Lia Tera Amin, Menenun Kemajuan Desa Sukarara
Kain tenun bukan sekadar komoditas. Di dalamnya ada seni dan tradisi. Pemahaman ini yang mendorong Amin mengonsep toko barang seninya.
Bunyi kayu beradu dari alat tenun kembali mewarnai Desa Sukarara di Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, NTB. Sisa pandemi Covid-19 mulai menghilang bersamaan dengan kembalinya lembar demi lembar kain tenun yang dihasilkan warga Sukarara. Kunjungan wisatawan pun mulai bergeliat lagi di salah satu sentra tenun di Pulau Lombok ini.
Semaraknya tenun Sukarara terlihat di toko benda seni Patuh yang ada di Dusun Belong Lauk, Sukarara. Pemilik Patuh, Lia Tera Amin (50), sibuk menyapa para tamu yang mampir ke tokonya, Kamis (6/7/2023).
Area parkir Patuh tidak pernah sepi dari hilir-mudik mobil dan bus pengunjung. Pengunjung langsung disuguhi aktivitas menenun oleh ibu-ibu Sukarara yang dipekerjakan di Patuh. Tidak hanya melihat, pengunjung juga bebas berinteraksi dengan para penenun.
Jika masih penasaran akan aktivitas tenun di Sukarara, pengunjung akan dipandu berkeliling Dusun Belong Lauk untuk menemui penenun di rumah-rumah warga sekaligus bercakap-cakap dengan mereka.
Sebagai ruang pamer, toko Patuh memajang kain-kain tenun dengan motif khas Sukarara dari teras hingga ruang utama. Semua pemandu, termasuk Amin, dengan sigap menerangkan nama-nama motif, seperti subahnale, bintang lalang semalam, krimping, dan keker. Sebagian terinspirasi dari hewan-hewan yang ditemui di desa ini.
Tanpa harus membeli, pengunjung bisa mencoba memakai kain tenun serta berpose foto di teras samping yang sudah dirancang seperti bagian depan rumah warga.
Pengalaman tersebut bisa dibawa pulang pengunjung Patuh secara gratis. Kalau tergerak, pengunjung bisa memberikan tip sukarela. Membeli kain tenun atau aneka kerajinan di toko ini merupakan pilihan. Pengunjung bisa melenggang begitu saja tanpa keluar uang sepeser pun.
Amin mengaku sengaja menggratiskan seluruh layanan itu kepada seluruh pengunjung. Baginya, mengenalkan kain tenun Sukarara secara masif lebih utama ketimbang memungut tiket masuk yang akan membatasi pengunjung mengenal apalagi mengeksplorasi keindahan produk tenun Sukarara.
Baca juga : Menggugat Potret Kekinian Perempuan Sasak yang Tidak Bisa Menenun
”Kalau orang datang, ngobrol-ngobrol, atau berfoto memakai kain tenun Sukarara, itu menjadi bagian promosi gratis bagi kami. Apalagi kalau cerita dan foto itu dibagikan lewat media sosial, kami jadi seperti diiklankan oleh mereka secara gratis, kan,” ucapnya.
Amin percaya, semakin banyak orang mengenal dekat tenun Sukarara, peluang kain terjual akan semakin besar.
Selain itu, Amin yang juga berprofesi sebagai guru ini punya angan-angan melestarikan kain tenun Sukarara. Pelestarian ini tidak bisa dilepaskan dari manfaat ekonomi yang diperoleh para penenunnya. Apabila penenun merasakan kain tenun ini bisa menghidupi mereka, kelak keterampilan ini akan terus diwariskan hingga generasi mendatang.
Toko barang seni Patuh sulit dilewatkan jika melintasi Desa Sukarara. Gerai yang membentang luas di tengah permukiman warga dan pasar dadakan ini terlihat mewah dengan area parkir yang luas.
Di dalam Patuh, ada sekitar 150 penenun dari Dusun Belong Lauk serta penenun dari 10 dusun lain di Desa Sukarara yang bergantung di dalamnya. Ini belum termasuk sekitar 20 pekerja Patuh.
Keterampilan warisan
Tenun Sukarara diwariskan turun-temurun di kalangan warga Desa Sukarara, terutama perempuan. Amin mengenal tenun sedari lahir karena ibunya yang warga Sukarara juga menenun. Begitu pula saudara-saudara perempuannya.
”Semua perempuan di Sukarara ini menenun. Mereka sementara berhenti menenun kalau tiba masa tanam dan panen padi. Di masa ini, sebagian besar penenun mengutamakan pekerjaan di sawah,” tutur Amin.
Awalnya, kain yang diproduksi digunakan sendiri. Sampai kini, kain-kain untuk upacara adat, seperti pernikahan, juga mereka tenun sendiri. Begitu pula dengan kain kafan juga ditenun di desa ini, bahkan menggunakan benang yang dipintal sendiri dari kapas.
Sukarara mulai kedatangan tamu yang hendak membeli kain tenun sekitar tahun 1980. Saat itu, menurut Amin, sudah ada warga Sukarara yang menjadi pengepul kain tenun dan dicari oleh tamu.
