Nobel Kedokteran bagi Peneliti Vaksin Berbasis mRNA
Hadiah Nobel Kedokteran 2023 diberikan kepada Katalin Kariko dan Drew Weissman atas temuan mereka mengenai modifikasi basa nukleosida untuk pengembangan vaksin mRNA.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Katalin Kariko dan Drew Weissman memenangi Hadiah Nobel Bidang Fisiologi atau Kedokteran Tahun 2023. Dua ilmuwan tersebut mendapatkan penghargaan atas pengembangan vaksin mRNA yang efektif melawan virus penyebab Covid-19.
Pengumuman penganugerahan Nobel tersebut disampaikan oleh Sekretaris Komite Nobel Fisiologi atau Kedokteran Thomas Perlmann di Karolinska Institutet, Stockholm, Swedia, Senin (2/10/2023) waktu setempat. Temuan inovatif dari penerima Nobel tersebut dinilai berkontribusi terhadap laju pengembangan vaksin di dunia.
Juri Penghargaan Nobel dalam keterangan tertulis yang dikutip dalam nobelprize.org menyatakan, temuan-temuan inovatif yang dihasilkan oleh Kariko dan Weissman secara mendasar telah mengubah pemahaman mengenai interaksi mRNA dengan sistem kekebalan tubuh manusia. Melalui temuan itu pula, pengembangan vaksin mRNA bisa lebih baik sehingga upaya untuk melawan Covid-19 selama pandemi menjadi lebih efektif.
Temuan-temuan inovatif yang dihasilkan oleh Kariko dan Weissman secara mendasar telah mengubah pemahaman mengenai interaksi mRNA dengan sistem kekebalan tubuh manusia.
”Bersama-sama, mereka (kedua penerima Nobel) telah menyelamatkan jutaan nyawa, mencegah Covid-19 lebih parah, mengurangi beban penyakit secara keseluruhan, dan memungkinkan masyarakat untuk kembali membuka diri dan kembali ke kondisi normal,” kata Rickard Sandberg, anggota komite Nobel bidang Fisiologi/Kedokteran.
Pengembangan vaksin
Awalnya, vaksin dikembangkan berbasis virus yang dilemahkan atau dimatikan. Vaksin jenis itu sudah lama tersedia dan masih digunakan hingga saat ini, seperti vaksin polio, campak, dan demam kuning.
Berdasarkan kemajuan ilmu biologi molekuler, penelitian vaksin pun berkembang tidak lagi menggunakan virus utuh, tetapi hanya komponen dari virus. Itu seperti virus berbasis protein (protein recombinant) yang digunakan pada vaksin hepatitis B dan vaksin HPV. Ada pula vaksin yang dikembangkan berbasis vektor (viral vector) seperti vaksin untuk melawan virus Ebola.
Akan tetapi, vaksin berbasis virus, protein, dan vektor tersebut memerlukan kultur sel dalam skala besar. Proses produksi vaksin pun membutuhkan sumber daya yang besar sehingga produksi vaksin tidak bisa dilakukan dengan cepat.
Berbagai riset terus dilakukan untuk mengembangan teknologi vaksin yang tidak membutuhkan kultur sel. Sejumlah peneliti telah melihat bahwa teknologi mRNA dapat berpotensi dalam pengembangan vaksin. Sayangnya, hal itu menghadapi sejumlah tantangan. Dalam penelitian yang dilakukan pada skala laboratorium, teknologi mRNA menimbulkan reaksi inflamasi atau peradangan. Pengembangan teknologi tersebut menjadi terbatas.
Akan tetapi, Katalin Kariko, ahli biokimia yang saat itu menjadi asisten profesor di Universitas Pennsylvania, tidak surut untuk terus mengembangkan teknologi mRNA. Akhirnya, bersama Drew Weissman, ahli imunologi yang menjadi rekannya, Kariko mulai fokus untuk mengetahui interaksi berbagai jenis RNA dengan sistem kekebalan tubuh manusia. Penelitian itu dilakukan sekitar tahun 1990.
Modifikasi
Penelitian yang dilakukan keduanya kemudian membuahkan hasil. Mereka menghasilkan varian mRNA yang berbeda, yang masing-masing telah dilakukan modifikasi basa nukleosida. Varian mRNA tersebut kemudian dikirimkan ke sel dendritik. Sel dendritik merupakan salah satu sel yang berperan dalam sistem imunitas tubuh.
Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ketika modifikasi basa dimasukkan dalam mRNA, respons inflamasi yang ditimbulkan sangat minim, bahkan hampir hilang. ”Ini adalah perubahan paradigma dalam pemahaman kita tentang bagaimana sel mengenali dan merespons berbagai bentuk mRNA,” kata Sandberg.
Berangkat dari hasil riset itu, Kariko dan Weissman makin yakin bahwa mRNA dapat digunakan sebagai terapi. Hasil dari penemuan tersebut dipublikasikan pada 2005, sekitar 15 tahun sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Sebelum pandemi Covid-19, vaksin berbasis mRNA sudah diuji untuk penyakit lain, seperti Zika dan Mers-CoV. Namun, pandemi Covid-19 semakin meningkatkan perhatian dunia pada teknologi mRNA.
Pakar penyakit menular dari Universitas Exeter, Bharat Pankhania, menuturkan, manfaat utama dari teknologi mRNA yaitu memungkinkan vaksin diproduksi dalam jumlah yang sangat besar. Sebab, komponen utama dari vaksin dapat dibuat di laboratorium.
Teknologi yang digunakan dalam vaksin tersebut juga dapat digunakan untuk menyempurnakan vaksin yang sudah digunakan untuk penyakit lain, seperti Ebola, malaria, dan demam berdarah. Teknologi mRNA memiliki kemungkinan pula untuk digunakan sebagai vaksin yang dapat mengurangi risiko kanker atau penyakit autoimun seperti lupus.
”Ada kemungkinan bahwa kita dapat memvaksinasi orang terhadap protein kanker yang tidak normal dan membuat sistem kekebalan tubuh menyerangnya setelah diberikan suntikan mRNA yang ditargetkan. Ini dapat merevolusi cara kita menangani penyakit, tidak hanya wabah penyakit, tetapi juga penyakit tidak menular,” tutur Pakhania.
Atas anugerah Nobel yang didapatkan Kariko dan Weissman, keduanya berbagi hadiah sebesar 11 juta krona Swedia atau Rp 15,5 miliar yang akan diberikan pada 10 Desember. Saat ini, Katalin Kariko merupakan profesor di Universitas Szeged, Hongaria, yang juga profesor di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat (AS). Sementara Weissman merupakan Direktur Institut Penn untuk Inovasi RNA di AS.