Supriatno Pulung, ”Guru” Menjahit bagi Masyarakat di Pelosok NTT
Supriatno Pulung (64) berdedikasi 40 tahun memberikan pelatihan menjahit bagi mayoritas anak pedalaman di NTT dan Timtim. Ia tidak pernah mendapat bantuan pemerintah. Membantu secara sukarela.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
Jalan hidup Supriatno Pulung (64) sebagian besar di atas pedal mesin jahit. Selama 40 tahun keterampilan menjahit ditularkan kepada generasi muda dan masyarakat di wilayah pedalaman Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur. Tidak itu saja, sebagian dari muridnya juga diberi modal atau mesin jahit usaha. Keberhasilan anak didik, kepuasan Supriatno.
Supriatno hidup sederhana bersama keluarganya. Keuntungan dari menjahit cukup untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari. Untuk menutupi kekurangan biaya hidup, Supriatno dibantu dari hasil jualan kios bahan pokok milik istrinya di samping rumah. Dia akan lebih puas bila bisa membantu orang lain.
”Saya puas ketika anak-anak yang saya ajarkan itu berhasil menjahit. Apalagi, mereka bisa jauh lebih terampil dari saya. Saya bangga saat mendengar kabar bekas anak didik itu sukses. Membangun rumah, menyekolahkan anak, dan urusan lain dari hasil menjahit,” kata Supriatno saat ditemui di Kupang, NTT, Sabtu (19/8/2023).
Keterampilan menjahit diperoleh dari sang ayah saat kelas tiga sekolah dasar pada tahun 1973 di Klaten, Jawa Tengah. Satu tahun kemudian, Supriatno ikut menjahit di pusat konfeksi di DI Yogyakarta. Lalu, dia memutuskan merantau ke Nusa Tenggara Timur (NTT).
Supriatno datang pertama kali ke Atambua, NTT, pada tahun 1980. Dia menyewa sebuah tempat berukuran 6 x 8 meter untuk usaha menjahit. Saat itu, banyak orang yang datang melamar pekerjaan, tetapi ia kesulitan mendapatkan orang yang sudah terampil menjahit.
Untuk itulah, Supriatno mulai berpikir untuk membagi ilmu menjahit kepada lima karyawannya. Mereka datang dari desa-desa di pedalaman Belu. Mereka adalah warga miskin yang hanya lulus SD, bahkan sebagian tidak lulus. Untuk berbicara dan memahami bahasa Indonesia saja, mereka masih sangat sulit. Meski demikian, Supriatno melihat mereka mempunyai kemauan dan daya juang yang tinggi untuk belajar menjahit.
Lima karyawan tersebut belajar menjahit siang dan malam. Saat itu, mereka tidak meminta upah, hanya diberi makan tiga kali sehari. Mereka tinggal dengan anggota keluarga yang menetap di Atambua. Sepuluh bulan kemudian, anak-anak itu mulai pandai menjahit. Dua di antara mereka melanjutkan belajar menjahit di Rumah Bina Keterampilan milik Paroki Katedral Atambua, sedangkan tiga lainnya pulang kampung untuk membuka usaha sendiri. Tiga dari enam unit mesin jahit milik Supriatno dihibahkan kepada tiga karyawan itu.
”Tahun 1981 saya pindah ke Timor Timur, membawa dua unit mesin jahit tersisa. Menetap di Mercado, dekat salah satu pasar tradisional di Kota Dili. Saat itu situasi di Dili masih kacau. Lokasi menjahit saya sengaja pilih di samping pos koramil. Bisa berlindung di pos itu bila terjadi kekacauan,” kenang Supriatno.
Berkat bantuan seorang anggota TNI, Supriatno mendapat tambahan empat mesin jahit. Anak-anak yatim piatu yang ditemukan anggota TNI saat bertugas di pedalaman dilatih menjahit Supriatno. Tidak mudah menularkan keterampilan kepada anak-anak itu. Mereka sangat sulit memahami bahasa Indonesia.
Pada saat situasi Dili semakin membara, Supriatno memilih ke Kupang pada tahun 1983. Ia ingin lebih tenang berwirausaha dengan membawa pulang empat unit mesin jahit ke Kupang. Dua unit diberikan kepada anak didiknya, di bawah asuhan anggota TNI saat itu.
”Dua anak didik akhirnya berhasil. Mereka pandai menjahit setelah saya tinggalkan. Mereka sempat menjahit pakaian anggota TNI yang bertugas di sana saat itu. Ini informasi dari anggota TNI yang pulang berlibur di Kupang,” katanya.
