Margareta Astaman, Gibah untuk Menggubah
Margareta Astaman melakukan riset berbasis gibah. Hasil risetnya menjadi dasar untuk menulis novel ”The Overqualified Leftover Club”.
Jika Anda perempuan berusia 30-an tahun, belum menikah, dan tinggal di Indonesia, Anda bakal disuruh cepat-cepat menikah agar tak jadi ”perawan tua”. Ada yang sampai diruwat keluarganya, sampai bertahan dengan pacar toksik supaya tak perlu repot cari jodoh lagi. Margareta Astaman (37) mendengarkan semua cerita itu, lantas menggubahnya menjadi novel The Overqualified Leftover Club.
”Ini namanya riset berbasis gibah! Ha-ha-ha,” kata Margareta—yang akrab dipanggil Margie—saat ditemui di Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Dengan senyum lebar, Margie mengenang lagi riset yang ia lakukan selama setahun. Riset kecil ini melibatkan 16 teman perempuannya yang rata-rata berusia 30-an tahun. Ada pula yang berusia akhir 20-tahun dan di atas 40 tahun. Mereka semua belum menikah dan diminta lekas bersuami.
Baca juga: Perempuan Belum Setara dalam Bacaan Kita
Margie membuka riset dengan bertanya ke teman-temannya: Apa hal tergila yang pernah loe alami karena belum menikah? Jawabannya kalau tak bikin geleng-geleng kepala, ya, bikin mereka ngakak sambil berkata bahwa nasib temannya lebih parah dari dirinya sendiri.
Pernah ada teman perempuan Margie yang habis mengejar gelar PhD di Benua Biru. Sekembalinya ke Indonesia, sang teman dimandikan untuk ritual ruwatan. Adapun ruwatan diasosiasikan dengan buang sial dan penyucian diri. Sang teman diharapkan enteng jodoh setelah dimandikan.
”Ada juga temanku yang jabatannya direktur, tapi disuruh ngaku sebagai manajer karena takut pasangannya jiper pas kenalan. Ada juga yang dibacain mantra (supaya dapat jodoh), tapi mantranya salah, ha-ha-ha,” katanya.
Padahal, teman Margie adalah perempuan-perempuan keren. Mereka berpendidikan, kariernya bagus, dan parasnya cantik. Namun, dengan spek sedemikian mentereng, mereka tak kunjung kena panah Cupid. Status di KTP mereka ”Belum Kawin”.
Di Indonesia, perempuan berusia matang yang belum menikah rawan dicap ”terlalu pemilih” oleh publik atau bahkan keluarga. Jika tak pemilih, sang perempuan dituduh terlalu sukses, terlalu pintar, terlalu mandiri, sekolahnya ketinggian, atau judes. Laki-laki jadi enggan mendekat. Di sisi lain, mereka kerap menerima tekanan untuk segera menikah.
Dilema para perempuan lajang ini lantas ditulis menjadi novel berjudul The Overqualified Leftover Club. Buku terbitan 2022 ini berkisah soal empat perempuan dengan dilema masing-masing. Ada Jessica, keturunan Tionghoa bergelar PhD, yang ditekan keluarga untuk segera cari jodoh, ikut kencan buta orang, dan mencari lelaki dengan marga tertentu.
Ada lagi Icha, dosen kesetaraan gender dan anak tokoh Islam, tetapi punya pacar toksik. Joana, kandidat doktor yang kondisi kesehatannya dikaitkan dengan statusnya sebagai lajang. Dan ada Hanum, ASN sekaligus influencer lajang, yang sebentar lagi masuk usia 30 tahun.
Keempat tokoh itu merupakan rangkuman dari karakter dan cerita teman-teman Margie selama riset. Buku ini dikerjakan bersama kawan karib Margie, Inayah Wahid, yang juga lajang dan tak luput dari pertanyaan kapan nikah.
Bebas
Margie sendiri belum menikah. Tetapi, keluarganya tak menekan ia untuk segera bersuami. Margie diberi kebebasan untuk menjalani hidupnya secara bertanggung jawab. Ia kini sibuk menjadi eksportir buah, serta menulis buku danblog.
Margie senang dan bersyukur dengan hidupnya, tapi tetap saja ada suara sumbang. Margie mulanya gemas, tapi lama-lama mendapati itu lucu. ”Di kondangan muncul selentingan, ‘Oh, pantas… Sibuk banget, ya? Jadi enggak sempat cari suami, ya?’” katanya tertawa.
