Jaisa, Dedikasi untuk Masyarakat Adat
Di Enrekang terdapat 23 komunitas adat yang diakui melalui SK bupati. Tujuh komunitas di antaranya memiliki hutan adat yang disahkan melalui SK menteri. Komunitas adat aktif menerapkan praktik pertanian berkelanjutan.
Selama sekitar 10 tahun terakhir, Jaisa (44) menghabiskan lebih banyak waktunya mengurusi komunitas adat di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Keluar masuk hutan, berjalan ke desa-desa bahkan hingga yang terpencil, menginap di perkampungan tempat komunitas adat berada, menjadi kesehariannya.
Dia tak sekadar ikut mendata komunitas adat dan mendampingi survei hutan adat, tetapi juga mendampingi dan mendorong mereka melakukan praktik pertanian yang bijak, adil, dan berkelanjutan. Dia juga ikut berperan mendorong kemandirian ekonomi bagi perempuan dan pemuda di desa. Memanfaatkan hutan adat untuk berkebun tanpa mengubah bentuk dan fungsi hutan adalah bagian yang juga ia lakukan bersama komunitas adat.
Apa yang dilakukan Jaisa di bawah lembaga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) nyatanya membuahkan hasil. Dimulai dari upaya mendorong pemerintah daerah membuat Perda Masyarakat Adat dan menerbitkan surat keputusan (SK) bupati sebagai bentuk pengakuan pada masyarakat adat, hingga SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatur penetapan hutan adat.
Jika upaya ini berhasil, itu bukan kerja saya sendiri, tetapi ada teman-teman AMAN, pihak akademisi, hingga pemerintah dan komunitas adat yang sama-sama berupaya.
Sejak terbitnya Perda Masyarakat Adat di Enrekang awal 2016, saat ini sudah ada 23 komunitas adat yang mendapat pengakuan melalui SK bupati. Ada hal lain yang tak kalah penting pasca-penetapan ini, yakni SK Menteri LHK tentang kawasan hutan adat. Di tengah maraknya pembukaan lahan untuk kawasan hortikultura, keberadaan hutan adat walaupun kecil, menjadi penting untuk turut mencegah kerusakan lingkungan.
Setidaknya dalam rentang 2018-2020, sudah ada tujuh kawasan hutan adat yang ditetapkan melalui SK menteri dengan luasan lebih dari 4.300 hektar. Sebagian kawasan ini semula adalah hutan adat lalu beralih menjadi kawasan hutan lindung dan lahan milik negara, dan kini kembali jadi hutan adat. Saat ini, pendataan dan survei terus dilakukan agar komunitas lain juga mendapatkan hak atas hutan adat.
Tak mudah meyakinkan Pemerintah Kabupaten Enrekang untuk membuat Perda Komunitas Adat. Sama tak mudahnya mendorong komunitas adat untuk melengkapi berbagai dokumen yang menjadi dasar pengakuan pemerintah atas keberadaan mereka. ”Jika upaya ini berhasil, itu bukan kerja saya sendiri, tetapi ada teman-teman AMAN, pihak akademisi, hingga pemerintah dan komunitas adat yang sama-sama berupaya,” katanya saat ditemui di Makassar, Jumat (26/5/2023).
Saat ini komunitas adat di Enrekang tak sekadar eksis dalam bentuk pengakuan dan kepemilikan hutan adat. Mereka kini sudah membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) yang banyak berperan dalam pembinaan UMKM dan penyaluran produk-produk masyarakat adat.
Jaisa dan timnya melatih masyarakat adat untuk membuat produk-produk yang memiliki nilai tambah sebagai komoditas yang diperjualbelikan di pasar yang lebih luas. Perempuan-perempuan dan pemuda dilatih untuk lebih berdaya dan mandiri. ”Mereka memanfaatkan hutan adat untuk berkebun dan menanam tanaman jangka pendek tanpa merusak hutan,” katanya.
Baca Juga: Slamet Riaman dan Salasiah, Jalan Pemberdayaan Perajin Rotan
Berjuang
Perempuan yang menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada ini aktif di AMAN sekitar 10 tahun terakhir. Sebagai anak yang lahir dari komunitas adat, dia merasa terpanggil untuk berjuang bersama komunitas adat. Salah satu yang jadi keresahannya adalah sejumlah kawasan hutan adat, yang turun temurun dijaga, beralih fungsi. Sebagian menjadi lahan milik pemerintah.
Selama 10 tahun, waktunya banyak dihabiskan bersama komunitas-komunitas adat. Dengan tekun dia ikut mendengarkan penuturan tetua dan pemangku adat. Dia ikut pula membantu menyusun dokumen yang diperlukan seperti sejarah tentang sebuah komunitas, lembaga adat, produk budaya, kearifan lokal, hingga bahasa yang digunakan.
Awalnya aktivitas Jaisa dan kawan-kawan itu dicurigai. Tak sedikit yang mengatakan, masyarakat adat tak perlu pengakuan karena mereka memang sudah terlahir sebagai masyarakat adat. Apalagi saat mereka diminta menyusun berbagai dokumen pendukung. ”Ada lagi sebagian yang berpikir soal komunitas adat ini adalah mengembalikan mereka ke masa lalu, terutama saat belum mengenal agama. Padahal, pengakuan sebagai masyarakat adat penting agar mereka mendapat hak atas hutan adat yang selama ini banyak yang lepas dari mereka,” katanya.
Umumnya pemangku adat menyiapkan waktu untuk bertutur pada malam hari. Bagian-bagian penting dari penuturan biasanya ada di tengah malam atau dini hari. Dengan sabar Jaisa duduk menyimak dan mencatat.
