Bekerja di bidang riset dasar membutuhkan renjana, ketekunan, dan kolaborasi yang kuat. Karakter itulah yang ditunjukkan Moungi G Bawendi, Loius E Brus, dan Alexei I Ekimov, penerima Hadiah Nobel Kimia 2023.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Moungi G Bawendi (62), Louis E Brus (80), dan Alexei I Ekimov (78) tidak menyangka studi mereka tentang titik-titik kuantum pada 30-40 tahun lalu akan menghasilkan Nobel Kimia 2023. Bahkan, mereka juga tidak memprediksi jika karya mereka itu akan banyak dimanfaatkan saat ini untuk berbagai peralatan elektronik hingga layanan medik.
Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia (AIPKS) di Stockholm, Rabu (4/10/2023), menetapkan, Bawendi, Brus, dan Ekimov sebagai penerima Hadiah Nobel Kimia 2023. Anugerah itu diberikan atas dedikasi mereka dalam membuktikan dan mengembangkan titik-titik kuantum (quantum dots), yaitu partikel tunggal berukuran nano yang bisa menghasilkan cahaya monokromatik.
Bawendi adalah profesor kimia di Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Cambridge, Amerika Serikat. Sementara Brus adalah profesor emeritus bidang kimia di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, dan juga mentor Bawendi saat bekerja di Laboratorium Bell AT&T. Sementara Ekimov adalah mantan kepala peneliti di perusahaan Nanocrystals Technology Inc di New York.
Teori tentang titik kuantum sejatinya sudah mapan sejak 1930-an. Namun, saat itu belum ada teknologi yang bisa digunakan untuk membuat partikel berukuran nano alias sepermiliar meter di laboratorium secara terkontrol. Karena itu, banyak ilmuwan tidak yakin bahwa pengetahuan tentang titik kuantum itu akan bermanfaat di masa depan.
Setelah mandek selama beberapa dekade, Ekimov pada 1980-an, saat masih bekerja di St Petersburg, Uni Soviet (kini Rusia), berhasil menciptakan efek kuantum menggunakan senyawa tembaga klorida berukuran nano pada kaca berwarna. Beberapa tahun berikutnya, Brus membuktikan efek kuantum yang bergantung pada ukuran partikel itu pada senyawa kadmium sulfida yang mengambang bebas dalam fluida.
Selanjutnya, Bawendi pada 1993 merevolusi proses produksi titik kuantum tersebut hingga menghasilkan partikel yang nyaris sempurna. Kualitas tinggi titik kuantum itu jadi syarat mutlak agar titik kuantum bisa dimanfaatkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Saat ini, titik kuantum digunakan secara luas untuk menciptakan warna-warni terang pada layar datar dengan teknologi QLED (quantum dots light emitting diode), membuat lampu LED yang bisa diubah kecerlangannya, hingga memetakan jaringan tubuh dan melihat pembuluh darah pada tumor.
”Saya tidak pernah menyangka bahwa kita bisa membuat benda-benda ini (titik kuantum) dalam skala komersial yang besar,” kata Bawendi dalam taklimat media yang diselenggarakan MIT.
Saat memulai riset titik kuantum ini sekitar 30 tahun, dia dan kolega tidak memprediksi pesatnya aplikasi penggunaan titik kuantum hingga seperti sekarang. Karena itu, dalam berbagai seminar yang dia ikuti, Bawendi mengaku masih suka mencermati dan terkagum dengan perkembangan pemanfaatan titik kuantum yang ada.
Kekaguman serupa juga diungkapkan Ekimov sebagai pionir riset bidang ini. Hingga kini, dia selalu takjub dengan teknologi layar datar yang digunakan secara luas dalam industri elektronika saat ini. Kondisi sekarang jauh berbeda dengan televisi di tahun 1980-an yang berbentuk tabung kaca, berat, dan ukurannya terbatas.
”Ingat, seperti apa bentuk televisi saat itu,” katanya sambil tertawa saat diwawancara Reuters.
Meski telah dianugerahi penghargaan tertinggi dalam ilmu pengetahuan, Brus tidak ingin tinggi hati. Baginya, hadiah Nobel ini adalah hasil kerja bersama peneliti dan kolega lainnya, baik yang di universitas maupun di industri. Anugerah ini juga buah dari kerja tekun dan panjang karena sepanjang melakukan riset titik kuantum, ini tidak ada satu pun momen ”Eureka!” yang menunjukkan ditemukan teori atau hal baru secara tiba-tiba dan tidak sengaja.
