Gung Endah Tuti Rahayu, Perintis Ekoenzim di Kota Batu
Gung Endah Tuti Rahayu merintis pengolahan sampah ramah lingkungan di Kota Batu. Kini upaya itu berkembang kian luas.
Empat tahun lalu istilah ekoenzim jarang terdengar di telinga warga Kota Batu, Jawa Timur. Berawal dari rintisan Gung Endah Tuti Rahayu (59), kini hasil fermentasi sampah organik itu dikenal makin luas. Di setiap kelurahan/desa ada sukarelawan pegiat ekoenzim.
Di halaman rumah perempuan yang akrab disapa Gung atau Gung Endah, di Perumahan Puri Savira, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, tertata 3 tong kapasitas 200 liter dan 25 tong kapasitas 60 liter. Semua berisi sampah organik yang tengah dalam proses menjadi ekoenzim.
Selain itu, ada pula puluhan galon bekas air mineral berisi ekoenzim hasil panen yang siap dibagikan kepada petani dan masyarakat. Penerimanya adalah warga yang siap menerima edukasi dan latihan seputar pembuatan cairan berwarna bening kecokelatan itu.
”Oktober kemarin saya baru panen 1,2 ton. Kalau dirata-rata, setahun di atas 3 ton. Saya biasa panen tiap tiga bulan sekali. Kalau sering keluar rumah, ya, bisa empat bulan baru panen,” ujarnya, Rabu (27/12/2023).
Tak hanya dibagikan kepada petani dan warga secara cuma-cuma, cairan multimanfaat buatan Gung dan warga lainnya itu juga dimanfaatkan peternak.
Pada Juni 2022 lalu, Gung bersama tim pegiat seluruh Batu panen 7 ton dan hasilnya dibagikan kepada peternak di Batu dan daerah lain, seperti Malang, Probolinggo, Tuban, dan Blora (Jawa Tengah). Mereka memanfaatkannya untuk desinfektan kandang hingga suplemen membantu daya tahan ternak saat wabah penyakit mulut dan kuku merebak.
Ekoenzim yang mereka hasilkan juga dipakai untuk mengendalikan bau sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) Tlekung di kota setempat. TPA Tlekung sendiri ditutup akhir Agustus menyusul keberatan warga sekitar.
”Setelah disemprot, hasil uji kualitas udara oleh dinas terkait mendapati gas metana di TPA Tlekung ternyata turun. Jika sebelum disemprot kandungan metana 1.600 bagian per juta (ppm), begitu disemprot tinggal 600 ppm,” katanya.
Bersama Relawan Ekoenzim Bantul, DI Yogyakarta, Gung juga terlibat dalam penyemprotan di TPA Piyungan pada September 2022 silam. Tak hanya di Batu, Gung juga berinteraksi dengan komunitas pegiat ekoenzim di sejumlah daerah, seperti Banyuwangi, Sidoarjo, Jakarta, Lampung, Jambi, dan Palembang.
Di Batu sendiri kini di setiap desa dan kelurahan yang berjumlah 24 buah terdapat koordinator ekoenzim. Mereka biasanya para ibu yang terlibat dalam kegiatan bank sampah di wilayah masing-masing. Volume yang dihasilkan pun beragam, mulai dari beberapa liter hingga di atas satu ton dalam sekali panen.
Apa yang dilakukan Gung berawal pada Januari 2020. Enam bulan setelah suaminya meninggal, ia berusaha mencari kegiatan positif dan bermanfaat bagi banyak orang.
”Alhamdulillah saya dipertemukan dengan ini (ekoenzim). Awalnya, ada teman, Grace, memasukkan saya ke grup Whatsapp (WA) Eartshake pada 21 Januari 2020. Ini grup panitia yang mendatangkan Dr Joean Oon ke Bandung pada 18 Januari 2020. Kebetulan saya memang hobi menanam,” katanya.
Joean Oon merupakan promotor ekoenzim internasional dari Malaysia yang merupakan murid dari Dr Rosukon Poompanvong. Dr Rosukon merupakan pendiri asosiasi pertanian organik Thailand yang pertama kali memperkenalkan ekoenzim. Dari situ Gung merasa jatuh hati. Awalnya dia bermaksud hanya mencari pupuk untuk tanaman porang di lahan seluas 4.000 meter persegi.
”Akhirnya saya merasa jatuh cita dengan ekoenzim. Saya pikir ini diperlukan masyarakat luas karena saya sesak napas sembuh, cucu saya luka gores sembuh. Cucu saya flu, saya semprot pakai ekoenzim juga sembuh,” katanya.
Saat itu juga dia mulai mempraktikkan. Awalnya hanya memanfaatkan wadah seadanya. Bahannya juga dari sampah rumah tangga, seperti buah delima yang jatuh, jambu, lalu dicampur gula merah dan air dengan perbandingan 1:3:10. ”Saya terus membuat sambil menunggu proses fermentasi pertama selesai. Anak saya ikut membantu mencarikan jeriken dan sisa galon sebagai wadah,” katanya.
