Taing Lubis, Cinta Tak Berujung untuk Satwa Lindung
Dia menghabiskan separuhnya hidupnya untuk menyelamatkan satwa lindung.
Saat masih berseragam putih abu-abu, cita-cita Taing Lubis (56) menjadi dokter umum, tetapi Tuhan menuntun langkahnya menjadi dokter hewan. Menyadari pilihan Tuhan adalah jalan terbaik, dia mengerahkan segala kemampuan untuk melindungi satwa lindung di Provinsi Aceh.
Seusai menamatkan sekolah menengah atas di Sumatera Utara tahun 1987, Taing mendapatkan undangan seleksi masuk ke perguruan tinggi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan dia memilih fakultas kedokteran. Namun, saat pengumuman, namanya justru lulus di Fakultas Kedokteran Hewan. Meski tidak sesuai dengan harapan, dia menganggap itu pilihan Tuhan.
”Waktu itu tidak banyak peminat untuk menjadi dokter hewan, tetapi aku berpikir harus kuliah karena aku anak pertama, harapan keluarga,” kata Taing Lubis ditemui pada Selasa (23/1/2024) di Banda Aceh dengan logat Batak yang kental.
Bermodal ijazah kedokteran hewan, tahun 1998, Taing lolos seleksi aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan ditempatkan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Berkarier dari pegawai rendahan, dia tekun belajar tentang satwa lindung secara mendalam. Kini Taing menjadi saksi ahli satwa lindung senior yang dimiliki oleh BKSDA Aceh.
Taing menuturkan, layaknya manusia, satwa juga punya hak untuk hidup dan berkembang biak. Keberadaan satwa lindung, seperti harimau, gajah, orangutan, dan badak, penting bagi kelestarian alam. Jika satwa lindung punah, ekosistem tidak seimbang dan memperbesar ancaman bencana alam.
”Aku marah jika ada kasus perburuan dan perdagangan satwa lindung. Kalau aku jadi saksi ahli, biasanya hukumannya berat,” kata Taing.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebutkan, bagi orang yang menyimpan, memiliki, memburu, hingga memperdagangkan bagian tubuh satwa lindung, ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
Masalahnya tidak banyak kejaksaan, hakim, dan polisi yang memiliki pengetahuan mendalam tentang satwa lindung. Tanpa kehadiran saksi ahli, besar kemungkinan vonis terhadap terdakwa ringan. Keterangan dari Taing memberikan landasan bagi hakim menjatuhkan sanksi.
”Harimau, gajah, orangutan, dan trenggiling termasuk satwa yang paling banyak diburu,” kata Taing.
Meski usia tidak lagi muda, semangatnya tidak kendur. Taing masih sering keluar masuk hutan untuk memeriksa, baik barang bukti baik yang masih utuh maupun hanya bagian tubuh yang tersisa. Lokasi penemuan bangkai gajah satwa lindung biasanya berada di hutan jauh dari permukiman.
Baca juga: Gita Bayuratri, dari St Petersburg untuk Klassika
”Seberapa pun jauh aku datangi karena harus melihat tempat kejadian perkara supaya aku bisa menyimpulkan secara utuh,” kata Taing.
Sebagai pengendali ekosistem hutan madya, Taing bertugas merawat satwa sitaan, alat bukti, dan menjaga populasi serta merawat habitat satwa. Namun, karena dianggap memiliki pengetahuan yang luas terhadap satwa, Taing kerap diminta oleh kepolisian untuk menjadi saksi ahli.
Taing mengatakan, kehadiran saksi ahli penting agar memberikan pengetahuan yang utuh kepada majelis hakim agar putusan yang diambil adil bagi manusia sebagai pelaku kejahatan dan bagi satwa sebagai korban.
Taing memiliki keahlian bedah anatomi satwa sehingga dia tahu betul bagaimana cara satwa itu dibunuh. ”Sebelum dikuliti, harimau ini disuntik, ini dilakukan oleh seseorang yang profesional,” ujar Taing dalam gelar perkara kasus perburuan harimau yang ditangani Polda Aceh, akhir Januari 2024.
Penjelasan Taing menjadi pertimbangan bagi majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. ”Satwa lindung di Aceh diburu untuk dijual ke pasar gelap internasional. Saya selalu menekankan agar pelaku dihukum setimpal,” kata Taing.
Sejak 2006 hingga 2023, Taing telah menangani 67 perkara perburuan dan perdagangan satwa lindung di Aceh. Dia diganjar beberapa penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dari lembaga masyarakat sipil bergerak di isu lingkungan atas dedikasi melindungi satwa.