Amin melihat peluang yang belum tergarap, yakni mewujudkan ruang pamer yang lebih layak untuk memajang karya warga Sukarara. Apalagi, saat itu belum ada jalan bypass penghubung bandara dan Kota Mataram sehingga posisi Sukarara ”di belakang” desa lain yang kemudian lebih dikenal sebagai penghasil tenun.
Tahun 2002, Amin bersama teman-temannya meminta izin kepala desa untuk memanfaatkan balai karya desa untuk ruang pamer kain tenun warga. ”Waktu itu, tujuan kami ingin memudahkan tamu yang ingin mencari kain tenun Sukarara agar mereka tidak perlu keliling kampung untuk mencari kain tenun,” katanya.
Amin, yang sebelumnya bekerja sebagai pemandu wisata lokal di Lombok, juga sering mendapatkan informasi bila ada tamu atau pejabat yang akan berkunjung ke Sukarara. Ia lantas membagikan informasi itu kepada warga sekitar. Warga pun segera membawa kain tenun ke balai karya dengan harapan kain bisa terjual.
Di awal, ada sekitar 100 lembar kain yang bisa terkumpul dan dipamerkan di balai karya ini. Apabila kain laku, hasilnya dibagi dua dengan perajinnya. ”Karena saya juga orang sini, jadi warga sudah kenal dan percaya saja menitipkan kain mereka di balai karya ini,” papar Amin.
Proses ini ia lalui sekitar 10 tahun. Sampai tahun 2012, Amin membeli sebidang tanah dan membuka toko barang seni Patuh yang bertahan hingga kini. “Kata ’patuh’ di sini berarti akur,” ucapnya.
Baca juga: Hardi, Penggerak Wisata Desa di Kepulauan Banyak
Nama Sukarara dan Patuh ikut melesat bersamaan dengan pembangunan Bandara Internasional Lombok serta akses jalan bypass yang menghubungkan bandara ke Mataram, ibu kota Provinsi NTB. ”Jalan ini membuat kami berada di depan sehingga pengunjung mudah ke Sukarara,” ujar Amin.
Patuh juga menjadi rujukan apabila ada tamu yang datang ke Desa Sukarara dan ingin mengenal tenun dari desa ini.
Bangkit dari pandemi
Hidupnya Sukarara antara lain ditopang dengan penjualan kain tenun. Itu sebabnya, saat pandemi Covid-19 menghantam, seketika masyarakat Sukarara pun ikut lesu. ”Toko kami tutup sejak April hingga Juli 2020 saat awal-awal Covid-19. Sama seperti di tempat lain, kami juga khawatir dengan pengunjung. Apalagi, mereka memegang-megang kain. Bagaimana kalau virus Covid-19 menular dari kain,” ungkap Amin menggambarkan kekhawatiran saat itu.
Akan tetapi, penutupan tersebut tidak bisa lama karena di situlah sumber pendapatan banyak orang. Setelah Juli, Patuh kembali buka. ”Kami buka, tapi tidak ada pengunjung. Kalaupun ada, 1-2 mobil saja yang mampir,” kenang Amin. Sebagai pembanding, sebelum pandemi, jumlah pengunjung ke Patuh 10-15 mobil sehari.
Guna menyokong satu sama lain, Amin mengajak para pekerjanya untuk berbagi. Mereka membawa makanan yang bisa dikonsumsi bersama saat tugas. Sebagian besar warga Sukarara masih memiliki sawah yang hasilnya bisa mereka konsumsi sendiri. Hasil dari sawah inilah yang membantu kehidupan Sukarara manakala kain tenun tidak bisa dijual lantaran tidak ada tamu yang berkunjung ke Sukarara.
Karena sepi itu pula, Amin sempat tidak menerima kain tenun dari para perajin. Padahal, para perajin tidak berhenti menenun selama pandemi. Baru setelah kunjungan tamu kembali pulih setahun terakhir, Amin menerima lagi kain tenun kiriman warga.
Di kala pandemi, Amin tidak membuka lebar kanal penjualan daring. Baginya, penjualan langsung menjadi yang terbaik lantaran warna, motif, dan kondisi kain yang sangat mungkin berbeda-beda satu dan lain. ”Kalau lihat foto saja, nanti kain yang datang bisa jadi enggak sesuai dengan yang dilihat di foto,” katanya beralasan.
Ia mengaku beberapa kali mendapatkan keluhan dari pembeli yang merasa menerima kain berbeda dari yang di foto. ”Kalaupun saya jual daring, saya hanya layani pembeli yang sudah pernah ke Patuh. Jadi, mereka tahu kalau setiap kain tidak ada yang sama persis sekalipun model dan warna yang sama. Ya, inilah kain tenun, lebih banyak aspek seni ketimbang sekadar pakaian,” ucap Amin.
Amin optimistis, penjualan konvensional yang dilakoni hingga kini masih bisa menghidupi masyarakat sekitar, termasuk 20 pekerja Patuh serta ratusan perajin.
Baca juga : Bejo Sandy, Menghidupkan Kembali Rinding Malang
Lia Tera Amin
Pekerjaan:
- Pemilik toko barang seni Patuh
- Guru IPS SMPN 6 Jonggat
Pendidikan:
- S-1 Geografi Universitas Muhammadiyah Mataram
- SMAN 1 Praya
- SMPN 2 Jonggat