Syekh Daud dan Syekh Naza, Dua Maestro Rapai Pasee
Teuku Muhammad Daud dan Nasruddin adalah dua maestro rapai pasee yang masih tersisa. Cinta mereka pada rapai pasee melanggengkan kesenian itu hingga sekarang.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Usia Teuku Muhammad Daud (88) dan Nasruddin (69) semakin tua, tetapi kecintaan terhadap rapai pasee tidak pernah luntur. Tidak ingin kesenian tradisional di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, itu punah, hingga usia senja keduanya masih kuat menabuh rapai.
Dua sahabat gaek itu adalah maestro pemain rapai pasee. Syekh Daud dan Syekh Naza, begitu Muhammad Daud dan dan Nasruddin, biasa dipanggil, sejak remaja telah menjadi pemain rapai pasee. Syekh adalah gelar untuk pemimpin kelompok rapai. Mereka sering bertemu di panggung pertunjukan, sebagai kawan, kadang pula sebagai lawan.
Rabu (22/6/2023), setelah menjemput Syekh Naza di Desa Simpang Mulieng, Kecamatan Aron, Aceh Utara, Kompas bertandang ke rumah Syekh Daud di Desa Glumpang VII, Kecamatan Matang Kuli. Saat melihat Syekh Naza berada di halaman rumah, Syekh Daud langsung menyambutnya.
Pergelaran meuuroh atau penampilan rapai pasee kian jarang digelar. Terakhir mereka menabuh rapai lima bulan lalu. Syekh Daud dan Syekh Naza sudah rindu menabuh rapai.
Syekh Daud mengajak ke sebuah kedai tempat rapai-rapai pasee disimpan. Di sana terdapat enam rapai pasee. Syekh Daud meminta bantu mengangkat rapai dua buah untuk dibawa ke luar. Rapai itu kira-kira memiliki berat 50 kilogram.
”Ini si parot. Kalau dipukul (ditabuh) suaranya mendengung ke angkasa,” kata Syekh Daud. Diberi nama parot (bahasa Aceh) atau parut karena pada kayu palung gendang terdapat luka. Daud sendiri yang memberikan nama itu.
Dengan sisa tenaga, Daud menabuh rapai tersebut. Benar saja suaranya menggelegar memecah kesunyian pagi di desa yang dikelilingi sawah itu. Tidak berapa lama anak-anak desa berdatangan untuk menyaksikan Daud memainkan rapai. ”Pukulan harus pas, kalau tidak pas, suaranya cempreng, bisa dimaki penonton,” ujar Daud.
Tidak mau hanya menonton, Syekh Naza juga mengambil posisi untuk menabuh rapai. Mereka duduk bersisian. Tanpa aba-aba, mereka menabuh rapai dengan ritme tertentu. ”Lagu dua,” kata Syekh Daud. Sesaat mereka larut dalam tabuhan rapai.
Nyaris punah
Rapai pasee merupakan alat musik tabuh yang terbuat dari lingkaran kayu yang disemat kulit sapi atau kerbau pada palung gendang. Ukuran lingkaran gendang rapai pasee 24 hingga 27 inci, lebih besar dua kali lipat dari rapai pada umumnya yang berukuran 12 hingga 17 inci. Karena ukurannya besar, dalam keadaan sunyi, bunyi tabuhan rapai pasee bisa menggema hingga radius 5 kilometer.
Rapai pasee hanya ditemukan di Aceh Utara, kawasan bekas Kerajaan Islam Samudera Pasai. Rapai pasee adaptasi rapai biasa. Seorang seniman Aceh, Jamal Talo, mengatakan, konon pada masa perang melawan Portugis, pasukan Samudera Pasai membuat rapai ukuran besar untuk menakuti lawan.
Para pria mengecat pantatnya dengan warna hitam, lalu berbaris di sepanjang pantai dan menungging ke arah laut. Secara bersamaan, rapai pasee ditabuh. Lawan mengira itu adalah meriam sehingga lawan tidak berani merapat ke pantai. ”Tetapi, kebenaran cerita ini masih diragukan karena tidak ada catatan atau manuskrip tertulis,” ujar Jamal Talo.