Dalam perjalanannya, belum ada tiga bulan, Gung sudah diajak berbagi tips sekalian testimoni pembuatan ekoenzim oleh temannya secara online. Pararel dengan itu, Gung terkadang masih konsultasi dengan mentornya dari Batam, Joni Oei, dengan alasan referensi soal ekoenzim dari buku belum ada.
”Januari saya mengenal ekoenzim, Juni bikin modul, dan Agustus sudah membuat chanel Youtube berisi video tutorial sederhana pembuatannya,” ucapnya. Total ada tiga modul yang dibuat Gung bersama rekannya, Rima Agustina dan Tipuk Wira (Modul Ekoenzim). Selain itu, juga Modul Kelas Sabun Basic (Gung Endah dan Abdik Maulana). Serta Modul Kelas Sabun Lanjutan 1 (Gung Endah dan Markurius).
Gung yang kala itu menjabat sebagai ketua paguyuban ibu-ibu perumahan juga mencoba mengenalkan ekoenzim kepada warga sekitar rumah. Sebagian mengikuti sarannya, sedangkan perangkat RW sampai kelurahan belum merespons. Akhirnya, melalui aktivis lingkungan setempat, Gung mencoba ”melompat” memperkenalkan ekoenzim ke pemerintah Kota Batu.
Gayung bersambut, masih di tahun 2020 Gung berhasil memperkenalkan metode pengolahan sampah ke Pemerintah Kota Batu dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup. Gung juga menjadi narasumber pada workshop Bank Sampah se-Kota Batu. Dari situ, mulai banyak warga yang tertarik untuk membuat ekoenzim.
”Akhirnya saya membuat grup Whatsapp Malang untuk berbagi ilmu, anggotanya langsung banyak. Juga membuat grup Batu karena banyak warga Batu yang tertarik. Sebelumnya, saya hanya punya grup Jakarta dan Surabaya,” ucap perempuan yang pernah memperoleh penghargaan terbaik pertama pengolahan sampah dari Pemerintah Kota Batu itu.
Di awal perkembangan ekoenzim di Batu, Gung juga sempat roadshow ke semua desa/kelurahan di Batu yang berjumlah 24 buah, 3 kantor kecamatan, dan sekali di mal. Selain PKK Desa, Gung Endah bersama tim juga melakukan pendekatan dengan menembus Kelompok Wanita Tani. Alasannya, ekoenzim bagus untuk pertanian dan dirinya ingin petani setempat bisa mengaplikasikannya.
Sayangnya, tak semua orang yang telah mendapatkan edukasi soal cairan tersebut aktif. Ada sejumlah kendala yang menjadi alasan orang enggan meneruskan pembuatan ekoenzim, di antaranya ragu dengan apa yang mereka hasilkan. Mereka belum yakin dengan manfaat ekoenzim. Selain itu, tak semua orang juga suka dengan sampah, merasa jijik. Apalagi, harus menunggu fermentasi selama tiga bulan.
”Saya itu punya keinginan agar orang yang sudah mengenal ekoenzim kemudian memperkenalkan ke orang lain. Itu harapan saya, karena kita harus bersatu padu untuk merawat bumi ini. Kebanyakan orang hanya terbatas untuk diri sendiri, jarang yang menularkannya ke orang lain,” ucapnya.
Untungnya, saat ini Gung telah memiliki tim koordinator ekoenzim desa dan ekoenzim kecamatan. Mereka ikut membantu sosialisasi ke mana-mana dengan biaya operasional secara swadaya. Mereka bertugas membagi ekoenzim dan membuat pertemuan di wilayah masing-masing.
Hingga kini Gung masih terus menularkan ilmunya itu melalui puluhan grup Whatsapp dengan anggota ribuan orang di seluruh Indonesia, termasuk warga negara Indonesia yang ada di luar negeri. Gung juga membuka kelas sabun gratis melalui grup Whatsapp ataupun tatap muka langsung. Tujuannya untuk meningkatkan kreativitas pegiat ekoenzim.
Menurut Gung, potensi sampah di Kota Batu melimpah. Dia mencontohkan, pernah dalam satu malam bisa mendapatkan satu kuintal kulit jeruk dari beberapa lapak pedagang jus di Alun-alun Batu. Selain mengotori lingkungan, potensi sampah sebesar itu sejatinya memiliki manfaat yang besar pula.
Gung Endah Tuti Rahayu
Lahir: Malang, 10 Oktober 1964
Pendidikan:
- SD Taman Ayu, Pronojiwo, Lumajang
- SMP Tamtama 1 Bersubidi
- SMA 3 Yogyakarta
- Kuliah Jurusan Sosiologi Fisipol UGM