Novelis Inggris, Zadie Smith, menulis untuk menyuarakan pendapatnya dengan gamblang. Lewat novel keenamnya, ”The Fraud”, dia menggugat isu perbudakan.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
INVISION/AP/ANDY KROPA
Novelis Zadie Smith menghadiri acara PEN America Literary Gala di American Museum of Natural History, Senin (23/5/2022), di New York, Amerika Serikat.
Novelis Inggris, Zadie Smith, memukau banyak penggemar sastra dan kritikus lewat novel pertamanya, White Teeth, 23 tahun lalu. Berkat novel tersebut, juga karya-karya berikutnya, ia banyak disebut sebagai novelis realisme berpengaruh di abad ke-21. Setelah bertungkus-lumus hampir 10 tahun, Smith melepas novel barunya The Fraud yang bergaya fiksi sejarah.
Pada suatu pagi yang terik, Smith, kini berusia 47 tahun, mengajak wartawan majalah Vogue Zing Tsjeng menyusuri Pemakaman Kensal Green, salah satu yang terbesar di London, Inggris. Mereka mencari kuburan Eliza Touchet dan William Harrison Ainsworth. Keduanya adalah karakter sentral dalam novel The Fraud.
Karakter-karakter penting dalam novel itu adalah orang yang pernah hidup pada masanya. Novel The Fraud mengambil latar waktu tahun 1873, sekitar 40 tahun semenjak pemberlakuan Undang-Undang Penghapusan Perbudakan. Novel itu menceritakan riuh rendah masa awal emansipasi kelas dan ras di Inggris. Ini novel pertama Smith yang menjejak pada sejarah.
Tokoh Ainsworth adalah seorang penulis terkenal dan produktif, yang menciptakan karakter Dick Turpin. Konon, Ainsworth adalah rival Charles Dickens. Sementara Touchet adalah janda dari keponakan Ainsworth, yang dipekerjakan di rumah sang penulis. Tokoh Touchet menjadi bintang dalam novel The Fraud, dengan ketajaman pikiran yang bertolak belakang dengan Ainsworth. Touchet juga terlibat cinta segitiga dengan Ainsworth dan istrinya sekaligus.
”Sulit menemukan pernikahan era Viktorian yang hanya melibatkan satu pasang saja, biasanya banyak, bisa sampai delapan orang,” kata Smith tergelak-gelak. ”Itu salah satu poin bukunya, mencoba menyelamatkan masa silam dari pemikiran dangkal kita tentang pernikahan hari ini,” ujarnya.
Novel itu bisa dianggap sebagai sindiran pada tata laku era Viktorian—di beberapa bagian memang memunculkan komedi. Tapi anggapan itu bisa berubah drastis ketika Smith memunculkan tokoh Andrew Bogle, mantan budak yang menjadi saksi persidangan penuh kecurangan yang mengguncang Inggris pada 1873. Bogle membeberkan masa lalunya yang mengungkap keterlibatan pemerintahan Inggris dalam perdagangan budak. Kenyataan pahit terpapar: perkebunan Inggris berlumur duka dan darah manusia.
Novelis Zadie Smith menghadiri acara PEN America Literary Gala di American Museum of Natural History, Senin (23/5/2022), di New York, Amerika Serikat.
Kata ”kepalsuan” yang menjadi judul novelnya tak hanya mengacu pada pengalaman tokoh-tokohnya, melainkan juga pada Inggris. Kita, kata Smith, masih asing bagi diri sendiri, kecanduan cerita berbalut manisan buatan tentang diri sendiri. ”Mentalitas Inggris terhadap masa lalu berdasarkan logika lepas pantai; hal-hal buruk hanya terjadi di tempat lain,” ujarnya.
”Tapi, ini tidak cuma terjadi di Inggris. Negara kebangsaan dilandasi mitos dan delusi. Bukan berarti itu buruk. Tapi, artinya kita harus memisahkan kenyataan dan fiksi,” ujar pengajar sastra di Universitas New York, Harvard, dan Cambridge ini.
