Kezia Karin, Si Pendengar Andal
Desainer interior, Kezia Karin (40), lihai mendengar untuk keperluannya merancang suatu karya. Hal ini berdampak baik bagi perkembangannya.
Berbekal kemauan untuk mendengar, desainer interior Kezia Karin (40) terus bertahan hingga 17 tahun di industrinya. Baginya, semua orang berhak mendapat karya yang sesuai dengan karakternya. Tiap proyek buatnya juga harus menghasilkan sesuatu yang berbeda. Unik, tapi otentik.
Rambut sebahunya sebagian dijepit ke atas. Di balik kacamata berbingkai gradasi coklat hitam, pandangannya fokus pada lembaran-lembaran berisi gambar rencana interior untuk proyek terbarunya. Sesekali tangannya yang memegang pensil bergerak menuliskan sesuatu di atas kertas-kertas itu sambil berbicara pada anggota tim yang duduk di sebelahnya.
Sayup lagu The Police, ”Every Breath You Take”, terdengar mewarnai suasana lantai 3 sebuah resto di kawasan Gunawarman, Jakarta, yang masih sepi pengunjung. ”Memang nanti baru buka jam 5 sore. Antara jam 3 sampai jam 5 itu mereka siap-siap untuk serve malam,” ujar Kezia sembari melepas kacamatanya dan menyudahi sementara pekerjaannya.
Hari itu, Rabu (22/11/2023), jadwalnya cukup padat. Sejak pagi, ia sudah menjalani sejumlah rapat. Sebagian dengan klien. Sebagian lagi berjumpa dengan tim Kezia Karin Studio untuk memantau perkembangan hasil kerja. ”Kerja sebagai desainer interior itu bisa dari mana saja. Seperti sekarang ini,” ungkapnya.
Meski begitu, lelah tetap tak bisa dihindari. Di tengah obrolan, ia mendadak teringat ingin memesan jasa pijat langganannya yang bisa diakses melalui aplikasi. ”Enggak rutin sih. Tapi ini capek banget dan butuh pijat. Dari minggu lalu, enggak berhenti. Pas ada Art Jakarta juga, kan,” ujar perempuan kelahiran Yogyakarta ini.
Obrolan pun mengalir di tengah ruangan berlangit-langit tinggi dengan kubah atap berkerangka kayu-kayu tebal yang merupakan hasil karyanya. Sekilas mirip langit-langit gereja Eropa di abad lampau yang sarat lengkungan.
”Ada yang bilang mirip kapal juga. Padahal, ide saat membuatnya itu adalah warehouse di Eropa pada zaman dulu. Identik dengan kayu, kan. Kemudian ceiling-nya dibuat lengkung dan tinggi ini karena pertimbangan space. Ketika eksplorasi horizontal terbatas, bermainnya vertikal. Optimalkan ke atas untuk proyek ini,” tutur Kezia menerangkan desain ruangan di sekelilingnya.
Begitu pula pada bagian luar, Kezia membuatnya menjadi ruang semiterbuka berpemandangan gedung pencakar langit Ibu Kota. Tempat duduknya sengaja dipilih sofa-sofa nyaman berwarna krem menenangkan sehingga para pengunjung juga betah duduk berlama-lama. ”Tujuannya, kan, juga bisa jadi tempat untuk bertemu dan ngobrol. Jadi, kenyamanan perlu diperhitungkan,” ujarnya.
Dalam menangani berbagai proyek, Kezia selalu memiliki kalkulasi matang dari berbagai sisi. Antara lain, dari segi lokasi, besaran ruang, tujuan pembuatan, hingga karakter yang ingin ditunjukkan dari desain itu. Seperti yang dilakukannya ketika merancang salah satu lantai resto ini.
Karena tiap proyek itu beda-beda. Saya malah enggak kepengin punya desain yang gampang ditebak, ”Ah, ini pasti Kezia. ”
Sepanjang 17 tahun malang melintang di industri desain interior, pedoman yang dipegang Kezia pun cukup unik. Alih-alih menciptakan kekhasan yang bisa ditonjolkan dalam tiap komposisinya, Kezia justru memilih melebur dan mendengar kliennya untuk melahirkan kreasi yang otentik, tapi tetap sesuai dengan kebutuhan dan situasi lapangan.
Bukan berarti juga karyanya jadi tak istimewa. Ia mengaku sering menemukan orang terkejut ketika melihat hasil karyanya. ”Lebih ke enggak nyangka, ini saya yang bikin. Karena tiap proyek itu beda-beda. Saya malah enggak kepengin punya desain yang gampang ditebak, ’Ah, ini pasti Kezia’,” tuturnya.
Ia kemudian berbagi pengalaman ketika kliennya menyampaikan sangat menikmati rumah yang didesain Kezia dan merasa rancangan interiornya memang dibuat untuk si klien. Itu menjadi hal yang membuat putri sulung dari pasangan arsitek di Yogyakarta ini bungah.
”Sebagai desainer, enggak keren kalau cuma bisa bikin yang kita mau. Menurut saya, keren kalau kita bisa mendengar, bisa ngerti kemauan kliennya, dan habis itu kita bisa bungkus lagi, bisa masak lagi semua input-nya menjadi sesuatu yang bagus. Mendengar dan kemampuan berkomunikasi menjadi sesuatu yang penting di sini,” kata Kezia.
Ia tak menampik, kemauan klien ada saja yang sukar direalisasikan, tapi biasanya Kezia selalu memberikan saran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter kliennya. Keandalannya mau meluangkan waktu untuk mendengar ini memudahkannya. ”Dengan mendengar ini, malah idenya jadi makin kaya,” ujarnya.
