Ismet Isnaini, Suara untuk Alam dan Orang Rimba
Ismet Raja Tengah Malam dikenal sebagai musisi rakyat. Menyuarakan perjuangan orang-orang pedalaman hingga kisah-kisah nestapa dan harapan akan bumi yang lebih baik.
Tak banyak musisi berkecimpung di jalur musik rakyat. Ismet Raja memilih untuk bertahan. Ia bahagia dapat menyuarakan kisah nestapa sekaligus perjuangan dan harapan akan masa depan bumi lestari.
”Saya merasa hidup di jalur ini. Di sinilah kebahagiaanku,” katanya, di Jambi, Rabu (30/9/2023).
Malam-malam yang hening membuatnya tetap terjaga. Kerap batinnya menangis, lalu kata demi kata mengalir. Lagu-lagu baru tercipta. Ada 35 lagu ciptaannya bertemakan lingkungan dan masyarakat adat. Itu sebabnya, lelaki yang bernama lengkap Ismet Isnaini akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Ismet Raja Tengah Malam.
Lagu-lagu itu hadir pada berbagai kesempatan di boulevard kota, di tengah rimba, di lapangan bola, taman budaya, kafe, hingga gedung DPRD. Satu kali ia membawakan lagu bertema hentikan tambang emas liar di Sarolangun, kampung halamannya.
Ada juga yang dinyanyikan di hadapan wakil rakyat dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Sarolangun ke-22. Lagu berjudul ”Stop PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin)” dan ”Selamatkan Sungai” itu langsung menuai perhatian publik. Gerakan menolak tambang emas liar pun makin berkobar.
Ismet tidak tahan melihat sungai-sungai di Jambi makin tercemar. Warna air Batanghari kini bagaikan kopi susu. Karena itu, acap kali diundang berpentas, ia selalu selipkan lagi-lagu itu di atas panggung.
Pernah satu kali ia diundang untuk mengisi acara yang dihadiri pejabat publik daerah. Menjelang naik panggung, panitia berpesan untuk jangan membawakan lagu-lagu lingkungan. Namun, ia nekat tetap menyelipkan salah satu lagu di antaranya.
”Sempat saya ditegur, tapi ini memang bagian dari perjuangan untuk lingkungan,” katanya.
Sebagian besar lagu yang dibawakannya membangkitkan rasa getir. Suara nyaringnya bagaikan menyayat-nyayat hati. Terdengar seperti orang yang tengah berdoa, meratap, dan meraung. Petikan gitar berpadu seruling, harmonika, dan kick buatan sendiri melahirkan harmoni. Siapa pun yang mendengarkan bagai tersedot masuk. Seakan ikut berada di tengah sungai-sungai tercemar, atau hutan-hutan yang rusak.
Semua lagu punya kisah di baliknya. Satu dasawarsa terakhir, tambang emas liar menggerogoti lahan-lahan di sepanjang Sungai Batangasai. Jalur itu menuju kampung halamannya di Dusun Sekeladi, Desa Batu Empang, Batang Asai, Sarolangun, Jambi.
Praktik tambang emas liar terus menyebar dari hilir ke arah hulu. Sekeladi yang merupakan desa terakhir di bagian hulu turut menjadi incaran pemodal tambang. Namun, Ismet menolaknya masuk. ”Beberapa desa di bawah sudah mulai tercemar oleh tambang. Tinggal desa kami yang masih aman,” katanya.
Bertahun-tahun ia suarakan penolakan tambang liar, lewat lagu dan aksi menolak di dusun. Ia selalu teringat pesan almarhum ayah yang pernah menjadi kepala desa di era tahun 80-an. Almarhum berpesan untuk menjaga keutuhan alam desa, terkhusus urat nadinya yakni sungai. Pesan itu ia simpan rapi-rapi dalam ingatan.
Ketika euforia tambang emas merajalela, ia kembali pasang badan untuk menolak. Puncaknya, satu pagi di pertengahan 2022, telepon berdering. ”Kata adik, ibu berangkat mudik ke tempat keluarga besar. Saya jadi khawatir. Saya langsung menyusul ibu dari Jambi ke dusun,” kenangnya.
