi, durian termasuk tanaman keras yang baik untuk tanah dan mampu menyerap air,” ujarnya.
Menurut dia, ada 120 pohon yang ditanam di lahan komunal hasil Reforma Agraria seluas 3 hektar. Modalnya dari warga. ”Ilmu menanamnya kami dapatkan dari bahan bacaan seadanya hingga bertanya ke para petani buah,” katanya.
Awal tahun ini, hasilnya terasa. Dia dan warga berhasil panen perdana. Dari setiap pohon durian, bisa dipanen 15 buah atau total sekitar 4 kuintal.
”Berbuahnya lebih banyak dari itu. Namun, buah lainnya sengaja dibuang biar nutrisinya tidak terbagi. Kalau kebanyakan, pohon bisa mati karena nutrisi terbagi ke buah-buah lainnya,” ujar Dadi.
Dadi dan warga bahkan kini tidak hanya jago menanam. Mereka belajar membuka jaringan pasar. Hasilnya, warga berhasil menjual 100 butir durian ke Tasikmalaya hingga Bandung. Harganya Rp 300.000 per kilogram. ”Lumayan tinggi karena rasa buahnya yang manis,” katanya.
Keuntungan dari penjualan ini, lanjut Dadi, masih dipergunakan untuk meningkatkan kualitas kebun bersama. Dia juga tidak melarang warga desa untuk turut menikmati buah durian yang berkualitas dengan harga yang cukup tinggi itu.
”Selain dijual, warga desa juga bebas menikmati buahnya. Tapi masih belum bagi hasil karena keuntungan dari penjualan kami putar lagi untuk mengembangkan lahan sekaligus membina warga,” ujarnya.
Nani Nuraeni (40) bersyukur dengan bantuan dari Dadi untuk mengelola lahannya. Selain masih menanam singkong dan kacang tanah, lahan yang ada juga ditanam beberapa tanaman keras, seperti durian dan avokad sesuai dengan arahan Dadi.
”Pak Dadi selalu mengingatkan kami untuk terus mengelola lahan yang telah kami perjuangkan. Dia salah satu tokoh yang terus berjuang bersama kami dari awal. Yang paling penting, dia tidak pelit berbagi ilmu untuk budidaya buah-buahan,” ujarnya.
Dengan berbagai contoh yang ada, Dadi berharap masyarakat tetap mau menggarap lahannya. Semua itu dilakukan agar Reforma Agraria yang mereka perjuangkan tidak sia-sia.
”Dulu kami menggarap lahan sambil ketakutan. Takut besok tumbuhan kami dirusak atau dijarah. Takut tidak boleh lagi menanam di tempat yang sama. Kalau sekarang, kami sudah tenang dan belajar banyak hal baru untuk meningkatkan kesejahteraan,” ujarnya sambil tersenyum lebar.