Peggy Gou, Si Pemilik Tekad Baja
Di bidang yang didominasi laki-laki, keberhasilan perempuan lebih sering dibandingkan dengan rekan-rekannya sesama perempuan, bukan dengan seluruh industri. Ini tentang kesetaraan untuk meraih mimpi lebih tinggi lagi.
Peggy Gou tengah mengguncang kancah musik dansa. Sejak merilis debut album mininya di tahun 2016, nama disjoki (DJ) kelahiran Incheon, Korea Selatan, ini terus meroket. Tak cuma berstatus DJ, dia juga memiliki jenama mode, label rekaman, hingga festival mininya sendiri di London, Inggris. Semua dia peroleh dengan usaha keras dan tekad baja.
Delapan tahun lalu, Peggy Gou hanyalah seorang DJ yang tampil di empat pertunjukan per bulan. Kini, Gou tampil di lebih dari 20 pertunjukan per bulan, termasuk di festival musik bergengsi dunia seperti Glastonburry dan Coachella.
Debut album mini yang dirilis tahun 2016, Art Of War, telah membuat hidup Peggy Gou berubah cepat. Pada September 2018, ”It Makes You Forget (Itgehane)” bahkan memenangi Best Track di Ajang Penghargaan Musik Independen, AIM. Tahun 2019, Gou merilis album mini Starry Night yang membuat namanya menancap kuat di kancah musik dansa.
Dalam kegemparan yang belum usai memuja sosoknya, 15 Juni 2023 Gou merilis singel terbarunya, ”(It Goes Like) Nanana”. Lagu kategori pop-dansa itu kini tengah memuncaki tangga lagu di banyak negara. Lagu itu adalah singel perdana dari calon album terbaru Gou.
Seperti yang sudah-sudah, ”(It Goes Like) Nanana” pun segera menjadi candu. Racikan musik yang diistilahkan Gou sebagai K-house (Korea House), juga disko dan techno yang diusungnya di lagu-lagu besutannya, telah membuat orang rela menyesaki pertunjukannya di mana pun berada. Tak ada penggemar yang memiliki dedikasi melebihi penggemar Gou.
Sudah menjadi tradisi bahwa di setiap akhir pertunjukan Gou, semua akan meneriakkan namanya selama beberapa menit. Di lain waktu, para penggemar akan melepas sepatu mereka dan melambai kepadanya. Sepatu (shoe) dipilih karena terdengar seperti Gou. Banyak juga yang memberinya boneka jerapah, hewan spiritual Gou, juga hadiah khusus buatan mereka.
”Pertama kali mereka meneriakkan namaku adalah setelah pertunjukan di San Diego tahun 2016. Sejak itu menjadi lebih gila. Agenku, Anna, mengatakan, ’Peggy, aku belum pernah melihat orang melakukan itu untuk seorang DJ’,” papar Gou.
Di luar musik, Gou telah menjadi magnet yang menarik perhatian para penggemar mode. Dia kini adalah pemilik jenama mode Kirin yang dalam bahasa Korea berarti jerapah, dirilis di bawah kelompok New Guards Group di mana di dalamnya terdapat nama mendiang direktur artistik Louis Vuitton, Virgil Abloh. Mode adalah perantara bagi Gou menemukan cintanya pada musik.
Penggemar K-pop
Beranjak dewasa, Gou adalah penggemar berat K-pop versi lama. Namun, pemahaman musiknya baru muncul ketika dia pindah ke Inggris umur 14 tahun. Di usia itu, dia kerap berbohong kepada walinya dan pulang telat dari pesta. Empat tahun kemudian baru Gou masuk London College of Fashion.
Seorang teman memberinya album Fatty Folders yang dirilis produser Roman Flugel di Frankfurt. Album yang digambarkan Gou sebagai sebuah karya yang kaya detail dan kompleks mulai dari techno hingga ambient, dari musik house hingga musik elektronik, itulah yang kemudian mengubah hidupnya.
”Aku terpesona, musik apa ini? Aku lalu mencarinya di Google dan mendengarkan setiap lagu yang dia keluarkan,” ujar Gou.
Sebelum menemukan Fatty Folders, Gou lebih sering berada di kelab malam RnB dan hip-hop semi-mewah. Persinggungannya dengan budaya kelab terjadi saat dia tinggal di Seoul. Pacar pertamanya adalah DJ EDM yang mengajari Gou dasar-dasar DJ.
Merasa terinspirasi musik Flugel, Gou mulai berbelanja banyak vinil. Dia menemukan artis-artis baru serta kelab bawah tanah London seperti Plastic People hingga dia berjumpa dengan Esa Williams, seorang DJ dan produser asal Afrika Selatan yang berbasis di London. Melihat koleksi vinil milik Gou, Williams mendorong Gou membuat musik sendiri.
Ini sebenarnya bukan hal istimewa. Sebagian besar kolektor vinil memang kerap bermain-main dengan ide memainkan vinil mereka di depan umum. Sebagian bermain-main dengan ide membuat lagu sendiri.
