Nunuk Fauziyah, Meniti Jalan Keadilan bagi Perempuan Tuban
Nunuk Fauziyah meniatkan diri beribadah dengan membantu ribuan perempuan untuk keluar dari jerat kekerasan.
Nunuk Fauziyah menilai perempuan belum mendapatkan layanan secara memadai. Mereka sering kali harus berjuang sendirian. Oleh karena itu, Nunuk mendirikan Koalisi Perempuan Ronggolawe di Kabupaten Tuban untuk membantu para perempuan mendapatkan keadilan.
Suatu kali, kantor Koalisi Perempuan Ronggolawe penuh sesak dengan ikan, durian, jagung, kacang, singkong, sawo, nangka, serta beragam hasil bumi dan laut. Komoditas itu dikemas dalam keranjang dan karung sehingga terkesan menggunung.
Itu adalah pemberian para perempuan yang pernah dibantu Koalisi Perempuan Ronggolawe (KP Ronggolawe) menemukan keadilan dari beragam kasus kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan lain yang menjadikan perempuan sebagai korban. ”Sampai ada tetangga mengira kami mau ada lamaran,” kata pendiri KP Ronggolawe, Nunuk Fauziyah (41), di kantor barunya di Jalan Latsari, Tuban, Jawa Timur, Kamis (21/12/ 2023).
Nunuk selalu memberlakukan sistem probono ketika membantu para perempuan yang menjadi korban kekerasan. Hadiah-hadiah tersebut bagi dia merupakan pencapaian tertinggi karena ketulusannya dibalas dengan ketulusan lain. Hal lain, dalam pelatihan para penyintas, Nunuk senang sekali melihat perempuan-perempuan itu menjadi ayu dan penuh optimisme. ”Dulu kondisi mereka memprihatinkan. Ada yang kornea matanya sudah tidak jelas karena dipukuli suami,” kata Nunuk.
Hadiah-hadiah tersebut bagi dia merupakan pencapaian tertinggi karena ketulusannya dibalas dengan ketulusan lain.
Sejak berdiri pada 2004 hingga kini, KP Ronggolawe sudah menangani tak kurang dari 1.623 kasus kekerasan. Ini antara lain meliputi kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, pemerkosaan, kekerasan terhadap anak, dan perdagangan manusia. Namun, angka tersebut tidak mencerminkan kondisi sejati karena banyak korban yang takut melapor atau mencari pertolongan. Inilah salah satu dampak dari kuatnya budaya patriarki di Kabupaten Tuban, masyarakat lebih memosisikan perempuan sebagai kaum kelas dua dan sekadar teman tidur. Bahkan, yang melapor pun sebagian besar setelah lima atau sepuluh tahun menjadi korban kekerasan.
Nunuk mencatat ada tiga jenis kasus yang paling rumit jalan keluarnya. Pertama, ketika dia mendampingi kasus pemerkosaan perempuan yang usianya sudah lebih 18 tahun. Kedua, pelaku dan korban sama-sama anak. Ketiga, pelecehan seksual juga persetubuhan anak perempuan yang pelakunya kiai, guru, anaknya kiai, anak tokoh agama, atau anak pejabat negara. ”Kalau dibobot, yang terberat itu kalau korbannya anak dan pelakunya anak kiai,” kata Nunuk.
Dia menjelaskan, banyak kiai dikultuskan di Tuban. Keluarga korban biasanya memilih jalan agar pelaku bersedia menikahi korban. Mereka memilih dinikahi dengan asumsi paling tidak punya anggota keluarga yang keturunan kiai yang nanti dapat meningkatkan harkat dan martabat. Padahal, kemungkinan dia akan jadi korban lanjutan. Di sinilah Nunuk harus berjuang lebih kuat untuk memberikan pencerahan kepada korban dan keluarganya.
Baca juga : John Wona, Dedikasi Merawat Batik Papua di Pesisir Jayapura
Strategi Nunuk melakukan penjaringan dari beberapa elemen dan tingkatan seperti meminta dukungan dari lembaga lokal, provinsi, dan pusat yang memiliki visi dan misi yang sama. Selain itu, meminta kawan-kawan media mengawal, melakukan pendekatan ke Pemerintah Kabupaten Tuban, lembaga perlindungan perempuan dan anak, serta melibatkan kepolisian. Itu pun tidak selalu berhasil.
”Sebab, keluarga korban sudah memutuskan tidak mau melaporkan kasusnya dan malah merasa bangga ketika anaknya dinikahi pelaku. Atau, tidak mendapatkan dukungan dari tokoh agama yang masih memiliki garis kerabat dengan pelaku sementara mereka miliki jumlah jemaah yang cukup besar,” kata Nunuk.