Bagi sebagian orang, menikah adalah kebutuhan. Ada juga yang menganggapnya pencapaian hidup. Manusia baru dianggap lengkap dan bahagia kalau menikah. Di sisi lain, ada yang meyakini bahwa pernikahan bukan untuk semua orang.
Jika Margie dan kawan-kawan dianggap telat menikah, di belahan dunia lain ada orang yang menikah terlalu cepat. Beberapa orang terjerat perkawinan anak antara lain karena faktor budaya dan tekanan ekonomi. Minimnya lapangan pekerjaan juga membuat beberapa orangtua tak menyekolahkan anak ke jenjang lanjutan, dan justru menikahkan anaknya. Realitas yang berkebalikan ini membuat Margie banyak merenung.
Selama menulis buku, Margie dan teman-temannya ikut berproses. Mereka akhirnya sampai pada titik untuk berdamai dengan diri sendiri. Mereka juga belajar bahwa kebahagiaan datangnya dari hati yang bersyukur dan merasa cukup. We’re okay. We’re enough.
”Buku ini jadi teman jalannya teman-temanku yang sedang berproses mencari jodoh. Lewat buku ini juga jadi ada yang berpikir bahwa gue enggak sendirian, loh,” katanya yang juga CEO Java Fresh, perusahaan pemasok buah Indonesia ke luar negeri.
Baca juga: Buah Nusantara yang Berkelana ke Banyak Negara
Belajar dari petani
Margie justru belajar makna cukup dari petani-petani buah di desa. Ia ingat betul waktu itu hendak ekspor buah, tapi kuantitas produknya kurang. Margie bingung, tapi para petani tenang-tenang saja.
”Aku tanya berapa prediksi panen dan nutup atau enggak buat pengiriman. Jawabannya, ”Insya Allah bisa. Insya Allah nutup, Bu.’ Tidak ada jawaban pasti, but they meant it,” katanya. ”Setelah pengiriman, (produknya) cukup, malah lebih.”
Menurut para petani, manusia itu terbatas. Jika percaya pada Tuhan, manusia bisa berdoa untuk mengatasi keterbatasan. Saat doa dikabulkan, kita tak perlu mempertanyakan hal-hal baik. Cukup disyukuri saja.
Dari kejadian itu, Margie belajar prinsip kepasrahan. Kalau pun suatu hari nanti Yang Di Atas memberi rezeki, termasuk jodoh, sudah pasti itu yang terbaik. Sampai saat itu tiba, kita tidak perlu settle for less. Tetaplah menjadi versi terbaik diri kita masing-masing.
Dengan kesadaran itu pula Margie menempa diri. Ia jadi ingat perjalanannya mendirikan Java Fresh bersama beberapa teman saat 2014. Beberapa tahun sebelum Java Fresh ada, Margie dan temannya sibuk belajar soal penanaman buah, mencari petani yang mau diajak bekerja sama, riset pasar, hingga mencari pembeli.
Karena tak punya latar belakang bisnis atau pertanian, Margie mesti belajar dari nol. Karena banyak tak tahunya, belajar jadi susah dan banyak gagalnya. ”Terus kenapa kalau gagal? Ya, sudah, tinggal balik kerja kantoran, kumpulin (tabungan), dan coba hal baru. Kalau gagal, kan, enggak bikin kita mati juga,” ucap Margie.
Biodata
Nama: Margareta Astaman
Tanggal lahir: 14 Desember 1985
Pendidikan: Bachelor of Communication, Nanyang Technological University Singapore, Journalism & Publishing Division (2008)
Pekerjaan:
- Chief Executive Officer/Cofounder PT Nusantara Segar Global/Javafresh (2014-Present)
- Senior Digital Manager PT Aimia Indonesia (2013-2015)
- Chief Content Officer PT Indoportal Nusantara (2011-2013)
- Assistant Vice President PT Multiply Indonesia (2011)
- Country Editor MSN Indonesia (2008-2011)
Buku yang diterbitkan:
-The Overqualified Leftover Club (2022)
- Ancaman Radikalisme Dalam Negara Pancasila (2019)
- Stalking Indonesia (2014)
-Freshgraduate Boss (2013)
- Excuse Moi (2012)
- After Orchard (2011)
- An Online Melting Pot In Linimas(S)A (2011)
- Cruise On You (2010)
- Have A Sip Of Margarita (2009)