Tak disangka
Ini pula yang membawa perempuan lulusan Universitas Kristen Petra Surabaya ini makin dikenal. Bahkan, belum lama ini, ia mengukir prestasi dengan meraih tiga penghargaan dari Asia Pacific Space Designers Association (APSDA), yakni Young Designer of The Year, Project of The Year untuk kategori Residential, dan Project of The Year untuk kategori Exhibition, ketika dirinya menangani pameran Louis Vuitton Savoir Faire di The Plaza, Jakarta, beberapa waktu lalu.
”Bersyukur banget. Aku enggak menyangka. Tapi semua ini kerja bareng. Waktu kerjanya dalam dua bulan. Ada 50.000 pieces kayu yang disusun untuk lima area pameran. Di tiap transisi area satu ke area lainnya dibikin lagi spot menarik. Jadi, orang enggak cuma sekadar jalan untuk berpindah saja. Mereka bisa punya experience di situ juga,” tuturnya.
Baca juga: Pengorbanan Aldila untuk Tenis Indonesia
Berbincang tentang penghargaan, Kezia merekam ulang ingatan masa kecilnya. Sambil tertawa, ia bercerita bahwa dirinya rutin ikut lomba menggambar saat masih bersekolah. Bahkan sering juga diminta mewakili sekolahnya. ”Tapi enggak pernah menang, ha-ha-ha.... Dari Ibu mau nganterin, sampai akhirnya males nganterin. Jadi, saya disuruh pergi sama Mbak saja,” katanya.
Namun, Kezia tidak patah semangat. Bahkan, suatu waktu, ia mencoba juga ikut kompetisi renang yang juga berakhir kalah. Dari bertubi-tubi kekalahannya, ia belajar mengenali diri.
Ia menyadari dirinya bisa menggambar, tapi arahnya lebih ke interior atau merancang sesuatu. Walau begitu, cucu dari pemilik usaha Batik Tulis Yogyakarta ini tetap bersedia mengasah kepekaan seninya. Sebab, desain interior tetap perlu dipadukan dengan karya seni agar ruangan yang dibikin terasa hidup. Hal ini sudah kian dikuasainya.
Karena itu, ia pun dipercaya berangkat ke Milan untuk ICAD Collective Superdesign Show. Proyek yang diusungnya bertajuk ”Samudra” yang merepresentasikan Indonesia sebagai negara kepulauan. Karya itu berasal dari anyaman, tenunan, dan makrame aneka warna yang seolah membentuk gugusan pulau di Indonesia.
Kezia juga aktif memberikan masukan kepada para kliennya tentang detail berupa karya seni atau pajangan yang perlu dikombinasikan dalam desain interior. Panggilannya untuk mendalami desain interior jelas tidak salah. Setelah meraih gelar sarjana di bidang interior ini, ia mulai merintis sebagai desainer lepas selama dua tahun hingga kemudian mendirikan Kezia Karin Studio.
Kini, studio yang dibangunnya berkembang pesat. ”Awalnya hanya di Surabaya. Saat ini sudah ada juga di Jakarta untuk memenuhi permintaan klien di sini yang makin banyak. Saya juga jadi lebih banyak di sini (di Jakarta),” tuturnya.
Si Introver
Tak hanya makin memperdalam ilmu desain interior agar tak ketinggalan dari perkembangan global. Kezia rupanya juga khusus belajar bahasa Inggris pada permulaan menyalakan bisnisnya.
”Aku les khusus untuk presentasi bahasa Inggris. Sekarang malah lebih lancar bahasa Inggris, termasuk kalau untuk nulis juga. Karena ada istilah-istilah yang suka bingung juga apa terjemahan Indonesianya,” katanya.
Hal ini amat berguna mengingat pihak yang dilayani Kezia tidak hanya dari Indonesia. Buku-buku referensi yang digunakannya untuk membuka wawasannya tentang desain juga mayoritas berbahasa Inggris sehingga sudah wajib baginya untuk membekali diri dengan kemampuan berbahasa yang membawanya mudah berkomunikasi.
Baca juga: Canda, Gundah, dan #SaveJanda
Apabila di awal, ia menyinggung kemampuan komunikasi. Kezia menuturkan semua itu dilatihnya dengan keras. Selama ini, ia mengira desainer interior hanya cukup duduk menggambar dan menelurkan konsep di balik meja. Nyatanya, saat ia mendirikan studio, banyak orang yang perlu ditemuinya.
”Sebagai orang yang introver, kebayang, ya. Tapi aku belajar juga tentang komunikasi. Akhirnya, jadi kombinasi mendengar dan berkomunikasi tadi yang ternyata penting banget untuk berkembang di desain interior ini. Enggak cuma membuat desain juga. Karena apa yang dilakukan di sini, kan, berhubungan dengan orang-orang,” ungkapnya.
Di balik penampilannya yang juga selalu paripurna, Kezia ternyata juga membutuhkan waktu belajar dan menyesuaikan diri. ”Aku sampai belajar makeup juga dari Youtube, ha-ha-ha...,” ungkapnya sambil tertawa.
Transformasi Kezia pun menjadi utuh seiring dengan majunya studio yang didirikannya beserta prestasinya. Apa pun yang dilakukannya telah menembus batas-batas dirinya yang tak pernah diduganya. ”Desain interior itu juga tak terbatas. Semua bisa diwujudkan,” tutupnya.
Kezia Karin
Lahir: Yogyakarta, 1983
Pendidikan: Universitas Kristen Petra Surabaya