Pindah kota
Tak lama tinggal di Kupang, Supriatno memutuskan pindah ke Kefamenanu, Timor Tengah Utara. Di sana belum banyak tukang jahit pakaian sehingga jasanya banyak dibutuhan. Pedagang pakaian jadi pun belum banyak.
Dengan modal usaha terbatas. Supriatno memilih menjahit sendirian sampai 1985. Setelah punya modal, ia menyewa sebuah rumah untuk menjahit. Sekaligus melatih anak-anak dari pedalaman Timor Tengah Utara (TTU) yang ingin belajar menjahit. Supriatno bisa menjahit segala macam jenis pakaian, dari mulai seragam sekolah anak-anak, pakaian pria dan wanita, hingga seragam ASN.
Ia mengaku sulit melatih anak-anak dengan pendidikan formal yang sangat terbatas. Sebagian besar hanya sampai kelas empat sekolah dasar. Sebagian dari mereka tidak bisa membaca, menulis, dan berbahasa Indonesia. ”Ya, mesti sabar kalau mau membantu mereka,” katanya.
Bekerja sama dengan pastor paroki di Kefamenanu yang memiliki wilayah kerja sampai ke desa-desa di pedalaman TTU, ia mendatangkan belasan anak. Sebagian besar mereka lulus sekolah dasar. Jumlah mereka sekitar 11 orang. Mereka dilatih selama satu tahun. Setelah membantu Supriatno selama tiga tahun, mereka diperbolehkan pulang ke kampung asal.
Saat kembali ke kampung asal, anak-anak itu dibekali mesin jahit, terutama mereka yang berasal dari kampung yang sama. Kalau ada lebih dari dua orang dari sebuah kampung, mereka bisa mendapat satu unit mesin jahit. Ia menghubungi kepala desa setempat agar memantau kegiatan mereka. Bila perlu mereka bisa menularkan keterampilan menjahit kepada warga sekitar.
Tahun 1998 mulai terjadi sejumlah kerusuhan di Timor Timur. Ia mulai khawatir. Timor Tengah Utara berbatasan dengan Oecusse, salah satu distrik Timor Timur. Kerusuhan bakal merembet sampai ke TTU. Supriatno pun memilih berpindah tempat ke Kota Kupang.
Kini, ia memiliki tempat usaha berukuran 6 x 7 meter dan mempekerjakan 10 karyawan. Lima orang pandai menjahit dan lima anak yang baru belajar. Yang pintar membimbing yang lain. Yang pintar diberi upah 30 persen dari hasil satu jenis jahitan.
Mulai tahun 1998 hingga tahun 2020 lebih dari 200 anak pedalaman kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, TTU, Belu, Malaka, dan Timor Timur diberi keterampilan menjahit secara cuma-cuma. Ia tidak pernah menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah.
Pandemi Covid-19 dan badai seroja memorak-porandakan NTT, Supriatno pun tiarap. Praktis kegiatan pelatihan menjahit pun terhenti. Ia memulai usahanya kembali pertengahan 2022. Usaha menjahit dijalaninya sendirian dengan modal yang terbatas.
Awal 2023 usaha mulai menggeliat. Meski hanya menjahit pakaian seragam pegawai negeri sipil dan pesanan dari sejumlah ruang pamer tenun ikat di Kupang. Penghasilan itu hanya cukup untuk modal usaha, biaya hidup anak-istri, dan sebagian untuk membeli mesin jahit.
Kini, ia melatih tiga ibu rumah tangga. Hanya satu bulan, ketiganya sudah pandai menjahit. Ketiganya memilih bekerja dengan Supriatno. Mereka tidak digaji, tetapi mendapatkan 30 persen dari hasil jahitan satu pakaian.
Hubungan Supriatno dengan banyak orang yang sudah dididiknya cukup baik. ”Mereka bahagia dan sejahtera, saya puas. Beberapa di antara mereka sering datang di sini. Menitipkan hasil jahitan berbahan tenun ikat, selendang, dan rompi untuk seragam anak sekolah. Tetapi, sebagian besar anak didik saya hilang tanpa kabar,” katanya.
Supriatno Pulung
Lahir: Krapyak, Klaten, Jawa Tengah, 3 Agustus 1959
Istri: Nia Elo
Anak: satu orang
Pendidikan Terakhir: Kelas Empat SD Pakahan, Klaten, Jawa Tengah.