Tradisi Baca Tulis di Sumatera Telah Berkembang sejak Dulu
Tradisi membaca dan menulis sudah mengakar kuat di Sumatera. Tradisi berkembang di masa Kedatuan Sriwijaya abad ke-7 hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam dan terus diupayakan hingga kini.
Yunar, warga Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, menunjukkan lembaran kulit kayu yang berisikan goresan garis siku dan garis tegas di dalamya. Goresan itu adalah tulisan yang menggunakan aksara Ulu yang Yunar peroleh dari leluhurnya.
Tulisan bercerita tentang batas wilayah antara Muara Enim dan Lahat. ”Ini merupakan tulisan dari puyang (nenek moyang) saya,” ujar Yunar dalam acara Festival Literasi Sumsel 2022 di Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang, Senin (7/11/2022).
Naskah kuno yang dinamakan Ujan Mas itu ditulis pada 1786 oleh Babenguk, seorang puyang yang menjadi pemimpin di kawasan Ujan Mas di Kabupaten Muara Enim. Babenguk mewariskan naskah tersebut kepada keturunannya hingga ke tangan Yunar yang merupakan generasi kelima.
Pelestari naskah kuno, Ahmad Rapanie Igama, mengatakan, aksara Ulu terdiri dari 26 silabel dengan susunan tiga silabel pertama berbunyi ”Ka”, ”Ga”, dan ”Nga”. Itulah alasan mengapa aksara Ulu juga dikenal dengan nama Kaganga. Tidak hanya di Sumsel, aksara ini juga ditemukan di beberapa daerah di Sumatera bagian selatan, seperti Lampung, Bengkulu, dan Jambi.
Baca juga: Transformasi Perpustakaan Butuh Dana Masyarakat
Keberadaan aksara Ulu menjadi bukti bahwa budaya menulis sudah terpatri di wilayah Sumatera, khususnya wilayah selatan, sejak lama. Aksara ini sendiri diperkirakan sudah ada sejak abad ke-12 Masehi dan berkembang pesat pada abad ke-15 Masehi.
Disinyalir, aksara Ulu merupakan turunan dari huruf Pallawa yang digunakan kaum bangsawan di zaman Kedatuan Sriwijaya. Hal ini dibuktikan dalam beberapa prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang ditulis pada abad ke-7 Masehi, seperti Prasasti Kedukan Bukit (684 Masehi) dan Prasasti Talang Tuo (684 Masehi).
Aksara Ulu biasanya ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu yang memang saat itu menjadi bahasa antaretnis ( lingua franca) dengan beragam dialek, seperti Basemah, Komering, Ogan, Beliti, dan Sekayu. Aksara ini biasanya ditulis melalui berbagai media, seperti tanduk, kulit kayu (kaghas), bilah bambu (gelumpai), gelondong bambu (surat baloh), dan kertas yang didatangkan dari Eropa.
”Media tulis yang dipilih tergantung peruntukannya,” ujar Rapanie. Misalnya tanduk kerbau rawa biasanya digunakan sebagai media untuk menuliskan perjanjian penting antardua pihak. ”Tujuannya agar tulisan perjanjian itu tidak cepat pudar karena akan diwariskan kepada keturunannya sebagai bukti,” katanya.
Latin, Arab, dan Jawi
Pada abad ke-17, mulailah dikenal aksara Latin. Sejumlah naskah penting, seperti Undang-Undang Simbur Cahaya, aturan adat yang berlaku pada masyarakat uluan (hulu Sungai Musi), direvisi dan ditulis dengan dua aksara, yakni aksara Jawi dan Latin.
Pada masyarakat di kawasan ilir (hilir Sungai Musi), Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara Sumatera Selatan Nyimas Umi Kalsum mengatakan, tradisi menulis dan membaca mereka kental terasa di masa Kesultanan Palembang Darussalam. ”Lingkungan kesultanan seakan menjadi tempat bagi penulis menghasilkan karya-karya hebatnya,” ujar Nyimas.
Berbeda dengan kawasan uluan yang menggunakan aksara Ulu, di ilir, kaum bangsawan menggunakan aksara Arab berbahasa Arab dan aksara Jawi, yakni perpaduan antara aksara Arab dan Melayu. Pada pertengahan abad ke-18, Kesultanan Palembang Darussalam sangat dekat dengan ulama-ulama dari Arab sehingga akulturasi budaya terbentuk dengan cepat, salah satunya melalui tulisan.
Karya dengan aksara Jawi dan Arab itu ditulis menggunakan tinta dari China, kertas dari Eropa, dan kulit dari Timur Tengah. ”Ini menandakan hubungan internasional masa kesultanan cukup baik,” ujarnya.
