Arik Sugianto mempunyai dorongan untuk riset dan mengulik karya secara otodidak. Dia berani memunculkan kekhasan malangan.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Alat-alat musik tradisi buatan Arik Sugianto telah mewarnai ekosistem musik tradisi di berbagai pulau seperti Kalimantan dan Sumatera. Beberapa bahkan dikirim ke luar negeri. Arik tekun meriset alat musik tradisi lalu membuat alat itu untuk menyokong perkembangan musik tradisi di daerah. Kerja-kerja budayanya selama belasan tahun diganjar beragam penghargaan antara lain sebagai pelindung budaya.
Rinai gerimis tipis mengguyur jantung Kota Malang, Jawa Timur, pada malam pertengahan Juni lalu. Begitu masuk gang di Kelurahan Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, jalan kering. Gerimis berganti debu beterbangan. Arik duduk sembari mengisap rokok ditemani segelas kopi dan ratusan alat musik tradisi setengah jadi. Ada gong, angklung, kendang, dan bonang. ”Aku sakjane lali nek duwe janji, he-he-he,” kata Arik yang mengaku lupa punya janji dan langsung menawarkan kopi sebagai bentuk penyambutan tamu.
Malam itu, Arik sedang rehat di sela-sela pekerjaannya. Dia selalu bekerja di malam hari sampai dini hari. Katanya, kerja di malam hari sangat pas terutama untuk menemukan nada. Sebab, keheningan membantunya menyetem alat-alat musik itu. Namun, malam hari juga membuatnya memilih pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlampau berisik. Selain penyeteman bunyi tadi, dia biasanya mengencang kendurkan membran kendang. Kalau siang hari, Arik khusus mengerjakan segala yang berisik, misalnya pemotongan kayu atau penyerutan yang semua alatnya menggunakan mesin.
Menjelang pagi, dia istirahat sampai siang atau sore. Dulu, ketika masih pekerja sebagai pengawas Lorong di sebuah toko waralaba serba ada, Arik bahkan nyaris tidak beristirahat. Dia hanya tidur dua jam pada dini hari dan paginya langsung bekerja sampai sore. Malam hari langsung tancap gas bekerja membuat berbagai alat musik tradisi seperti kendang, angklung, bonang, dan peralatan kuda lumping alias jarang kepang atau jaranan malangan.
Setelah dia berhitung, ternyata penghasilan dari membuat alat musik ini jauh melebihi gajinya sebagai pengawas lorong toko serba ada. Pada tahun 2011, di hari Lebaran, dia membawa serta anak istrinya untuk ke rumah bos toko serba ada itu untuk bersilaturahmi sekaligus mengundurkan diri. Itu dia lakukan setelah bosnya itu menolak Arik mundur dari pekerjaan beberapa pekan sebelumnya.
Pilihan Arik tepat. Dengan menjadi tenaga penuh waktu membuat alat musik tradisi, pikirannya bisa fokus sehingga hasilnya pun maksimal. Para pelaku seni tradisi mengakui bahwa Arik termasuk orang yang jarang ada dalam ekosistem musik tradisi, padahal perannya amat vital: menyambung keberlangsungan musik tradisi pada aspek pengadaan alat musik.
Panggilan
Terdapat beberapa fase ketertarikan Arik dengan seni tradisi yang dia sebut sebagai panggilan. Tatkala berusia sekitar empat tahun, Arik bertetangga dengan seorang pembuat kendang yang dia panggil Pak. Rumah mereka hanya dipisahkan oleh gang kecil dan masing-masing memiliki pintu samping. Setiap membuka pintu samping itu, Arik mendapati Pak memproses pembuatan kendang, entah tengah membersihkan bulu kulit calon membran kendang atau menggulungnya. Tak jarang Arik masuk rumah Pak dan duduk di amben untuk melihat semua proses itu.
”Daripada cuma nonton, mending bantuin. Nanti aku kasih uang jajan,” kata Mak Ti, istri Pak kepada Arik, dalam bahasa Jawa.
Sejak saat itu, Arik aktif membantu, termasuk ikut proses perendaman kulit ke sungai sebelum dipasang di badan kendang. Dengan kata lain, sebelia itu Arik sudah paham proses dari nol sampai akhir pembuatan kendang.