Smith mempelajari kisah Ainsworth dan Touchet hampir sepuluh tahun. Dia duduk menulis The Fraud separuh masa penelitiannya, sambil menunggui anaknya berlatih sepak bola, atau di Kafe Queen’s Park, terkadang juga di Perpustakaan Kilburn, bisa juga di bus dengan pelantang kepala menutupi telinganya. Tak jarang pula dia menulis ketika dua putranya, Kit dan Harvey, yang berusia 13 dan 10 tahun, bertengkar.
Smith termasuk golongan orang yang tak percaya keberadaan anak tak selaras dengan proses penulisan novel. ”Ketika ruang menulis terbatas, kita dipaksa mengambil jarak. Saat itulah hal-hal menarik kadang terjadi,” kata Smith yang sesekali menyanyi jazz di pub ketika kuliah ini.
Kelas menengah
Smith dilahirkan dari rahim imigran asal Jamaika, Yvonne Bailey. Ayahnya bernama Harvey Smith warga negara Inggris. Mereka tinggal di Willesden, kawasan multietnis di London Utara. Keragaman di kota tempatnya dibesarkan itu mewarnai novel pertamanya, White Teeth (2000).
Di novel yang kelar setahun menjelang lulus kuliah dari Kings College, Cambridge itu, pembaca dikenalkan pada tokoh Archie, pria 47 tahun yang gagal bunuh diri, yang menikahi Clara, perempuan 19 tahun, kelahiran Jamaika penganut Saksi Yehuwa. Sahabat Archie adalah Samad, seorang pengungsi dari India, yang menikahi Alana, perempuan yang juga berusia jauh lebih muda. Archie dan Samad punya anak kembar bernama Millat dan Majid.
Para tokoh tersebut ada di pusaran isu hak asasi, kloning, fundamentalisme Islam dan Kristen, juga rumor akhir zaman. Mereka tinggal di Willesden. Kritikus sastra James Wood menganggap karya ini bergaya realisme histeria: cerita yang dipenuhi orang-orang, banyak informasi, dan justru melunturkan kemanusiaannya. Kelak, Smith tak menampik kritik itu.
Banyak yang bilang, White Teeth adalah cuplikan otobiografi Smith. Tak bisa disalahkan. Yang jelas, Smith merangkai kompleksitas kisah itu dengan apik. Dia menandatangani kontrak penerbitan senilai 250.000 pound sterling, atau lebih dari Rp 4,7 miliar dengan kurs sekarang.
”Rasanya seperti harus memikul tanggung jawab,” kenangnya soal nilai kontrak tersebut. Ia merasa menjadi kelas menengah liberal yang justru ia cemooh di novel. Dia membeli rumah di Willesden yang kini ia tinggali bersama suami dan dua anaknya. Rumah itu tak jauh dari rumah masa kecilnya. Rumah itu ”terbuat” dari buku yang ditulisnya.
Namun, rasanya terburu-buru menuding Smith tinggal di menara gading. Dia mengakrabi warga sekitar. Dia menyerap hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Smith bisa mengobrol dengan orang acak yang dia temui di sudut kota, atau memberi ongkos naik bus untuk ibu-ibu tiba-tiba menghampirinya ketika menyesap double macchiato.
”Orang-orang sedang kesulitan cari makan. Kelas menengah, kelas bawah, sama sulitnya,” kata Smith kepada Zing Tsjeng setelah gagal menemukan kuburan Touchet dan Ainsworth. Masalah lain ia sodorkan, ”Kemauan orang untuk menulis masih sangat rendah di sini. Literasi bukan hal yang penting,” ujarnya sembari mengangkat kaca mata hitamnya.
Lalu, apa poinnya menjadi seorang novelis? Jeda agak panjang sebelum dia angkat bicara. ”Aku merasa perlu berbicara dengan jelas (melalui tulisan). Tanpa hambatan. Tanpa sponsor dan bebas. Kurasa itulah tugasku,” ujarnya. Maka jelaslah. Meski hidupnya telah berubah, pena Zadie Smith masih akan menari. (VOGUE/THE GUARDIAN)
INVISION/AP/ANDY KROPA
Novelis Zadie Smith menghadiri acara PEN America Literary Gala di American Museum of Natural History, Senin (23/5/2022), di New York, Amerika Serikat.