Ismet yakin ibunya dalam tekanan besar. Tanah warisan marga kini dipertaruhkan untuk menjadi areal tambang liar. Sebagian anggota keluarga mulai tergiur dengan iming-iming rupiah. Satu petak lahan warisan keluarga besar itu ditawar Rp 400 juta.
Setibanya di desa, Ismet menggelar rapat keluarga. Ia minta seluruh anggota sepakat menolak tambang liar. Pro kontra mulai terjadi. Ada anggota keluarga protes dan menuntut solusi. Apa yang bisa diberikan untuk ekonomi di desa? Ismet pun menjawab, kehidupan masyarakat sudah turun-temurun ada sebelum tambang emas masuk. Hasil hutan dan sumber ikan di sungai yang masih jernih selama ini mencukupkan kebutuhan masyarakat. ”Sedangkan hasil tambang emas mungkin mendatangkan kekayaan tetapi hanya untuk sesaat,” tuturnya.
Ucapan itu akhirnya menyatukan lagi semangat masyarakat untuk melindungi desa mereka dari incaran tambang. Bahkan, tujuh kepala desa menandatangani kesepakatan bersama menolak tambang emas liar masuk desa. Peraturan desa mengukuhkan komitmen untuk alam lestari.
Ismet lega akan lahirnya kesepakatan itu. Ia pun pulang ke Kota Jambi. Malamnya, lahirlah lagu ”Stop PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin)".
Lagu-lagu bertema lingkungan hadir mengiringi perjalanan hidup Ismet. Sewaktu remaja, Ismet membentuk band lokal dan kerap menyuarakan protes ketidakadilan sosial. Namun, belakangan, Ismet semakin terbawa arus menyuarakan persoalan lingkungan. Ia merasa, ketidakadilan lingkungan makin memprihatinkan, ditambah lagi dengan perubahan iklim.
Orang Rimba
Selain menyuarakan semangat menjaga alam, ayah dua anak ini getol mengangkat tema masyarakat adat. Salah satu lagu berjudul ”Orang Rimba” ia bawakan dalam berbagai kesempatan. ”Tak ada rimba, tak ada bunga. Tak ada bunga, tak ada dewa. Satu pohon, satu jiwa,” ujarnya.
Lagu itu lahir dari pergulatan menyaksikan banyak Orang Rimba masuk ke kota. Ia bingung, Orang Rimba dikenal sebagai kelompok yang tinggal dalam rimba. ”Tapi mengapa mereka sekarang ada di kota?” ucapnya.
Ismet yang fasih berbahasa rimba karena sejak kecil telah berbaur dengan komunitas itu, menyambangi mereka di salah satu tepi jalan. Ia tanya, mengapa mereka ada di kota? Mereka jawab untuk dapatkan uang.
Dari situ, Ismet belum dapat memahami masalahnya. Beberapa tahun kemudian, ia diundang seorang peneliti untuk suatu riset budaya di Taman Nasional Bukit Duabelas. Selama sebulan penuh, ia tinggal dalam rimba dan kembali berinteraksi dengan Orang Rimba.
Dari situ ia dapatkan jawabannya. Orang Rimba kehilangan rumah, yakni hutan. ”Rumah mereka banyak yang sudah berubah menjadi kebun. Mereka terusir dari tanahnya sendiri,” kenangnya.
Ismet berharap lebih banyak orang terketuk mendengar lagu-lagunya. Tentang sungai tercemar, hutan yang rusak, dan kehidupan Orang Rimba yang kini merana. Lebih berharap lagi akan lahirnya kebijakan-kebijakan baru untuk penyelamatan alam dan kearifan hidup yang tersisa. ”Jangan sampai semuanya terlambat,” tutupnya.
Ismet Isnaini
Lahir: Sarolangun, 9 September 1983
Ayah: Darmawan (alm)
Ibu: Ramaini
Istri: Dewi Puspita (35)
Anak: M Rambu (13) dan Azarien Ratu (9)
Album: Hijau dan Biru