Feri Irawan, dengan ”Teluh Jampang” Menepis Stigma
Lewat jenama ”Teluh Jampang”, Feri Irawan melawan stigma. Dari awalnya diragukan, ia kini memberdayakan warga.
Jampang, kawasan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kerap mendapat label buruk. Mulai dari hal mistis hingga santet. Namun, Feri Irawan (34) mengubah pandangan itu lewat produk mode, Teluh Jampang.
Matahari mulai tenggelam di Pantai Palangpang, Ciletuh, Jumat (7/7/2023). Namun, Feri masih sibuk meladeni pengunjung di salah satu stan usaha mikro kecil menengah dalam rangkaian Cycling de Jabar. Ajang balap sepeda itu digelar Pemerintah Provinsi Jawa Barat, harian Kompas, dan Bank bjb.
”Apa itu Teluh Jampang?” tanya beberapa pembeli saat melihat deretan kaus di gerainya. Dengan tersenyum, Feri mengatakan, Jampang adalah sebutan untuk beberapa kecamatan di Sukabumi bagian selatan, seperti Jampang Kulon, Jampang Tengah, Surade, dan Kalibunder.
Sementara teluh sering diartikan sebagai ilmu hitam untuk mencelakakan orang. ”Pandangan orang, Jampang itu dekat dengan hal mistis sampai santet. Kalau ada yang tanya dari mana, terus dijawab dari Jampang, responsnya pasti segan karena dikira punya ilmu hitam,” ujarnya.
Bagi Feri yang besar di Jampang Kulon, pandangan itu mengiris hatinya. Ia dianggap bisa menyantet orang. Padahal, ia tidak tahu apa-apa soal santet. Ada juga yang menjadikan daerahnya sebagai bahan candaan. ”Ibaratnya, stigma itu menyakiti tanpa menyentuh,” ucapnya.
Baca juga: Cum Ahmawati, Terang Bagi yang Berjuang
Stigma orang Jampang dekat dengan santet sudah ia dengar kala berusia belasan tahun. Entah sejak kapan label itu melekat. Namun, yang pasti, pandangan itu telah berdampak buruk.
Sebagai orang Jampang, Feri bertekad mengubah pandangan tentang daerahnya dari negatif ke positif. Ia memulainya dari sablon kaus.
Kebetulan, saat kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, anak petani ini sempat bekerja di usaha konfeksi milik kerabatnya. ”Waktu itu saya cari tempat untuk numpang makan dan tidur. Makanya, ikut kerja di sana,” ucapnya tersenyum.
Feri juga senang mendesain motif pakaian. Ia pernah kursus di Lembaga Kaligrafi Sukabumi. Dari semester empat hingga tujuh, ia kuliah sembari kerja di konfeksi.
Sayangnya, menjelang sidang munaqosyah atau skripsi, Feri terpaksa mundur. Penyebabnya, keterbatasan biaya.
Orangtuanya yang lulusan sekolah dasar juga tidak bisa banyak membantu. Apalagi, anak kedua dari empat bersaudara ini harus memikirkan adiknya yang masih sekolah.
Meski demikian, Feri tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Setidaknya, ia membawa bekal keterampilan membuat pakaian. Ia sudah paham mencari bahan hingga mendesain lambang di kaus. ”Prinsip saya mah, habis kuliah, biarpun enggak selesai, harus bisa buka usaha,” ucapnya.
Pernah gagal
Sejak 2009, ketika masih kerja sambil kuliah, Feri sudah merintis pembuatan kaus. Bahkan, Feri sudah memilih merek bernama ”Hidden Side”. Terjemahan bebasnya, ’sisi tersembunyi’. ”Eh ternyata, benar-benar tersembunyi. Bajunya enggak laku. Ha-ha-ha,” ucapnya.
Feri lalu mencoba beberapa jenama, seperti ”Jampang Squad” dan ”Teluh Jampang”. Akan tetapi, karyanya belum laku karena fokusnya terpecah antara kuliah dan kerja.
Ia pun sempat vakum membuat kaus. Barulah sekitar 2013, saat pulang ke kampung, ia kembali menekuni usahanya.
Kali ini, ia menetapkan mereknya adalah ”Teluh Jampang”. Feri memilih nama itu karena ingin membuat publik penasaran sekaligus mengubah pandangan soal Jampang yang lekat dengan teluh.
Motif kausnya, misalnya, tidak bergambar boneka tertusuk jarum layaknya praktik santet.
Ia pun memasarkan produknya via media sosial. Sebagai pemula, tidak gampang menarik pelanggan. Feri masih ingat, 12 produk ”Teluh Jampang” terjual lebih dari sebulan. Alih-alih menjual produk, mereknya justru mengundang kontroversi di media sosial dan dunia nyata. ”Di grup Facebook, banyak yang ’menyerang’. Ada yang melarang orang beli produk kami. Bahkan, ada yang meminta usaha kami ditutup,” kenang Feri.
Ternyata, menurut sesepuh, teluh itu tetekon luluhuratau penopang hidup. Nah , penopang hidup orang Sunda itu silih asah, silih asih, silih asuh.
