Shalina Nur Hanna, Hidup Kedua bagi Bunga
Bunga identik dengan momen penting perjalanan manusia. Sayang, nasib bunga tak seindah dan semanis ketika digunakan. Shalina Nur Hanna (35) lewat Jogja Berbunga memberi kehidupan kedua bagi bunga-bunga agar tak sia-sia.
Bunga kerap identik dengan momen penting perjalanan manusia. Lekat pula dengan pengalaman indah dan manis. Sayang, nasib bunga tak seindah dan semanis ketika digunakan. Shalina Nur Hanna (35) lewat Jogja Berbunga memberi kehidupan kedua bagi bunga-bunga agar tak sia-sia supaya manis dan indahnya tahan lama.
Rabu (28/6/2023) siang itu, Shalina yang akrab disapa Selly duduk bersama para ibu yang tinggal di sekitar Masjid Quwwatul Islam, Perumahan Condong Catur, Yogyakarta. Ia beristirahat sejenak dari aktivitas menjadi panitia hari raya Idul Adha di kampungnya yang telah dijalani selama beberapa tahun terakhir.
”Sudah beberapa tahun, kalau kurban, kami pakainya besek, bukan plastik lagi. Ini cara juga untuk mengurangi plastik, kan,” ujar Selly membuka pembicaraan sambil mengajak ke area tempat sampah terpilah di daerahnya dan berkisah mengenai langkahnya memperpanjang usia bunga.
Di tempat tinggalnya ini, Selly dikenal sebagai ibu muda yang aktif hingga akhirnya dipercaya menjadi Ketua PKK tingkat RT. Keterpilihannya ini tak lepas dari kiprahnya memperkenalkan hidup minim sampah dengan tertib memilah sampah dan menggerakkan aksi setor kolektif di tingkat warga.
Upaya yang ia jalani berawal dari hasrat masa mudanya yang tak tuntas. Selly cukup sibuk di sekolah dan kampus sehingga tak banyak bersosialisasi di tempat tinggalnya dulu. Saat hendak bergabung dengan karang taruna di kampung pun Selly kesulitan karena tak banyak mengenal remaja di sekitar rumahnya. Setelah menikah pada 2011 dan pindah ke rumahnya kini, tekadnya pun satu. ”Sesimpel aku pengin srawung,” ucapnya.
Jalannya pun dari gerakan minim sampah yang dirasanya nyambung dengan para ibu di lingkungannya. Kebetulan Selly paham seluk-beluk mengelola sampah karena ikut dalam Komunitas Belajar Zero Waste. Dari komunitas ini pula, kepekaannya terhadap barang-barang sisa terasah dan melahirkan Jogja Berbunga yang kini dijalani beriringan dengan gerakan minim sampah lainnya.
”Ini kepikirannya tiba-tiba gara-gara adikku. Dia itu pas lamaran bunga yang dipakai untuk dekorasi banyak banget. Dan dia maunya harus bunga segar. Selesai acara, kok, eman-eman lihat bunga-bunga cantik masih segar malah mau dibuang,” ujar Selly.
Dia itu pas lamaran bunga yang dipakai untuk dekorasi banyak banget. Dan dia maunya harus bunga segar. Selesai acara, kok, ’eman-eman’ lihat bunga-bunga cantik masih segar malah mau dibuang.
Ia pun iseng menanyakan keberadaan komunitas daur bunga di Yogyakarta melalui media sosial. Sebab, Selly pernah menjumpai komunitas daur bunga ini di Jakarta dan Tangerang. Ia pun berharap hal itu ada juga di kampung halamannya. Alih-alih memperoleh informasi, dua temannya di Yogyakarta dari komunitas berbeda justru memberi ide untuk membesut komunitas yang mengurus bunga setelah digunakan.
Sembari berpikir, ia kembali memanfaatkan media sosialnya dan menanyakan jika ia membuat gerakan daur bunga apakah ada yang hendak membantunya. ”Ternyata ada yang mau bantu. Rata-rata dari teman-teman yang belajar juga di Belajar Zero Waste dan aku tahu kerjanya. Ya udah enggak pakai lama, langsung jalan di 2020 awal,” ujarnya.
Tak disangka, komunitas yang diinisiasi bersama teman-temannya ini disambut baik. Selly juga menemukan, banyak orang yang berharap bisa dibantu mengelola bunga segar setelah acaranya selesai.
Amplifikasi
Hampir tiap pekan ia dibantu para sukarelawan menjemput bunga segar untuk diselamatkan. Awalnya info-info disampaikan melalui media sosial. Teman yang bertugas sebagai admin akan menginfokan kepada tim petik. Nanti tim petik berangkat menuju lokasi dan membawa bunga segar bekas pakai itu ke rumah yang disepakati sebagai titik distribusi. Di situ, bunga segar yang dikumpulkan akan dibuat buket.
