Agus Nur Wahidin, Konservasi Alam lewat Festival Budaya
Sakralitas gunung ataupun pohon di Kampung Salak dan sekitarnya hilang seiring dengan modernitas yang mengabaikan aspek konservasi. Akibatnya, alam dieksploitasi hingga rusak.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Bumi ini terus-menerus dilukai, tetapi ia tak pernah lelah memberi. Meskipun demikian, pemberian Bumi kian berkurang karena staminanya menurun oleh kerusakan demi kerusakan. Agus Nur Wahidin menghidupkan kembali kearifan lokal yang pernah dan masih hidup di Kampung Salak untuk konservasi alam.
Kampung Salak terletak di Dusun Rahayu Leren Kuning, Desa Rengel, Kecamatan Rengel, Tuban, Jawa Timur. Persisnya sekitar 95 kilometer arah barat dari Surabaya. Pagi itu, Jumat (22/12/2023), kampung ini terasa asri. Tananam salak tumbuh secara sporadis di halaman, samping rumah, dan belakang rumah warga.
Di sana terdapat sedikitnya 50 rumah yang tersebar di hampir tiga hektar kebun salak. Secara umum, rumah-rumah itu dipisahkan oleh rumpunan salak. Beberapa warga menyapu halaman sembari saling sapa atau mengobrol.
Kampung Salak belakangan terkenal, paling tidak di Kabupaten Tuban dan Jawa Timur lantaran rutin menggelar festival kebudayaan, namanya Festival Kampung Salak. ”Sebenarnya festival ini hanya mengemas tradisi yang sudah ada,” kata Hewod, sapaan akrab Agus Nur Wahidin, penggerak kebudayaan di Kampung Salak.
Di Kampung Salak dulu hidup tradisi manganan atau sedekah bumi, sebuah ritual yang dilakukan warga sebagai bentuk syukur kepada Yang Maha Esa atas rezeki dan berkah yang diberikan. Mereka biasanya membawa tumpeng, lalu dimakan bersama.
Dari manganan itu, Hewod yang juga Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Rengel lalu mengemasnya menjadi festival. Dia bersama teman-temannya menggabungkan dengan beberapa acara seperti pentas seni budaya lokal, bazar pangan lokal, termasuk olahan salak, lokakarya pantonim, pertunjukan musik etnik, dan dialog budaya.
Hewod mendatangkan beberapa pegiat budaya dari berbagai daerah seperti Bojonegoro, Yogyakarta, Malang, dan Bandung untuk ikut meramaikan sekaligus memberikan masukan tentang potensi Kampung Salak yang bisa dikembangkan.
Salah satu ide yang kemudian bisa dieksekusi adalah pengolahan salak. Selama ini buah berkulit coklat bersisik itu hanya dijual apa adanya. Warga kemudian dilatih untuk mengolahnya sehingga mendapat niai tambah, antara lain menjadi manisan salak dan kopi salak. Upaya ini sekaligus menggerakkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Tapi, ini masih akan kami kembangkan lagi karena yang peduli baru beberapa orang,” kata Hewod sambil menegaskan, jumlah mereka masih bisa dihitung dengan jari.
Hewod bertahun-tahun tergabung dalam Jaringan Kampung Nusantara (Japung Nusantara), jaringan digital yang dimotori Redy Eko Prasetyo di Malang. Dalam organisasi ini, ia berinteraksi dengan ratusan aktivis atau penggerak kampung di seluruh Indonesia.
Di sinilah dia banyak berdiskusi tentang strategi mengembangkan Kampung Salak. Beberapa pegiat budaya yang dia undang di atas adalah bagian dari jejariang ini.
Tujuan ekologis
Sebenarnya pengembangan UMKM tersebut hanya tujuan antara. Tujuan utama Hewod menggelar festival budaya di Kampung Salak tak lain adalah mengembalikan semangat konservasi alam. Hewod gelisah tatkala mempelajari sejarah Kampung Salak dan mendapati banyaknya kearifan lokal yang ditinggalkan warga.