Sejumlah orang pun sempat datang ke kediamannya untuk berdiskusi. Tidak hanya orang luar, keluarganya pun keberatan. ”Mertua saya sempat enggak setuju dengan penamaan Teluh Jampang. Mertua meminta saya mengembangkan warungnya, bukan usaha (kaus) itu,” ujar Feri.
Segala saran dan kritik itu ia jadikan masukan untuk menguatkan karyanya. Ia pun mengunjungi tokoh dan sesepuh Jampang. ”Ternyata, menurut sesepuh, teluh itu tetekon luluhur atau penopang hidup. Nah, penopang hidup orang Sunda itu silih asah, silih asih, silih asuh,” ungkapnya. Semboyan itu mengajarkan siapa pun untuk saling menambah pengetahuan, saling mengasihi, dan saling mengayomi.
Feri pun semakin yakin dengan ”Teluh Jampang”. Lewat jenamanya itu, ia memanggungkan potensi Jampang. Misalnya, baju bermotif wayang golek menggambarkan seni budaya setempat. Ada pula motif kelapa yang menunjukkan potensi komoditas daerah.
Tak mau asal-asalan, Feri melakukan riset sebelum mendesain motif kaus. Untuk membuat baju wayang golek, misalnya, ia berdiskusi dengan sang dalang. Ia juga mengangkat potensi kawasan Ciletuh, yang sudah diakui UNESCO sebagai salah satu taman bumi dunia.
Contohnya, Feri membuat kaus bergambar megalodon, hiu purba. Fosil gigi makhluk purba itu ditemukan di daerah Surade. Pengunjung bisa menyaksikan fosil itu di Museum Geologi Ciletuh.
Karyanya juga turut mempromosikan UMKM dan pariwisata setempat. Ia, misalnya, membuat motif hanjeli (Coix lacryma-jobi). Tumbuhan biji-bijian bergizi tinggi itu merupakan komoditas andalan di Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, masih di kawasan Geopark Ciletuh. Feri bekerja sama dengan Asep Hidayat Mustopa, penggagas Desa Hanjeli.
Baca juga: Asep Hidayat Mustopa, Berbagi Rezeki dari Hanjeli
Kekayaan lokal
Feri juga memanggungkan kuliner khas setempat, seperti opak. Ia bahkan menuliskan penjelasan tentang opak yang dipanggang di hawu atau tungku. Ia bekerja sama dengan Dian Herlina, pemilik UMKM Pawon Moghes yang salah satu produknya adalah opak.
”Produk Teluh Jampang ini bisa bertahan sampai sekarang karena punya ciri khas, yakni mengangkat potensi Geopark Ciletuh, dan kolaborasi dengan UMKM. Desainnya juga sendiri,” ungkapnya. Tidak heran, saat ini, ia bisa memproduksi hingga 400 pakaian per minggu. ”Sebelum pandemi Covid-19, kami pernah produksi sampai 1.000 pakaian per minggu,” ucapnya.
Setiap kaus dijual dengan harga mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 160.000. Feri memberikan harga lebih murah jika pembeli datang langsung ke tokonya di Sukabumi.
”Kami punya hampir 500 reseller dari sejumlah daerah. Bahkan, ada pekerja migran Indonesia di luar negeri yang jadi reseller,” ucapnya. Produknya terbang ke Hong Kong, Singapura, Qatar, hingga Uni Emirat Arab.
Kami punya hampir 500 resellerdari sejumlah daerah. Bahkan, ada pekerja migran Indonesia di luar negeri yang jadi reseller.
Feri mengakui, produknya juga turut memberdayakan warga. Saat ini saja, ia punya sekitar 10 karyawan. Ada mantan pekerja konfeksi hingga pengendara ojek daring. Ia juga membuka pintu bagi siapa saja yang ingin belajar membuka bisnis pakaian.
Ia pun mengajak anak muda menjadi model pada produknya. Dengan begitu, katanya, pemuda bangga dengan karya warganya. Ia juga terlibat dalam acara yang memanggungkan potensi daerah, seperti Rampak Pajampangan. Beberapa kali, ia ikut pameran Ciletuh Geopark Festival.
”Pameran seperti itu, termasuk Cycling de Jabar, penting untuk mempromosikan produk UMKM. Ini bukan soal berapa banyak baju yang laku, tetapi bagaimana karya kita dikenal,” ujar Feri yang telah memiliki hak kekayaan intelektual atas jenama ”The Legend of Teluh Jampang”.
Meskipun produknya telah terbang ke mana-mana, bapak satu anak ini tidak berhenti berinovasi. Kini, produknya tidak hanya kaus, tetapi juga jaket, celana, topi, iket, hingga sandal. ”Saya akan berkarya sampai meteor menghantam bumi. Selagi manfaat, ya lanjut saja,” ucapnya tersenyum.
Feri Irawan
Lahir: 7 Maret 1989
Pendidikan:
- SDN Cisaat 2 Surade
- SMP Darul Amal Jampang Kulon
- SMA Darul Amal Jampang Kulon
- UIN Sunan Gunung Jati (tidak tamat)
Profesi: Pendiri jenama ”Teluh Jampang”