Pengorbanan Aldila untuk Tenis Indonesia
Aldila Sutjiadi tak merasa kehilangan kehidupan pribadinya dengan menjalani profesi sebagai petenis profesional.
Masa libur kompetisi menjadi momen yang dinanti petenis Indonesia, Gisela Aldila Sutjiadi. Sejak awal November, dia menikmati waktu bersama keluarga dan teman sebelum kembali ke arena tenis profesional untuk waktu 10 bulan dalam setahun.
Aldila yang ditemui di Klub Kelapa Gading, Jakarta, Selasa (14/11/2023) siang, baru menikmati liburan di Bali dan Labuan Bajo. Tak ada tenis pada perjalanan itu. Yang ada adalah jalan-jalan, menyelam, dan makan bersama teman-temannya.
Sehari setelah bertemu kami, Dila, sapaan akrabnya, menjadi bagian dari penonton konser Coldplay di Gelora Bung Karno, Jakarta. Dua pekan awal masa off season benar-benar dinikmati Dila untuk memanjakan dirinya sendiri.
Selama 10 bulan, Dila selalu jauh dari rumah. Dia tampil dalam 28 kejuaraan di 27 kota (14 negara) selama 2023. Salah satu yang membuat Indonesia bangga adalah ketika Dila meraih medali perunggu ganda putri (bersama Janice Tjen) di Asian Games Hangzhou 2022 yang diselenggarakan tahun ini.
Untuk membela ”Merah Putih” di Asian Games, Dila melakukan perjalanan lebih dari 30 jam dari Guadalajara, Meksiko ke Hangzhou, China. Beberapa jam setelah kalah pada turnamen WTA 1000 Guadalajara, Dila terbang menuju Hangzhou, beristirahat sebentar, lalu langsung berlatih.
Baca juga: Canda, Gundah, dan #SaveJanda
”Capek sih, mau gimana lagi,” kata Dila tentang perjalanannya dari Meksiko ke China, lalu bertanding selang dua hari setelah tiba.
Selain jalan-jalan, ada satu hal yang dinanti gadis berusia 27 tahun itu saat berada di Indonesia pada off season, yaitu menikmati makanan favoritnya, iga penyet.
”Sudah sempat makan setelah datang ke Indonesia?”
”Sudah dooong,” jawab Dila.
Yang belum sempat dinikmati adalah martabak manis. ”Untungnya, susah dapat martabak manis di negara lain saat musim turnamen. Paling makan es krim setelah kalah,” katanya.
Memilih makanan sebenarnya cukup menantang bagi Dila. Namun, dia punya komitmen untuk disiplin.
”Aku selalu berpikir bahwa apa yang aku konsumsi akan kembali ke aku. Jadi, aku lebih mindfull untuk memilih apa yang dikonsumsi,” kata Dila.
Selasa siang itu, Dila yang datang bersama ayahnya, Indriatno Sutjiadi, menyempatkan diri memeriksakan lutut yang sakit ke dokter. Dia memastikan kondisi fisiknya agar bisa menentukan persiapan menuju musim kompetisi 2024, yaitu berlatih di Bangkok, Thailand, atau di Jakarta.
Dila menargetkan juara ganda putri Grand Slam bersama partnernya, petenis asal Jepang, Miyu Kato. Tahap tertinggi yang mereka capai adalah babak ketiga pada semua Grand Slam tahun ini.
Musim 2024 menjadi musim ketiga Dila di arena Grand Slam. Penggemar Roger Federer itu menjalani debut di Australia Terbuka 2022, berpasangan dengan Peangtarn Plipuech (Thailand) karena mendapat wildcard dari panitia.
Susah kalau tidak ada koneksi. Perusahaan lebih suka mensponsori influencer. Pada acara olahraga pun bukan atlet yang disponsori, melainkan artis untuk mengikuti ajang itu.
Ketika menempati peringkat 80-an dunia sejak April 2022, peluang mendaftar ke Grand Slam mulai terbuka. Dila pun merunut pemain-pemain ganda putri yang memungkinkan menjadi partner. Umumnya, petenis dengan peringkat 50 besar sudah memiliki pasangan.
”Ada nama Miyu yang ranking-nya tidak jauh dari saya. Saya mencoba menghubunginya melalui Instagram meski belum kenal. Saya ajak untuk mencoba mendaftar dan dia mau,” kata Dila yang akhirnya bisa masuk daftar peserta ganda putri Perancis Terbuka 2022.
Baca juga: Margareta Astaman, Gibah untuk Menggubah
Sejak saat itu, duet Dila/Kato di arena Grand Slam dan rangkaian turnamen WTA Tour berlanjut. Dila juga menjuarai tiga turnamen WTA 250 pada tahun ini.
Ranking
Selain masa menyenangkan, Dila mengalami momen pahit bersama Kato. Mereka didiskualifikasi saat bermain pada babak ketiga Perancis Terbuka 2023 melawan Sara Sorribes Tormo/Marie Bouzkova (Spanyol/Ceko). Dila/Kato mendapatkan keputusan itu karena Kato dinilai melakukan pelanggaran.