Beberapa penulis ternama bermunculan, seperti Syihabudin bin Abdullah Muhammad menulis kitab Hakikat al Abayan dan Syaikh Abdussamad al Palimbani yang menulis Ratib Saman, Zuhrat al Murid fi Bayat Kalimat al Tauhid.
Selain itu, juga ditulis karya yang berkaitan dengan sejarah dan ketatanegaraan seperti Undang-undang Palembang, Undang-undang Simbur Cahaya, Asal Raja-raja Palembang, dan Sejarah Pasemah.
Sejumlah karya sastra, seperti hikayat, primbon, cerita wayang, dan pantun, pun tercipta pada masa itu. Karya-karya itu membuktikan tradisi menulis dan membaca sudah tertanam sejak lama di Sumatera Selatan. Dengan banyaknya karya, minat baca masyarakat pun sangat tinggi.
Dengan banyaknya karya, minat baca masyarakat pun sangat tinggi. (Nyimas Ulmi Kalsum)
Namun, adaptasi masyarakat menggunakan berbagai aksara telah membuat penggunaan aksara Ulu menyurut. Keberadaan aksara Ulu berangsur-angsur hilang sejak masa pendudukan kolonial hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam. Saat itu, Belanda, termasuk keluarga Kesultanan Palembang Darussalam, cenderung menggunakan aksara Jawi untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang tinggal di kawasan uluan.
Bahkan, pada perang Kesultanan Palembang Darussalam dengan Belanda tahun 1819-1821, perpustakaan kesultanan turut lenyap. Beberapa naskah menyebar di keluarga kesultanan, termasuk di antaranya Nyimas Umi Kalsum yang menyimpan 22 naskah.
Hingga kini, sejumlah pihak terus berupaya untuk melestarikan naskah kuno bertuliskan aksara Ulu dan aksara Jawi agar budaya Sumatera Selatan tidak tercerabut dari akarnya. Pada 2018, Rapanie membuat Perkumpulan Pencinta Aksara Ulu Sumatera Selatan yang memiliki misi untuk mengenalkan aksara Ulu kepada generasi muda melalui sejumlah karya.
Menarik anak muda
Nuzulur Ramadhona, Ketua Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu, berupaya agar aksara Ulu Sumatera Selatan tidak hilang. Dia membuat sejumlah karya yang menarik bagi anak muda, seperti membuat kriya khas yang bertuliskan aksara Ulu dan juga baju oblong yang di belakangnya terdapat aksara Ulu.
Selain itu, pada 2022, pria kelahiran Lahat, Sumatera Selatan, ini juga membuat sebuah buku pedoman aksara Ulu Sumsel yang diharapkan menjadi pegangan bagi dunia pendidikan di Sumsel untuk bisa mengenal aksara para leluhurnya. ”Dengan membaca naskah kuno, kita bisa mengerti apa pesan yang disampaikan para leluhur kepada generasi muda,” katanya.
Nyimas mengatakan, di zaman digital ini, banyak cara bagi anak muda untuk mendapatkan wawasan. ”Bahkan, sekarang naskah kuno sudah didigitalisasi. Ambil sisi positif dari kemajuan, yakni dengan meningkatkan literasi untuk menambah wawasan,” ujar Nyimas.
Kepala Dinas Perpustakaan Sumsel Fitriana mengutarakan, beragam upaya sudah dilakukan untuk menumbuhkan minat baca para generasi muda di Sumsel, misalnya dengan membangun pojok baca, mentransformasi perpustakaan, dan membangun komunitas literasi bahkan pada kaum penyandang disabilitas.
Skema ini dianggap mampu meningkatkan indeks pembangunan literasi masyarakat Sumsel yang telah melampaui indeks literasi tingkat nasional, yakni 14,57 persen. Adapun indeks literasi nasional sekitar 13 persen.
Peningkatan ini juga tidak lepas dari adanya perpustakaan digital yang ditujukan untuk merangkul para pembaca muda. Dengan demikian, diharapkan wawasan masyarakat Sumsel, terutama generasi muda, bisa terus terbangun.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru beranggapan, di tengah akses informasi yang sangat luas, tidak ada alasan lagi bagi generasi muda di Sumsel untuk tidak meningkatkan kapasitas dengan menambah wawasannya. ”Tantangan kita saat ini adalah kebodohan akibat keterbatasan wawasan,” ujar Herman.
Menurut dia, membaca adalah cara yang tepat untuk mendapatkan wawasan di luar pendidikan. ”Dengan bertambahnya wawasan, diharapkan dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan berkurangnya angka kemiskinan,” ujar Herman.
Yunar beranggapan, aksara Ulu ini harus terus diperkenalkan kepada generasi muda karena merupakan identitas masyarakat Sumatera bagian selatan. ”Jangan sampai identitas Sumatera Selatan hilang,” ujarnya.