Bahasa yang digunakan dalam penuturan itu umumnya bahasa daerah dan tentu harus dipahami Jaisa dan timnya. Ada pula tetua adat yang tidak bisa baca tulis sehingga pendampinglah yang mencatat dan membantu menyusun dokumen yang diperlukan. ”Kami ikut mendampingi melakukan survei hingga pengukuran dan penetapan batas-batas kawasan. Tak mudah karena biasanya kami harus menjelaskan dulu cara menggunakan GPS, misalnya, bagaimana mengukur, dan lainnya,” katanya.
Baca Juga: Alfreth Salouw, Perawat Serba Bisa di Pinggiran Negeri
Jaisa ingat betul pertama kali SK Pengakuan Masyarakat Adat akan dikeluarkan. Saat itu semua dokumen telah disusun. Pada saat yang sama, masa jabatan bupati akan berakhir. Saat penandatanganan dokumen akan dilakukan, ternyata ada salah tik yang harus diperbaiki.
”Persoalannya kami mencetak semua dokumen di Makassar dan saat itu hari sudah malam. Kami menelepon pihak yang mencetak dan meminta perbaikan. Dokumen langsung dikirim malam itu juga dan tiba di Enrekang pagi hari. Tak ada yang tidur. Begitu dokumen datang, langsung kami bawa ke rumah jabatan (bupati),” katanya.
Proses antara perda dan terbitnya SK masyarakat adat, walaupun butuh waktu dua tahun, terbilang cepat. Ini terjadi karena saat tim yang lain membahas penyusunan perda bersama pemerintah, Jaisa dan rekan-rekannya juga berjibaku di lapangan memulai pendataan dan mengumpulkan berbagai dokumen yang diperlukan. Tak hanya dokumen untuk persyaratan terbitnya SK pengakuan masyarakat adat, tetapi juga dokumen untuk penetapan kawasan hutan adat digarap bersamaan.
”Makanya setelah SK keluar, kami membantu kelengkapan dokumen untuk kawasan hutan adat. Syukur karena semua dikerjakan hampir bersamaan, prosesnya terbilang cepat. Tak berselang lama setelah pengakuan masyarakat adat, SK menteri terkait penetapan kawasan hutan adat juga bisa terbit. Saat ini kami masih mengurus beberapa kawasan hutan adat di kementrian,” katanya.
Apa yang terjadi di Enrekang, belakangan menjadi inspirasi bagi pegiat komunitas adat di sejumlah daerah di Sulsel hingga Sulawesi Barat untuk melakukan hal sama. Di Sulsel hanya Enrekang dan Bulukumba yang memiliki Perda Adat. Itu pun di Bulukumba hanya ada satu yang mendapat SK, yakni komunitas adat Kajang.
Kerja Berkelanjutan
Dia mengaku, terbitnya SK masyarakat adat dan kawasan hutan adat tak membuat pekerjaan selesai. Mereka harus menyusun perencanaan tata tuang berdasarkan kearifan lokal. Bahkan, penetapan kawasan hutan adat juga berdampak pada rancangan tata ruang wilayah yang sudah disusun pemerintah.
Pemberdayaan ekonomi juga terus dilakukan. Misalnya menyangkut potensi yang ada di wilayah adat, seperti pertanian, perkebunan, wisata dan lainnya. Lalu bagaimana mengelola potensi tersebut berdasarkan kearifan lokal dan berkelanjutan. ”Makanya pekerjaan ini tak akan pernah selesai,” tambahnya.
Jaisa turut berperan di bidang lingkungan hidup dalam program pertanian kopi berkelanjutan. Dia juga terlibat dalam sekolah adat dan sekolah lapangan yang berorientasi pada upaya generasi muda untuk menjaga dan mengelola lingkungan sekitar secara bijak. Dia juga mendorong kaum perempuan memiliki kebun kolektif yang isinya adalah keperluan pangan harian atau tanaman bernilai jual, seperti bunga, yang dikelola dan hasilnya dinikmati bersama. Sebagian besar kegiatan itu memanfaatkan kawasan hutan adat atau sekitar hutan.
Pada Peringatan Hari Kartini baru-baru ini, dia mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Provinsi Sulsel sebagai perempuan yang berjasa dalam bidang lingkungan hidup. Namun, baginya penghargaan ini bukan tujuan. Pemberdayaan dan kemandirian masyarakat adat serta pertanian berkelanjutan adalah tujuan utama.
Dia beruntung karena dukungan datang dari lembaga tempatnya aktif berorganisasi maupun keluarga. ”Dulu orangtua memaksa saya bekerja sebagai pegawai negeri. Saya senangkan hatinya dengan ikut mendaftar. Tapi saya sadar bahwa jiwa dan minat saya adalah pekerja lapangan. Saya juga bisa menunjukkan bahwa walau tak menjadi pegawai, saya bisa mandiri dan tidak memberatkan orangtua. Yang membuat mereka yakin adalah mendengar cerita dari masyarakat tentang kiprah saya di komunitas adat,” katanya.
Baca Juga: Ahmadi, Menjaga Mangrove Pangkal Babu
Jaisa
Alamat: Enrekang
Pendidikan:
Menyelesaikan pendidikan SD hingga SMU di Enrekang dan kuliah di Fakultas Pertanian UGM.
Kegiatan:
Aktif di AMAN Massenrempulu Enrekang dan AMAN Sulsel. Aktif mengikuti berbagai seminar dan pelatihan sekaligus kerap menjadi narasumber.