Brus juga menilai anugerah ini bukan berarti dirinya orang yang pintar. ”Saya masih sangat jauh dari kata genius. Namun, yang penting (untuk bisa sampai pada titik ini) adalah mencoba menemukan masalah penting yang tidak disadari atau tidak dikerjakan oleh orang lain,” katanya.
Pentingnya ketekunan itu juga disampaikan Bawendi. Sejatinya, riset adalah proses yang panjang, terutama di bidang riset dasar yang sering kali tidak bisa diprediksi akan dimanfaatkan seperti apa di masa depan. Banyak percobaan harus dilakukan dan harus siap dengan kegagalan yang akan terjadi. Namun, pekerjaan tetap harus dilanjutkan karena kadang-kadang sesuatu yang baru bisa ditemukan secara tidak terduga.
Saat menghadapi kegagalan, Bawendi pun pernah merasa itu akan menjadi akhir dari hidupnya. Situasi itu dia hadapi saat menghadapi ujian pertamanya sebagai mahasiswa baru di Universitas Harvard, AS. Dalam ujian itu, dia hanya mendapat nilai 20 dari 100 poin dan menjadi nilai terjelek di kelasnya.
Dari kegagalan itu Bawendi berusaha memperbaiki diri. Di SMA, dia terbiasa tidak belajar saat menghadapi ujian. Namun, nyatanya, ujian di universitas itu berbeda. Dia tidak memahami pertanyaan yang diajukan dalam ujian meski dia menguasai materinya. Karena itu, dia berusaha memperbaiki pola belajarnya dan terus berlatih. Siapa sangka lebih dari empat dekade berikutnya, dia menjadi pemenang Hadiah Nobel.
Bawendi juga merasa terbantu oleh orang-orang hebat di sekitarnya. Saat bekerja di Laboratorium Bells, dia merasa hidup di lingkungan yang penuh dengan energi dan ilmu pengetahuan. Di industri itu, dia bertemu banyak ilmuwan, baik dari bidang kimia maupun fisika.
Ketika kembali ke kampus dan mengajar di MIT, dia pun merasa tetap dikelilingi oleh orang-orang hebat, yaitu mahasiswanya yang luar biasa. Salah satu jurnal hasil publikasinya yang dirujuk oleh komite Nobel dikerjakan bersama mahasiswa bimbingannya. ”Saya tidak dapat melakukan apa pun tanpa kerja sama dari mahasiswa-mahasiswa yang luar biasa,” katanya.
Bawendi menyarankan kepada anak-anak muda yang ingin berkarier di dunia riset untuk selalu berpikiran terbuka dengan apa yang mereka minati. Renjana yang mereka miliki saat ini bisa jadi berbeda dengan apa yang sedang mereka tekuni. Bisa pula ketertarikan itu akan muncul di masa yang akan datang. ”Karena itu, penting bersikap fleksibel dan terus menjaga rasa ingin tahu,” ujarnya.
Hasil kerja Bawendi, Brus, dan Ekimov itu menunjukkan pentingnya riset-riset dasar bagi umat manusia. Meski prosesnya lama, mahal, dan memakan energi sangat besar, peneliti riset dasar perlu konsisten dengan jalan yang telah mereka pilih, tanpa terburu-buru mengharapkan hasil yang langsung bisa diterapkan atau diserap industri.
Dari riset titik kuantum itu pula menunjukkan butuh lebih dari 40 tahun agar riset dasar itu bisa benar-benar bisa dimanfaatkan oleh manusia. Karena itu, penting menjaga renjana periset dasar agar tetap bisa istikamah, tidak mudah putus asa, dan senantiasa menjalin kerja sama dengan orang lain yang memiliki minat sama.
Moungi G Bawendi
Lahir: Paris, Perancis, 1961
Pendidikan doktoral: Universitas Chicago, Amerika Serikat, 1988
Pekerjaan: Profesor di Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Cambridge, Massachusetts, AS
Louis E Brus
Lahir: Cleveland, Ohio, AS, 1943
Pendidikan doktoral : Universitas Columbia, New York, AS, 1969
Pekerjaan: Profesor emeritus di Universitas Columbia, New York, AS
Alexei I Ekimov
Lahir: Uni Soviet, 1945
Pendidikan doktoral: Institut Fisika-Teknologi Ioffe, Saint Petersburg, Uni Soviet (Rusia), 1974
Pekerjaan: Mantan Kepala Peneliti di Nanocrystals Technology Inc, New York, AS