Nuzulur Ramadhona, Perawat Aksara Ulu Sumatera Selatan
Melalui Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu Sumatera Selatan, Nuzulur Ramadhona merawat aksara Ulu untuk mencegah kepunahan.
Pegiat aksara Ulu sekaligus pendiri Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu, Nuzulur Ramadhona.
Tradisi menulis dengan aksara Ulu (aksara asli Sumatera Selatan) semakin berkurang bahkan nyaris punah seiring masuknya aksara Latin. Namun, berkat kesadaran sejumlah pihak, tradisi menulis aksara Ulu coba kembali digalakkan. Salah satu penggeraknya adalah Nuzulur Ramadhona (26) yang menggagas Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu Sumsel.
Dengan seragam mencolok, Nuzulur yang akrab disapa Dhona datang untuk menjadi salah satu narasumber lokakarya bertema ”Merawat Aksara Ulu Sumatera Selatan” di Perpustakaan Daerah Sumsel, Palembang, Selasa (31/10/2023). Dia memakai tanjak alias hiasan kepala khas Sumsel dan rompi kulit kayu yang dihiasi sejumlah tulisan beraksara dan bergambar simbol-simbol unik di setiap bagiannya.
Usai narasumber pertama, Pustakawan Ahli Madya Perpustakaan Daerah Sumsel Ahmad Rapanie Igama menyelesaikan materinya, tibalah giliran Nuzulur yang biasa disapa Dhona. Dengan percaya diri, Dhona berjanji kepada audiens yang berjumlah 100 orang bahwa dia akan membantu para peserta bisa menulis aksara Ulu dalam 15 menit.
Baca juga: Antusiasme Generasi Muda Bangkitkan Tradisi Menulis Aksara Ulu di Sumsel
Agar bisa cepat menulis aksara Ulu, Dhona meminta para peserta yang sebagian besar mahasiswa untuk mengenal lebih dahulu 19 huruf dasar dari total 28 huruf yang ada. Setelah itu, peserta diajak memahami pemakaian tanda baca yang mengubah bunyi vokal huruf-huruf tersebut.
Tak sampai 15 menit, sebagian besar peserta sudah bisa menuliskan namanya sendiri dengan menggunakan aksara Ulu yang berbentuk goresan-goresan lurus dengan sudut kemiringan sekitar 45 derajat.
”Dulu, kalau mengisi pelatihan, saya coba memberikan penjelasan sedetail mungkin. Tapi, itu justru membuat para peserta bingung sehingga proses belajar lebih lama. Suatu waktu, saat suasana hati saya kurang baik di tengah Pekan Kebudayaan Nasional 2023 di Jakarta baru-baru ini, ada orang yang minta diajarkan aksara Ulu. Saya akhirnya memberikan materi sederhana. Ternyata, orang itu malah lebih cepat paham. Dari situ, saya menemukan pakem baru untuk pelatihan menulis aksara Ulu,” ujar Dhona mengungkapkan rahasianya.
Awal mengenal
Dhona sejatinya cukup lama mengenal aksara Ulu. Sedari kecil, pemuda asal Kabupaten Lahat, Sumsel, itu sudah akrab dengan aksara yang juga disebut aksara Kaganga tersebut. Itu karena temuan jejak naskah kuno ataupun prasasti beraksara Ulu cukup banyak yang berasal dari Lahat.
Meski demikian, Dhona baru benar-benar mengenal aksara Ulu saat mengikuti mata kuliah aksara itu di Jurusan Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah pada semester empat medio 2016. Sejak itu muncul kebanggaan dan kecintaan dari dirinya terhadap aksara Ulu.
Baca juga: Empat Bahasa Daerah di Sumsel Mulai Kehilangan Penutur Muda
”Dari mata kuliah itu, saya baru sadar ternyata tidak banyak daerah yang memiliki aksara asli seperti aksara Ulu di Sumsel. Sebagai penggemar anime, saya pikir aksara Ulu tidak kalah keren dengan aksara Jepang,” kata anak pasangan pensiunan guru, Zulkodri dan Rahmawati, tersebut.
Selepas itu, Dhona menghabiskan banyak waktunya untuk mengkaji lebih dalam mengenai aksara Ulu. Puncaknya, dia memutuskan untuk mengambil obyek penelitian skripsi tentang askari Ulu. ”Sebagai putra daerah, saya terpanggil untuk menekuni aksara Ulu. Lagi pula, belum banyak orang yang menggeluti aksara Ulu,” tuturnya.