Bedanya, Gou tidak bermain-main dengan ide itu, tetapi mewujudkannya. Tekadnya kuat. Dia memulai residensi mingguan di Klub Buku di London Timur dan mulai belajar memproduksi musik menggunakan perangkat lunak audio Ableton.
Sejak awal, dia sudah berusaha menemukan suara musiknya sendiri. Dia tak mau meniru. Gou misalnya, alih-alih menggunakan suara synth, dia memilih menggunakan sampel instrumen senar tradisional Asia seperti gayageum dan koto.
Contohnya di ”Hungboo”. Di lagu itu Gou menampilkan suara burung berkicau, akord koto yang seolah terendam, nyanyian dalam frase Korea serta bunyi bas yang berat. Kegairahannya pada musik itu membuatnya gagal di sekolah mode.
”Orangtuaku tidak mengizinkan aku kembali ke Korea karena aku gagal. Mereka berkata, ’Apa kamu tahu berapa biaya kuliahmu? Kalau kamu tak lulus, kamu tak akan bisa kembali’,” kata Gou.
Dia harus tinggal ekstra selama dua bulan untuk lulus baru pindah ke Berlin dan membangun hidup yang diinginkannya. Bekerja di toko musik, mengerjakan musik, lalu ke Berghain (kelab) setiap Minggu.
Saat minatnya pada musik makin serius, lampu merah kembali datang dari orangtuanya. ”Mereka berkata seperti ini, ’Kamu dulu ingin mengerjakan mode, sekarang kamu juga ingin mengerjakan musik, selanjutnya apa?’ Aku lalu berkata kepada mereka, ’Beri aku beberapa tahun. Kalau aku tak bisa, aku akan kembali ke rumah dan membayar kembali setiap sen yang kalian berikan’,” kata Gou.
Namun, janji tinggal janji. Gou tak bisa jauh dari Berghain, tetapi sekarang dia berteman dekat dengan kedua orangtuanya.
”Orangtuaku banyak mengeluh, tetapi mereka tak pernah benar-benar menahanku untuk melakukan apa yang perlu aku lakukan. Aku sangat menghargai mereka,” kata Gou.
Banyak berjuang
Setelah sekian lama bekerja sama dengan sejumlah label ternama, Gou mendirikan label sendiri, Gudu Records. Ini membuatnya lebih merdeka.
”Dengan label lain, aku tak punya kebebasan. Mereka memutuskan segalanya. Jadi, aku ingin merilis musikku sendiri. Aku ingin memiliki kebebasan genre juga memiliki kendali atas kapan aku merilis, art work, semuanya,” tegas Gou.
Dengan labelnya itu, Gou juga fokus merekrut musisi-musisi lain, terutama artis Asia dan perempuan. ”Ini sangat penting. Aku tak mengatakan tujuanku hanya untuk merekrut para perempuan, bagiku musik adalah musik, bukan masalah jender. Sayangnya dari segi rasio, DJ perempuan masih lebih kecil dari DJ pria. Aku harus banyak berjuang untuk apa yang kuinginkan,” tegasnya.
Gou terus belajar mengatasi kesulitan-kesulitan di depannya. Dia telah menjadi lebih kuat dari sebelumnya. ”Aku akan terus melakukan apa yang ingin aku lakukan,” katanya.
Sejak tahun 2019, dia menggelar festivalnya sendiri, Peggy Gou’s Pleasure Garden, di Finsbury Park, London. Di festival ini, Gou menampilkan jajaran seniman yang dianggap memiliki visi yang sama dengannya.
Toh, semua belum seberapa. ”Aku adalah orang yang sangat ambisius. Aku memiliki begitu banyak hal yang ingin aku lakukan. Aku bahkan belum melakukan separuhnya,” kata Gou.
Meski harus diakui bahwa posisinya di kancah musik dansa saat ini telah membubung tinggi, Gou tak terlalu senang dengan label DJ perempuan. Menurut dia, di bidang yang didominasi laki-laki, keberhasilan perempuan lebih sering dibandingkan dengan rekan-rekannya sesama perempuan, bukan dengan seluruh industri. Ini adalah tentang kesetaraan untuk meraih mimpi lebih tinggi lagi.
”Aku ingin menjadi lebih dari sekadar DJ. Aku ingin masuk ke lebih banyak produk seni, mungkin juga pada lebih banyak produk mode,” ucapnya. Itulah Gou. Peggy Gou yang bertekad baja. (theguardian.com/groove.de)
Biodata
Nama : Peggy Gou
Lahir : Incheon, Korea, 31 Juli 1991
Penghargaan
- It Makes You Forget (Itgehane), Best Track di AIM Independent Music Awards 2018
- It Makes You Forget (Itgehane) masuk dalam tracklist FIFA 2019
- Tercatat dalam jajaran Asian Leaders, Pioneers, and Entreprenuers under Age 30 versi Forbes tahun 2019