”Untuk satu pernikahan yang sederhana aja, kita bisa distribusiin 50 buket bunga, lho. Buket itu kita bagi free. Ada yang mau dibawa ke rumah, dibawa untuk mamanya kumpul PKK, untuk keluarga, atau setelah kita unggah di media sosial terus ada yang mau ambil juga boleh. Itu banyak yang mau karena, kan, harga bunga segar itu enggak murah, ya,” kata Selly yang juga menggerakkan timnya mengantar buket ke panti asuhan atau rumah singgah.
Namun, tak sedikit juga yang mengolah kembali bunga-bunga ini. Ada yang menjadikan pajangan dinding dengan cara dikeringkan. Ada yang mengubahnya menjadi minyak pijat, hingga ada yang dikeringkan dan menjadi aksesori berupa gelang dan kalung dengan harga ratusan ribu rupiah. Para pelaku UMKM juga ada yang rutin menghubungi untuk keperluan dekor atau properti hantaran ataupun foto produk. Selly sendiri pernah mengolahnya menjadi air mawar dari bunga bekas acara lamaran dan resepsi sang adik.
Getok tular aja. Tapi lama-lama makin banyak. Tadinya kami sempat gerilya ke ’wedding organizer’ juga, tapi malah sempat keteteran sendiri.
Selly menyadari permintaan yang kian banyak. Ia sangat senang meski itu artinya butuh banyak tenaga lagi untuk menggerakkan Jogja Berbunga ini. Keberadaan media sosial diakuinya memperbesar jangkauan komunitas yang dijalaninya saat ini. Pengikutnya memang masih di angka 1.000. Walakin, orang-orang yang memasang tag dan mengunggah kembali atau membagikan postingan mereka melebihi angka itu.
”Getok tular aja. Tapi lama-lama makin banyak. Tadinya kami sempat gerilya ke wedding organizer juga, tetapi malah sempat keteteran sendiri. Pernah juga waktu itu acara di JEC, kami berlima yang ngejemput bunga itu ngos-ngosan banget. Akhirnya disepakati ngebuket langsung aja di situ dan beberapa kali cara ini lebih efektif juga,” ucapnya.
Sukarelawan inti seperti dirinya hanya ada lima orang. Di luar itu, ada sekitar 15 orang menjadi tim petik. Jumlah ini mungkin bertambah karena pihaknya terbuka untuk menerima sukarelawan. Keterbatasan tenaga ini memang menjadi kendala untuk bisa mengambil semua agenda acara yang menggunakan bunga segar.
Baca juga : Epo D’Fenomeno Memberdayakan Anak Muda lewat Rap
Akhirnya, Selly memutuskan untuk menanti pihak yang bersedia bekerja sama. ”Ini saja lumayan banyak dan malah terjaga, juga manajemen waktunya bisa efektif. Karena dulu itu, ada aja yang dadakan di hari-H. Bayangkan saja, belum orangnya dan alat angkutnya, kan,” ucap Selly.
Kini, pihak yang bekerja sama selalu memberi kabar sekitar sepekan sebelum atau paling lambat H-3 dengan detail lokasi dan perkiraan jumlah bunga sehingga tim petik yang akan mengambil bisa menyesuaikan. Sebab, ada kalanya jumlah bunga ternyata di luar prediksi. ”Pernah dua bagasi mobil sampai penuh. Ada juga dua acara lokasinya ternyata berjauhan dan tim petik yang ada terbatas saat itu,” tuturnya.
Edukasi
Mendekati tiga tahun berjalan, Selly dan rekan-rekannya tengah membahas keberlanjutan Jogja Berbunga dan inovasi yang perlu dilakukan. Tidak sekadar menyelamatkan, mengambil, dan mendistribusikan, Jogja Berbunga juga mengedukasi tentang cara-cara memperpanjang usia bunga, baik dari cara penyimpanan hingga pengeringan sehingga bunga bisa dimanfaatkan lagi.
Selly pun jadi mempelajari masa hidup bunga, dari mawar, krisan, peacock, hingga gerbera. Tim mereka pun pernah harus berhadapan dengan bunga-bunga yang jarang dimanfaatkan sebagai dekorasi, seperti baby breath, bunga matahari, lili, hingga sedap malam.
Baca juga: Feri Irawan, dengan ”Teluh Jampang” Menepis Stigma
Pada dasarnya, bunga memang mudah terurai. ”Tapi, bukan itu masalahnya. Bunga dari awal ditanam, dirawat, sampai panen, dipilih yang bagus sampai ke tangan konsumen. Terus cuma dipakai 2-3 jam, setelah itu dibuang, kan eman-eman banget. Pernah dapat cerita ada yang pesannya tulip itu dibuang juga akhirnya. Sayang banget,” ujar Selly.
Mimpi ibu satu anak ini tak muluk. Ia ingin Jogja Berbunga bertumbuh menjadi gerakan bersama. ”Ketika aku nanti, misal, sudah enggak bisa aktif lagi, ya, ada yang nerusin. Bunga-bunga ini harus selamat dulu, jangan terbuang begitu saja,” kata lulusan Sosiologi UGM ini.
Shalina Nur Hanna
Lahir: Yogyakarta, 27 Oktober 1987
Pendidikan: Sarjana Sosiologi UGM Yogyakarta