Diskualifikasi tersebut sempat menimbulkan perdebatan panjang di komunitas tenis dunia. Namun, momen itu pun menjadi semacam blessing in disguise.
Dila dan Kato makin dikenal komunitas tenis. Banyak petenis top dunia memberi dukungan. Pengikut di Instagram pun makin banyak meski, kata Dila, tak sebanyak atlet bulu tangkis dan sepak bola.
Sulit dapat sponsor
Walau prestasi naik, pengikut di Instagram bertambah, dan menjadi satu-satunya petenis Indonesia yang saat ini aktif di WTA Tour dan Grand Slam, nyatanya faktor itu tak membuat Dila menjadi lebih mudah mendapat sponsor. Saat ini, sponsor resminya hanya Asics yang bekerja sama sejak 2022.
Setelah tahun pertama mendapat dukungan berupa pakaian dan sepatu, baru pada 2023, Dila mendapat bantuan uang berkat hasil negosiasi. Meski demikian, jumlahnya tak seberapa jika dibandingkan dengan pengeluaran 75.000 dollar AS hingga 100.000 dollar AS (Rp 1,17 miliar-Rp 1,5 miliar) untuk biaya kompetisi selama setahun. Sebagian besar sumber biaya adalah uang yang dikumpulkan dari bonus saat meraih medali di PON, SEA Games, atau Asian Games.
Dila pernah mengajukan proposal pada sebuah bank, tetapi mereka menolak karena hanya mau mensponsori tim atau organisasi olahraga. Akhirnya, Dila mencari sponsor melalui koneksi dari ayah dan pelatihnya.
”Susah kalau tidak ada koneksi. Perusahaan lebih suka mensponsori influencer. Pada acara olahraga pun bukan atlet yang disponsori, melainkan artis untuk mengikuti ajang itu,” kata Dila.
Seiring dengan naiknya prestasi, Dila mendapat tambahan biaya tur. Itu didapat dari hadiah Grand Slam yang lebih besar dibandingkan turnamen lain hingga dia mulai bisa menabung. Meski demikian, hadiah untuk pemain nomor ganda jauh lebih kecil dibandingkan untuk tunggal.
Waktu pertama kali main di Grand Slam tingkat yunior, rasanya sangat ’wah’. Dari situ, aku menetapkan target ingin mencapai level lebih tinggi, ingin kembali ke Grand Slam di level senior.
Grand Slam, sebagai turnamen tenis profesional level tertinggi menjadi dambaan semua petenis. Jangankan menjadi juara, lolos sebagai peserta pun menjadi kebanggaan karena harus memenuhi syarat memiliki rangking tertentu.
“Waktu pertama kali main di Grand Slam tingkat yunior, rasanya sangat ‘wah’. Dari situ, aku menetapkan target ingin mencapai level lebih tinggi, ingin kembali ke Grand Slam di level senior,” katanya.
Dila akhirnya menjadi salah satu dari sedikit petenis Indonesia yang bisa bermain di Grand Slam. Bermain di level itu menjadi bagian dari perjalanan di dunia tenis yang dikenal Dila sejak berusia lima tahun. Ketertarikan Dila kecil pada olahraga ini karena sering mengikuti kakaknya berlatih, disadari oleh orangtuanya hingga Dila didaftarkan berlatih di klub.
Saat mulai bisa mengikuti turnamen, dia diantar ibunya, Herawati Sutisna Jahja, ke berbagai kota di Jawa. Ayahnya terkadang menyusul mereka saat akhir pekan, sekalian menjemput.
Dari pengalaman itulah, Dila berpendapat bahwa PP Pelti, sebagai induk cabang olahraga tenis, harus memperbanyak kembali turnamen di berbagai daerah. Hanya melalui pertandingan, semua faktor kemampuan atlet bisa diuji dan dimatangkan.
Mereka bisa mengumpulkan poin peringkat yang menjadi bekal untuk naik ke level internasional. Saat bisa tampil baik pada level ini, kesempatan lain terbuka, yaitu menjadi atlet sambil menempuh pendidikan tinggi.
Dila, misalnya, mendapat tawaran beasiswa secara penuh dari sekitar 20 universitas di AS pada 2012 saat berada pada peringkar 100 besar Federasi Tenis Internasional (ITF). ”Amerika memiliki kompetisi olahraga antaruniversitas. Jadi, mereka membutuhkan atlet dan mencarinya berdasarkan daftar rangking,” kata Dila yang kuliah di Universitas Kentucky dengan program studi matematika ekonomi pada 2013-2017.
Oleh karena berstatus atlet, program belajar disesuaikan dengan program latihan dan pertandingan.
Dila bermain tenis untuk Kentucky Wildcats, tim olahraga Universitas Kentucky. Atas prestasinya dalam kompetisi tenis antaruniversitas, Dila dinominasikan menjadi atlet putri NCAA terbaik pada 2017.