Dia tidak hanya menjadi saksi ahli saat persidangan, tetapi juga merawat barang bukti, baik yang masih hidup maupun yang mati. Satwa yang masih hidup akan dirawat sampai bisa dilepasliarkan kembali. Sementara barang bukti bagian tubuh satwa dirawat untuk dijadikan bahan ajar bagi publik.
Kecintaan Taing pada satwa lindung bukan main-main. Dia rela mengeluarkan biaya sendiri dan mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkan satwa lindung. Perasaan paling bahagia yang tidak bernilai dengan materi adalah saat melepasliarkan satwa yang telah dia rawat.
Satu pengalaman yang tidak pernah dia lupakan. Tahun 2016, seorang warga di Kabupaten Aceh Barat Daya terendus memelihara orangutan. Kepolisian menghubungi Taing agar menjadi saksi ahli dalam perkara itu. Dengan perasaaan bahagia, dia berangkat dari Banda Aceh ke lokasi menempuh perjalanan 8 jam.
Baca juga: Bathara Saverigadi Dewandoro, Bara Seni Seorang Bathara
Dia tidak membawa obat bius karena berpikir orangutan sudah dimasukkan ke dalam kandang. Ternyata yang diperlihatkan adalah foto-fotonya saja, sementara orangutan masih dikuasai oleh warga.
Taing mendesak kepolisian untuk menjemput orangutan itu ke rumah warga tersebut. Meski terjadi perlawanan, Taing bersikeras orangutan itu harus disita untuk dirawat dan dilepasliarkan kembali.
Orangutan itu telah dirawat oleh sebuah keluarga selama empat tahun atau sejak masih berusia bayi. Orang utan yang diberi nama Sule itu diperlakukan seperti manusia. Bahkan, kadang tidur di satu kamar dengan keluarga itu. Menurut Taing, hal tersebut telah keluar dari kodratnya hewan.
Saat akan disita, keluarga itu menghalangi petugas. Di sisi lain, Sule juga emosi dan hendak menyerang petugas. Taing memperingatkan keluarga itu jika tidak menyerahkan sukarela dapat dijerat pidana. Nasihat Taing dipatahui oleh sang tuan rumah.
”Keluarga itu tidak diproses hukum, kita anggap menyerahkan secara sukarela,” kata Taing.
Mendapati lampu hijau, Taing memasukkan Sule ke mobil minibus, lalu meminta kepolisian tancap gas meninggalkan lokasi. Berada di bangku belakang bersama binatang liar bukan kondisi yang aman.
Berada di kursi belakang bersama Sule sempat membuat Taing ketakutan. Jika Sule mengamuk sudah tentu dia akan jadi sasaran. Taing tidak kehabisan akal karena sudah tahu kebiasaan satwa Taing mengajak bermain dengan memasang muka seperti Sule.
Karena tidak ada lokasi penampungan, sembari menunggu tibanya kandang khusus, Sule diinapkan di kamar hotel. Jika ditinggalkan sendiri di kamar Sule mengamuk, tempat tidur dan barang-barang dihancurkan. Taing memutuskan menemani Sule sepanjang malam itu.
”Kalau ditinggalkan dia sendiri, aku khawatir dia merusak mesin air conditioner (AC), bisa mati kesetrum. Malam itu aku tidur bersama orangutan tanpa bius. Kalau dia menyerang, aku yang mati,” kata Taing.
Keesokan harinya Sule dibawa ke pusat rehabilitasi orangutan di Sumatera Utara hingga dilepasliarkan. Sudah tidak terhitung berapa satwa yang telah dia rawat dan berhasil dilepasliarkan ke habitat. ”Aku merawat mereka seperti anakku sendiri, berteman,” kata Taing.
Di ruang kerjanya di BKSDA Aceh terpajang foto dirinya bersama orangutan dan kukang. ”Tidak ada foto anak dan suamiku,” kata Taing tertawa. Sementara layar gawainya adalah harimau.
Lebih dari tiga dekade hidupnya dihabiskan untuk merawat satwa-satwa lindung. Setiap pagi saat tiba di kantor, dia menyempatkan diri melihat satwa, seperti orangutan, beruang, dan buaya, yang sedang dikarantina untuk memberikan makanan dan bercanda.
Selalu ada perasaaan bahagia saat menyaksikan satwa itu kembali sehat dan siap untuk dilepasliarkan. Namun, di sisi lain hatinya sedih sebab satwa lindung kian terancam oleh pemburu dan perambahan habitat.
Taing Lubis
Tempat dan Tanggal Lahir: Pemantang Siantar, 1 Mei 1968
Pekerjaan: PNS di Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 1998-2023.
Jabatan: Pengendali Eksositem Hutan Madya