Waktu berjalan cepat dan Arik tumbuh remaja, berpisah dengan Pak yang pindah rumah. Pada masa ini, Arik kerap diajak rekan-rekannya menonton jaranan malangan yang bagi Arik sudah ketinggalan zaman. Dulu dia pernah ikut jaranan, tapi dia tinggalkan. Namun, demi pertemanan, dia menonton juga ramai-ramai.
Hingga suatu hari ada pemain jaranan belia yang kesurupan dan pawangnya tak mampu mengendalikannya. Tiba-tiba Arik terdorong untuk maju dan mendekati anak itu. ”Ternyata aku refleks dan aku ajak. Anak itu nurut lalu pulih,” kata Arik yang diajak ngobrol oleh pimpinan jaranan itu untuk bergabung tetapi dia menolak karena itu tadi, menilai jaranan ketinggalan zaman.
Keesokan harinya, belasan anak muda mendatangi rumahnya membujuk agar Arik mendirikan kelompok jaranan sendiri di kampungnya. Arik bersikukuh menolak. Namun, anak-anak muda itu tak menyerah dan terus mendatangi Arik. Pada pertemuan kesekian, Arik tak mau mengecewakan mereka sekaligus mencari cara harus menolaknya. Dia minta syarat dicarikan anggota yang mau bergabung sedikitnya 60 orang, ternyata yang datang lebih dari itu.
Sejak saat itu, Arik memimpin jaranan malangan di kampungnya. Sebagai pemimpin, dia harus memastikan kelompoknya memiliki alat musik lengkap untuk latihan atau penampilan jaranan malangan. Suatu hari dia mendapati salah suara satu kendang tidak semerdu semestinya. Dia lalu menyetemnya tetapi membran kendang tersebut malah jebol. Rupanya karena bahannya bukan kulit sapi, melainkan kulit kambing. Tipis. Arik lalu mencari kulit sapi untuk menggantinya sembari mengingat-ingat pengalamannya di masa kecil dulu saat membantu Pak membuat kendang. Lambat laun ingatannya pulih dan kendang itu merdu kembali. Arik memiliki sensitivitas pendengaran terutama untuk menyetem alat musik karena saat remaja pernah kursus drum, lalu bas, dan terakhir gitar.
Dari pengalaman memperbaiki kendang itu, Arik berpikir untuk survei di sekeliling Malang lalu mendapati ternyata tidak ada yang memproduksi pecut atau cambuk. Padahal, ini alat penting untuk jaranan. Ini menjadi awal mula dia berbisnis alat musik tradisi dan dikenal hingga sekarang.
Penggagas Festival Dawai Nusantara sekaligus pelaku musik tradisi Eko Redy Parasetyo menggambarkan Arik sebagai sosok yang jarang. Dia mempunyai dorongan untuk riset dan mengulik karya secara otodidak. Secara kualitas, Arik sudah menguasai kaidah standar bunyi, terutama aspek akustik dari instrumen yang dibuat. Timbre (warna) karakter bunyi dari instrumennya sudah mulai kelihatan kekhasannya. Di Malang tidak menonjol aspek instrumen khas, Arik berani memunculkan kekhasan brand” dari instrumennya dengan kata ”malangan” sebagai penguat dari sound destination (malang) melalui ragam instrumen yang dibuat.
Arik saat ini membuat kendang, gong, set gamelan, dan akhirnya semua jenis alat musik etnis Indonesia. Dia rajin mengenalkan khazanah kebudayaan itu di media sosial seperti Tiktok dan Youtube. Kiprah Arik ini bisa dibilang mengisi ruang kosong kebudayaan karena minimnya anak muda yang tertarik di dunia ini.
Arik Sugianto
Lahir: Malang Juni 1988Pendidikan: SMP Negeri 22 Kota Malang
Penghargaan antara lain;
1. Insan Budaya Kategori Perlindungan Kebudayaan, Pemerintah Kota Malang 2021
2. Pelaku Seni Budaya, Pemerintah Kota Malang 2020