Meski menerima beasiswa melalui program atlet, perkembangan dalam studi tetap dipantau. Setiap atlet harus memenuhi standar IPK 3,0 agar bisa latihan dan bertanding.
Dila tak hanya punya potensi besar di lapangan tenis. Dia adalah mahasiswa cerdas dengan IPK 3,9. Kecerdasannya, salah satunya tergambar dari jawaban yang lugas dan berisi setiap menjawab pertanyaan.
Setelah lulus kuliah, turnamen yang diikuti tak hanya di Indonesia. Semua kebutuhan, seperti tiket pesawat, akomodasi, dan makanan, diurus sendiri.
Sebagai atlet profesional, petenis memang terbiasa mengurus semuanya sendiri. Hanya petenis elite, seperti Novak Djokovic, Iga Swiatek, dan Coco Gauff, yang punya tim untuk mengurus keperluan mereka. Mereka punya tim pendukung yang terdiri dari pelatih teknik, pelatih fisik, terapis, ahli gizi, psikolog, dan orang-orang yang mengurus kebutuhan di luar lapangan.
Namun, tak setiap atlet mampu melakukan itu. Banyak petenis di luar peringkat 20 besar dunia yang harus hidup di dunia tenis profesional dengan cara berhemat.
Dila pun belum mampu memiliki pelatih yang bisa mendampingi ke mana pun dia bertanding. Menurut perhitungannya, butuh biaya 2-2,5 kali lipat agar bisa didampingi seorang pelatih.
Maka, dia menyusun jadwal kegiatan dan mengevaluasi diri dengan bantuan orang-orang di sekitar yang mau berbagi ilmu. Saat bertanding, Dila mendapat masukan dari pelatih Kato meski terkendala bahasa.
Baca juga: Membangkitkan ”Garuda-garuda” Bangsa
Cara lain adalah dengan bertanya pada pelatih Asosiasi Tenis Jepang yang turun di turnamen besar untuk memantau atlet-atletnya. Dila pernah meminta masukan dari mantan petenisperingkat kedelapan dunia, Ai Sugiyama, yang menjadi pelatih. Di luar turnamen, dia belajar sendiri dari pengalaman.
Meski belum bisa membangun tim yang ideal sebagai petenis profesional, Dila punya komitmen tinggi pada dunia yang dicintainya. Dia bahkan tak merasa kehilangan masa kecil dan remaja karena latihan dan bertanding.
Maka, dia menyayangkan ketika banyak petenis Indonesia yang berpuas diri dengan menjadi juara Pekan Olahraga Nasional (PON) dan SEA Games. Pada umumnya, petenis-petenis itu beralasan tak punya sponsor (biaya) untuk menjalani tur internasional.
Berdasarkan pengalamannya, Dila pun memberikan pendapat yang lugas tentang hal tersebut. ”Sebenarnya kembali ke prioritas masing-masing karena menjalani olahraga apa pun pasti ada pengorbanan. Kalau saat mendapat bonus besar langsung dibelikan rumah atau mobil, pasti tidak akan ada biaya untuk ikut turnamen. Jadi, pertanyaannya, mau berkorban untuk yang lebih tinggi atau tidak? Mau berinvestasi untuk diri sendiri atau untuk yang lain?”
Sejak awal, Dila telah menentukan jalannya. Dia ingin menggapai puncak karier dia. Dia berkorban dan berinvestasi demi mimpinya.
Gisela Aldila Sutjiadi
Lahir : Jakarta, 2 Mei 1995
Orangtua : Indriatno Sutjiadi (ayah), Herawati Sutisna Jahja (ibu)
Saudara : Adrianus Jonathan Amdanu Sutjiadi, Antonius Andhika Sutjiadi (kakak)
Main profesional : 2010
Rangking : 26 ganda (tertinggi sejak 23 Oktober 2023)
Prestasi ajang multicabang:
-5 emas, 1 perak, 3 perunggu SEA Games
-1 emas dan 1 perunggu Asian Games
Prestasi WTA dan Grand Slam:
-Semifinal ganda putri yunior Australia Terbuka 2012 (bersama Rutuja Bhosale)
-Semifinal ganda putri WTA 1000 Indian Wells (Miyu Kato)
-Juara ganda putri WTA 250 Copa Colsanitas 2022 (Astra Sharma)
-Juara ganda putri WTA 250 Auckland dan Cleveland 2023 (Miyu Kato)
-Juara ganda putri WTA 250 Texas 2023 (Erin Routliffe)
-Final WTA Elite Trophy 2023 (Miyu Kato)
-Babak III Grand Slam Australia Terbuka, Perancis Terbuka, Wimbledon, AS Terbuka 2023 (Miyu Kato)
-Semifinal ganda campuran Grand Slam Perancis Terbuka dan Wimbledon 2023 (Matwe Middelkoop)