Pegiat aksara Ulu sekaligus pendiri Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu, Nuzulur Ramadhona alias Dhona, saat memberikan materi dalam lokakarya "Merawat Aksara Ulu Sumatera Selatan" di Perpustakaan Daerah Sumsel, Palembang, Selasa (31/10/2023).
Beruntung, dosen yang mengajarkan mata kuliah aksara Ulu adalah Rapanie yang tak lain perintis penelitian aksara tersebut di Sumsel. Oleh karenanya, Dhona punya tempat bertanya dan berdiskusi yang kompeten untuk menjalani proses penelitian.
Dipandang sebelah mata
Akan tetapi, perjalanan Dhona untuk berkontribusi terhadap kajian aksara Ulu tidak mulus. Banyak tantangan yang dihadapinya. Mentalnya sempat diuji saat ada salah satu dosen UIN Raden Fatah yang memandang niatnya dengan sebelah mata.
”Waktu itu, saya pernah bertanya dengan salah satu dosen mengenai keinginan saya meneliti aksara Ulu. Bukannya memberikan semangat, dosen itu justru menyepelekan niat saya. Dia bilang, 'kenapa saya mengangkat penelitian tentang aksara Ulu, untuk apa?'” ucapnya.
Walau dipandang sebelah mata, pemuda kelahiran 25 Januari 1997 itu tetap teguh dengan pendiriannya. Kendati demikian, apa yang dikatakan dosen itu ternyata tidak sepenuhnya salah. Terbukti, saat ingin mengambil obyek penelitian di Museum Negeri Sumsel atau Museum Balaputra Dewa, dia justru kesulitan mendapatkan akses.
Baca juga: Muatan Lokal Perkuat Keberadaan Bahasa Daerah
Demikian naskah kuno milik masyarakat, saat itu, belum banyak warga yang bersedia memperlihatkan koleksi warisan yang dimiliki mereka. Maka itu, Dhona harus berjuang lebih ekstra untuk mengambil obyek penelitian ke Perpustakaan Nasional di Jakarta.
Dengan modal terbatas dan tidak ada dukungan anggaran dari pihak lain, Dhona berangkat secara estafet menggunakan sejumlah moda transportasi dari Palembang hingga Jakarta. Sesampai di Jakarta, dia tinggal di hostel. Karena dana terbatas, dirinya berpacu waktu untuk mendokumentasikan dan mengukur bagian-bagian naskah dalam dua hari.
Obyek yang dipilihnya berupa naskah kuno yang ditulis pada 10 bilah bambu. Naskah yang diduga asal suku Ogan, Sumsel, itu terdiri dari 37 baris dan berisi cerita mengenai pelaut Melayu bernama Kuda Pariama Dukaria Ringgit Dara Tapak Anak Depati Tua Cucu Karang Pidade yang melakukan perjalanan ke Palembang, China, India, dan Arab diperkirakan sebelum berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823).
Setelah itu, perjalanan Dhona tetap tidak baik-baik saja. Sebagai penerus generasi perintis penelitian aksara Ulu, tidak banyak tempat untuknya bertanya. Tantangan itu membuat proses penerjemahan berlangsung lama. Dari kurang lebih 10 bulan proses menggarap skripsi, yakni dari awal hingga akhir 2018, tujuh bulan dihabiskannya untuk mengalih aksara dan mengalihbahasakan dari aksara Ulu berbahasa daerah ke aksara Latin berbahasa Indonesia.
”Waktu itu, semua kata sudah bisa dialihkan dari aksara Ulu ke Latin, tapi saya belum bisa menyusun kata karena belum bisa membacanya. Itu karena aksara Ulu tidak mengenal spasi dan tanda baca koma serta titik. Selain itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah Uluan (wilayah pedalaman Sumsel) dan banyak yang tidak saya pahami. Karena tidak ada kamusnya, saya harus bertanya dengan orang-orang di kampung asal bahasa tersebut,” ungkapnya.
Membuat komunitas
Selepas mengarungi berbagai tantangan itu, Dhona tidak kapok. Pahit-manis pengalaman itu malah semakin memupuk keinginannya untuk menularkan minat terhadap aksara Ulu kepada khalayak ramai. Hal itu dimulai dengan mengajak dua teman kuliahnya bergabung ke Komunitas Pecinta Aksara Ulu Sumsel yang dibentuknya jelang lulus S-1 pada 2018.