Karena bentuknya besar dan berat sehingga rapai pasee dimainkan sambil berdiri. Rapai digantung pada bara-bara, lalu para pemain menabuh dengan pola tertentu. Permainan rapai pasee tanpa diiringi syair, tetapi mengikuti pola lagu mulai lagu 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 12, dan 21.
Setelah Kerajaan Samudera Pasai runtuh, perlahan-lahan kesenian rapai pasee meredup. Namun, kelompok-kelompok kecil di desa-desa masih merawatnya. Kini jumlah grup rapai pasee di sana bisa dihitung jari. Para pemain juga kebanyakan sudah berusia lanjut.
Rela berkorban
Syekh Daud dan Syekh Naza bermain rapai sejak masih remaja. Kecintaan terhadap rapai pasee tumbuh secara alami. Saat masih kanak-kanak, mereka kerap menyaksikan orang-orang di kampung bermain rapai. Sesekali mereka diberikan izin untuk menabuhnya. Saat remaja, mereka menjadi anggota grup rapai pasee di desa masing-masing.
Syekh Daud mendapatkan warisan beberapa rapai dari kakeknya, salah satunya si parot. Usia rapai itu lebih dari satu abad. Syekh Daud merawat dengan penuh cinta. Terbuat dari kayu tualang pilihan membuat rapai itu awet hingga kini. ”Yang rutin kami ganti kulitnya. Kalau paloh, belum pernah saya ganti,” kata Daud.
Syekh Naza juga demikian. Tiga rapai pasee berusia lebih satu abad juga merupakan warisan dari sang kakek. Ketiga rapai itu diberi nama raja langla, tualang tuha, dan tualang cagee.
Sebagai syekh di kelompok masing-masing, mereka rela mengeluarkan uang pribadi untuk kebutuhan penampilan tim. ”Kalau istri minta uang tahan-tahan, tetapi kalau untuk rapai tidak ada pun saya cari,” kata Syekh Naza.
Rapai pasee dimainkan secara kelompok, biasa disebut meuuroh atau bertanding. Dalam satu pergelaran biasanya yang tampil lebih dari empat grup. Satu grup minimal beranggota 12 orang. Mereka berlomba untuk menjadi yang terbaik.
Karena ukuran yang besar dan bobot yang berat, rapai pasee dimainkan sambil berdiri. Rapai digantung pada bara kayu. Kemudian pemain menabuh dengan kekuatan dan pola tertentu.
Suara dentuman rapai sahut-menyahut di tengah malam buta. Namun, mereka tidak akan surut hingga Subuh tiba. Beberapa pemain rapai pasee meninggal karena kelelahan.
Pada masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia tahun 1950-an, permainan rapai pasee dilarang. Syekh Daud dan Syekh Naza menyembunyikan rapai agar tidak dihancurkan oleh anggota DI/TII.
Namun, pada masa konflik Gerakan Aceh Merdeka (1972 -2005), mereka masih diizinkan bermain rapai pasee. ”Kadang kami dilarang juga oleh tentara, tetap saja kami main,” kata Syekh Naza.
Mereka tidak mau kesenian rapai pasee musnah. Melalui sanggar di desa, mereka tetap melatih anak muda untuk bermain rapai. Namun, tidak banyak anak muda yang minat. Menurut Syekh Naza, dulu rapai pasee menjadi hiburan rakyat yang menyatukan warga. Kemajuan teknologi membuat kecintaan pada warisan seni budaya luntur.
Pada tahun 2017, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan rapai pasee sebagai warisan budaya tak benda. Penetapan sebagai warisan budaya agar rapai pasee tidak hilang ditelan masa.
Syekh Daud dan Syekh Naza telah mempertahankan agar rapai pasee tetap bergema, tetapi perjuangan mereka perlu dilanjutkan oleh generasi muda.