Tanaman salak sebagai penyokong ketahanan pangan, misalnya, kian terkikis oleh bangunan rumah. Padahal, salak di kampung ini memiliki sejarah panjang hingga masa sebelum penjajahan. Dia ingin mengembalikan kedaulatan pangan itu lewat salak.
Selain itu, Kampung Salak juga berada di antara pegunungan kapur atau karst yang sekarang ramai ditambang untuk keperluan bahan bangunan ataupun pupuk. Sakralitas gunung ataupun pohon di Kampung Salak dan sekitarnya hilang seiring dengan modernitas yang mengabaikan aspek konservasi.
Akibatnya, alam dieksploitasi hingga rusak. Sumber air kian susah. Debit air sungai menurun. ”Sungai-sungai kecil mulai tidak mengalir lagi,” kata pria kelahiran Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, ini.
Hewod mulai tinggal di Desa Rengel, Tuban, pada 2003, setelah menikahi gadis setempat. Sejak saat itulah dia banyak mempelajari sejarah dan sosiologi warga Rengel.
Dulu, kata Hewod, daerah ini tidak pernah kekurangan air meskipun kemarau panjang melanda lantaran pasokan air di gunung masih cukup. Untuk itu, Hewod menghidupkan lagi cara-cara menghargai alam dengan Festival Kampung Salak yang antara lain bentuknya adalah membawa tumpeng ke lereng Pegunungan Kendeng yang dibawahnya mengalir sungai bawah tanah, hulu dari sumber air warga.
Tumpeng ini nanti sesampainya di sana dimakan bersama warga. ”Tidak ada yang mubazir. Sisa-sisa tumpeng yang jatuh ke sungai juga dimakan ikan,” ujar Hewod.
Tumpeng robyong, begitu warga menyebut, itu terdiri dari eneka hasil bumi seperti salak, padi, pisang, jagung, dan kacang. Tumpeng dibentuk sedemikian rupa mirip gunungan, lalu diangkat ramai-ramai.
Tumpeng robyong ini sudah lama ada sebagai bentuk sedekah bumi atau cara warga bersyukur kepada alam. Namun, sempat surut karena dianggap bertentangan dengan nilai agama tertentu.
Bagi Hewod, tumpeng ini dihidupkan lagi bukan untuk menolak ajaran agama tertentu, melainkan lebih pada menghidupkan semangat konservasi tersebut. Dengan melihat alam sebagai pemberi, maka manusia akan menjaganya. Dia mengajak warga untuk melihat alam sebagai subyek, bukan obyek yang layak dieksploitasi.
”Kami mengenalkan kembali tradisi untuk konservasi. Dalam bentuk apa? Misalnya, melepaskan ikan, ayam, dan burung sebagai bentuk konservasi secera tradisi,” kata Hewod tentang rangkaian lain dalam Festival Kampung Salak itu.
Festival tahunan yang telah digelar lima kali ini biasanya diikuti oleh lebih dari 1.000 orang. Mereka bukan hanya dari Kampung Salak, melainkan juga dari desa tetangga, bahkan dari kabupaten lain. Hewod melihat bahwa kampanye tentang lingkungan lewat festival ini mulai diserap banyak orang.
Pemerintah Kabupaten Tubah bahkan menjadikan Festival Kampung Salak sebagai salah satu dari tiga titik penting tentang gerakan budaya di Tuban.
Kampung Salak juga menjadi tujuan wisata. Kebetulan lokasinya hanya sekitar 600 meter dari Goa Ngerong yang selalu ramai dikunjungi warga, terutama di hari libur. Goa Ngerong juga bagian dari proyek konservasi di Desa Rengel, Kecamatan Rengel.
Hewod melihat gerakan kebudayaan di Kampung Salak dan sekitarnya memiliki modal sosial yang besar sehingga harus digerakkan secara lebih progresif. Salah satunya dengan festival sehingga upaya konservasi bisa lebih maksimal.
Agus Nur Wahidin
Lahir: Banyuwangi 1981
Pendidikan:
SMK Yayasan Pendidikan Malang
Teknik Mesin Universitas Islam Malang (tidak lulus)