Dengan komunitas itu, Dhona berbagi ilmu mengenai cara menulis dan membaca aksara Ulu melalui media sosial, serta belajar bersama dua teman kuliahnya. Tak berselang lama, di awal pandemi Covid-19, mereka mengikuti lomba daring Kemah Budaya Kaum Muda, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca juga: Tradisi Baca Tulis di Sumatera Telah Berkembang sejak Dulu
Mereka mengandalkan produk permainan puzzle bertema aksara Ulu. Produk itu membawa mereka meraih peringkat ketiga regional Sumatera. Meski belum bisa melangkah ke tahap nasional, mereka mendapatkan hadiah materi yang digunakan untuk melegalkan komunitas mereka menjadi Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu Sumsel di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Walau tidak signifikan, segala upaya perkumpulan itu dalam memperkenalkan aksara Ulu mendapatkan respons positif. Buktinya, jumlah anggota mereka bertambah menjadi 20 orang dalam tiga tahun terakhir. Mereka tetap rutin mengisi kegiatan dengan belajar bersama minimal dua kali sebulan di rumah Dhona yang dijadikan sekretariat perkumpulan tersebut.
Anggota baru rata-rata berusia 16-20 tahun yang berstatus mahasiswa. Sebagian besar bergabung karena ingin lebih mengenal aksara Ulu dan sebagian lagi untuk kepentingan kuliah. ”Perkumpulan ini hanya mengambil uang iuran bagi yang baru bergabung untuk membuat kaus. Selebihnya, kegiatan belajar bersama itu diselenggarakan gratis,” ujar Dhona.
Era baru digital
Untuk lebih mempermudah upaya sosialisasi, Dhona berinisiatif membuat font huruf aksara Ulu pada medio 2019. Awalnya, dia meminta tolong temannya yang menguasai teknologi informasi (IT). Hanya saja, setelah setahun tidak ada respons, dirinya memilih berusaha sendiri.
Bermodal komputer jinjing dengan spesifikasi kemampuan terbatas, Dhona yang tidak menguasai IT belajar membuat font huruf dari Youtube dan memanfaatkan aplikasi ataupun laman gratisan. Dalam lima hari, dia menuntaskan font huruf aksara Ulu yang berjumlah 28 huruf dasar dan beberapa varian. Font bernama Surat Ulu Sumatera Selatan (nama lain dari tradisi aksara Ulu di Sumsel) itu bisa diunduh gratis lewat laman Aksaradinusantara.com.
Font itu membawa aksara Ulu menuju era baru di zaman serba digital. Kini, font itu bisa digunakan ke sejumlah aplikasi yang mendukung bentuk bahasa data true type font (ttf), antara lain PixelLab dan CapCut. ”Font ini banyak digunakan oleh mahasiswa untuk kebutuhan kuliah, tapi ada juga masyarakat umum untuk belajar mengenal aksara Ulu,” katanya.
Font itu pula yang menjadi modal penting Dhona untuk menyusun Buku Pedoman Aksara Ulu Sumatera Selatan yang terbit pertama kali pada September 2022. Buku itu berisi rangkuman cara belajar menulis dan membaca aksara Ulu.
Dengan beragam pengalaman yang dimiliki, Dhona menyusun buku itu dengan sedemikian rupa hingga menghasilkan metode pembelajaran yang paling efektif agar cepat dipahami oleh orang awam. Dia bercita-cita buku itu bisa digunakan di sekolah-sekolah untuk mata pelajaran aksara Ulu, setidaknya bagian dari muatan lokal.
”Beberapa waktu lalu, saya sudah melakukan audiensi dengan Dinas Pendidikan Sumsel untuk mengusulkan buku saya menjadi bahan ajaran aksara Ulu di sekolah-sekolah. Semoga dalam waktu dekat itu bisa terealisasi,” tutur Dhona.
Persimpangan jalan
Selain asyik dengan Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu, membuat font huruf, dan buku, Dhona juga aktif mengisi sejumlah kegiatan lokakarya dan penelitian. Dia sempat menjadi narasumber lokakarya ”Terpumpung Aksara Ulu” di Museum Balaputra Dewa (2019), ”Pelatihan Huruf Ka Ga Nga, Aksara Ulu” oleh Forum Pariwisata dan Kebudayaan Sumsel (2020), dan ”Belajar Menulis Aksara Ulu” oleh Hidden Heritage Week (2021).