Nunuk punya agenda lebih besar ketika membantu para perempuan ini mencari keadilan, yakni agar tidak muncul pola pikir normalisasi. Sebab, para kiai ini punya pengikut banyak, ketika kasus seperti itu dibiarkan dan dimenangi oleh pihak pelaku, bisa jadi preseden dan malah menyulitkan penanganan kasus-kasus serupa berikutnya.
Itu pula yang membuat dia mendorong Pemkab Tuban membuat peraturan daerah tentang perlindungan perempuan dan anak. Dia juga mengajak serta kelompok agama lain untuk agenda yang sama. Hasilnya antara lain Perda Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Anak.
Baca juga : Yuliana Bte Hendrik, Kisah Dedikasi Apoteker di Kaki Gunung Lewotobi
Menghadapi hukum
Nunuk memutuskan untuk membela perempuan sebagai jalan ibadah. Sebab, dia melihat, di ruang hukum, perempuan belum mendapatkan layanan yang sesuai dengan mandat hak asasi manusia dan undang-undang yang terkait. Perempuan yang berhadapan dengan hukum sering kali sulit mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. Mereka harus bekerja dengan keras dan berjuang sendiri untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum serta hak-haknya.
Nunuk mengilustrasikannya begini, ketika orang miskin berhadapan dengan hukum, dia tidak cukup memiliki kapasitas pendidikan dan jaringan sehingga mereka harus berusaha sendiri untuk mendapatkan keadilan. Mereka harus menelan perlakuan diskriminasi, juga tidak jarang penjatuhan secara psikis. Mereka harus bisa melawan rasa takut yang sangat luar biasa untuk mendapatkan keadilan hukum.
Di ruang sosial dan budaya, di Kabupaten Tuban, lanjut dia, perempuan masih diposisikan sebagai konco wingking dan makhluk yang sangat lemah dan rentan. ”Juga cenderung hanya sebagai obyek pembangunan sehingga sampai sekarang sangat jauh dari rasa keadilan.”
Keresahan Nunuk terhadap posisi perempuan dalam relasi sosial ini sudah tumbuh sedini dia duduk di bangku madrasah tsanawiyah (setingkat SMP). Kala itu dia menjadi santri di sebuah pondok pesantren di Desa Sendangduwur, Paciran, Lamongan.
Dia sering mencuri-curi kesempatan untuk membawa buku dari perpustakaan sekolah ke asrama pondok santri putri. Ini sebuah tindakan terlarang karena di asrama putri hanya boleh membaca kitab klasik, kitab kuning. Akibatnya, Nunuk kerap mendapat hukuman, tetapi dia tak jera membaca buku.
Dari membaca itu dia kenal tokoh-tokoh pejuang perempuan seperti RA Kartini dan Malahayati. Ketika duduk di bangku madrasah aliyah (setingkat SMA), Nunuk mencari sosok perempuan ideal yang masih hidup dan kala itu menilai seorang politisi sebagai gambaran yang cocok berdasarkan bacaannya.
Nunuk lalu kuliah di Fakultas Ekonomi IKIP PGRI Tuban (sekarang Universitas PGRI Ronggolawe) dan mendapati fakta bahwa sosok yang dia idolakan jauh sekali dari bayangannya. Dari hal itu dia belajar bahwa sulit menemukan tokoh sempurna dan dia memilih membangun jejaring untuk membangun dunia yang lebih baik bagi perempuan.
Dia lalu mengumpulkan beberapa mahasiswa aktivis yang mempunyai kegelisahan yang sama, terutama tentang isu perempuan di pantura. Selepas kuliah dan setelah berkonsolidasi sekitar satu tahun, mereka mendirikan Koalisi Perempuan Ronggolawe pada 2004.
Ronggolawe merupakan panglima Majapahit kelahiran Tuban. Nama itu mereka ambil sebab Ronggolawe tidak poligami, tidak ada catatan pelaku kekerasan, serta berpolitik dengan mengutamakan dan memberikan ruang partisipasi terhadap perempuan. ”Ronggolawe juga punya spirit perlawanan,” kata Nunuk yang kemudian mengusung semangat yang sama untuk meniti jalan keadilan bagi perempuan di Tuban.
Nunuk Fauziyah
Lahir: Lamongan, 10 Juni 1982
Pendidikan: S-2 Magister Manajemen Universitas Mahardika Surabaya (2013)
Prestasi (antara lain):
- Penghargaan sebagai perempuan pembela HAM dari BUMN
- Tim Penulis Buku Saku Rujukan Layanan Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan wilayah Jatim-Bali
- Juara III Metode Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Tingkat Jawa Timur
- Juara I Batik Tulis Pewarna Alam Tingkat Jawa Timur