Dhona pun ambil bagian penelitian ”Pendukungan Cagar Budaya Manuskrip Surat Ulu” oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan (2019) dan ”Islami di Wilayah Ulu Enim dan Ogan, Kajian Arkeologi, Prasasti, dan Naskah Lokal” oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan (2021). Di samping kerja profesional itu, dia dan rekan-rekannya juga berusaha mencari temuan baru naskah kuno di daerah dengan biaya sendiri.
Selama ini, naskah kuno dianggap benda keramat oleh masyarakat sehingga sulit untuk mengetahui keberadaannya. Namun, dengan jaringan dan pendekatan khusus, ada empat naskah kuno milik warga yang sukses mereka dokumentasi, baca, dan alih bahasakan. Semua itu dilakukan untuk pendataan sebelum naskah kuno yang rawan rusak itu hilang dimakan usia.
Dhona juga aktif memberikan pelatihan kepada pelajar di sekolah-sekolah secara gratis. Untuk menunjang keilmuannya, dia melanjutkan pendidikan linier ke jenjang strata 2 di UIN Raden Fatah mulai 2019 dengan biaya orangtua.
”Banyak manfaat yang saya dapat dari pendidikan S-2, terutama lebih memahami varian aksara Ulu yang sangat beragam di Sumsel. Tapi, yang paling utama, saya mulai mendapatkan pengakuan dari orangtua selepas saya lulus S-2 dengan status cum laude dan dapat apresiasi dari kampus. Sebelumnya, orangtua saya tidak peduli dengan kegiatan-kegiatan saya untuk aksara Ulu,” ujarnya.
Kendati menikmati segala aktivitas yang sebagian besar bersifat sukarela tersebut, Dhona tak kuasa saat berhadapan dengan persimpangan jalan tanggung jawab moril kepada orangtua. Sejauh ini, dia lebih banyak mengeluarkan uang pribadi ketimbang mendapatkan materi dari kegiatan-kegiatan tersebut.
Mimpi terbesar saya adalah membawa aksara Ulu mendunia.
Untuk itu, Dhona sempat ingin meninggalkan aksara Ulu guna mencari kerja sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada orangtua yang telah menyekolahkan. Apalagi, tidak ada tindak lanjut nyata dari pemerintah atas semua pengorbanannya.
Akan tetapi, hati Dhona bergejolak karena pikiran naif khawatir tidak ada lagi yang peduli kepada aksara Ulu. ”Saya pernah merasa jenuh dan bosan sehingga sempat terpikir untuk berhenti menekuni aksara Ulu. Tapi, saya takut tidak ada lagi yang benar-benar peduli dengan aksara Ulu. Jadinya, saya coba meyakinkan diri untuk bertahan setahun demi setahun hingga sekarang,” ucapnya.
Agar tetap mendapatkan penghasilan, kini, Dhona dan rekan-rekannya coba mengembangkan usaha dengan tema aksara Ulu. Mereka membuka jasa pembuatan papan nama pegawai pemerintahan yang mulai diwajibkan menggunakan nama beraksara Latin dan Ulu. Mereka juga menjual beragam pernak-pernik bercorak aksara Ulu, seperti gantungan kunci, tanjak, dan pakaian batik.
”Mimpi terbesar saya adalah membawa aksara Ulu mendunia. Itu diawali dengan membuat generasi muda jatuh cinta dengan aksara Ulu sehingga aksara ini bisa menjadi kebanggaan dan kembali mengakar di masyarakat,” katanya.
Dhona membawa semua mimpinya dalam pesan beraksara Ulu yang ditulisnya di bagian belakang rompi kulit kayu yang sering dikenakannya. ”Ramadhona, tetap berjuang walau tidak ada yang peduli. Yakinlah, semua ada waktunya,” terang Dhona mengartikan tiap baris dari tulisan tersebut.
Nuzulur Ramadhona
Lahir: Lahat, Sumatera Selatan, 25 Januari 1997
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Sejarah Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri Raden Fatah (2014-2018
- S-2 Jurusan Sejarah Peradaban Islam di UIN Raden Fatah (2019-2021)