Manifestasi Angan-angan Iga
Dari tongkrongan di salah satu kompleks perumahan di Bekasi, Jawa Barat, Iga Massardi (37) menjajaki dari kafe ke kafe hingga kini menapaki panggung-panggung besar skena musik Indonesia. Angan Iga jadi nyata.
Dari tongkrongan di salah satu kompleks perumahan di Bekasi, Jawa Barat, Iga Massardi (37) menjajaki dari kafe ke kafe hingga kini menapaki panggung-panggung besar skena musik Indonesia. Khayalan masa remaja ditingkahi celetukan asal beraroma harap mewujud satu per satu. Angan-angan Iga jadi nyata.
Berpakaian serba hitam ditambah kacamata hitam, Iga duduk bersila di pojok yang teduh di suatu tempat di kawasan Menteng, Jakarta. Pria yang biasa lincah di panggung ini anteng menekuni buku elektronik di gawainya sambil merasakan semilir angin di siang terik.
Buku yang dibacanya kali ini tak jauh-jauh dari musik dan band favoritnya, The Strokes dan White Stripes, yaitu Meet Me in The Bathroom: Rebirth and Rock and Roll in New York City 2001-2011, besutan jurnalis Lizzy Goodman. ”Gila sih ini si Lizzy Goodman. Vulgar banget nyeritaiinnya dari seks, drugs, alkohol, dan rock n roll,” kata Iga sambil menunjukkan sebuah halaman yang sedang ia baca.
Kebiasaan membaca yang ditularkan sang ayah, sastrawan Yudhistira ANM Massardi, kepadanya sejak kecil terus bertahan. Di waktu senggang, Iga menyempatkan diri menuntaskan bacaan. Gawai khusus buku elektronik menjadi andalan karena mudah dibawa. Salah satunya ikut menemani perjalanan Iga ke Jambi untuk suatu proyek musik yang berlanjut dengan janji di Menteng, Jumat (7/4/2023) siang.
”Kadang kangen juga punya buku hard cover, balik-balik kertas gitu. Tapi bokap berhasil sih, baca buat gue bukan suatu yang dipaksain. Bersyukur bokap mengelilingi gue dan adik-adik gue dengan bacaan yang baru terasanya di era hari ini, ketika krisis literasi. Anak-anak sekarang lebih senang nulis comment,” ujar Iga yang tumbuh membaca banyak komik seperti Doraemon dan Kariage Kun.
Krisis literasi yang juga mengikis tahapan dalam kerangka berpikir. Banyak orang enggan memeriksa kebenaran fakta sehingga hanya mencerna mentah informasi yang diperoleh.
Iga pun terkekeh mengingat kejadian yang menggelitik pada 2019 ketika kelompok musik yang ia dirikan, Barasuara, merilis lagu ”Guna Manusia”. ”Ada lho satu artikel itu nulisnya’Gunawan Usia’. Ha-ha-ha. Kan ada di Youtube atau googling, bisa dicek dulu,” ungkapnya.
Menyinggung lagu-lagu yang dirilis Barasuara, lirik dan judulnya kerap disebut-sebut puitis dan sastrawi. Bagi Iga yang sering menulis lirik justru tak merasa demikian. Hingga pada suatu titik, ia menyadari pengaruh besar dari lingkungannya bertumbuh. Keseharian melihat puisi dan sajak ayahnya yang berada dalam bingkai di tiap sudut rumah membuat dia secara tak sadar memiliki gaya penulisan tersendiri.
Gaya penulisan yang juga terasa pada lagu anyar Barasuara yaitu ”Merayakan Fana” yang rilis pada Februari lalu dan akan masuk dalam album ketiga. Rencananya album ini akan disebarluaskan akhir tahun ini. Barasuara bekerja sama lagi dengan Erwin Gutawa.
Menyinggung lagu-lagu yang dirilis Barasuara, lirik dan judulnya kerap disebut-sebut puitis dan sastrawi. Bagi Iga yang sering menulis lirik justru tak merasa demikian. Hingga pada suatu titik, ia menyadari pengaruh besar dari lingkungannya bertumbuh. Keseharian melihat puisi dan sajak ayahnya yang berada dalam bingkai di tiap sudut rumah membuat dia secara tak sadar memiliki gaya penulisan tersendiri.
Sebelumnya, Erwin Gutawa pernah mengajak Barasuara berkolaborasi di sebuah panggung besar. Dua lagu dimainkan kelompok musik ini dengan iringan orkestra, yaitu ”Nyala Suara” dan ”Hagia”. ”Lu mimpi apa sih main ada orkestra Erwin Gutawa. Mau meledak kepala gue. Surreal banget,” ujar Iga.
Rentetan hal-hal yang semula terasa jauh, semuanya mendadak nyata di depan mata Iga. Momen-momen ajaib yang membuatnya merinding. Dari menjejak panggung Soundrenaline yang dianggapnya sebagai tanah suci band rock Tanah Air, menjadi pembuka konser Tame Impala yang ia idolakan, hingga berteman dengan gitaris yang dikagumi, yakni Eross Candra.
”Tumbuh di era mereka, mainin lagu mereka, dan mereka kan dulu seolah punya klub yang kayak enggak tersentuh gitu. Kita mikirnya juga how to join the club.Suddenly, setelah belasan tahun, lu ada di situ dan mereka mengapresiasi apa yang kita bikin. Bahkan, sekarang bisa Whatsapp Mas Eross langsung nanya ada di rumah enggak atau dia malah nanya pendapat gue. Gila banget sih rasanya,” tutur Iga.
Dari kedekatan itu, Iga belajar banyak untuk tetap rendah hati. ”Berada di dalam situ, gue jadi malu berbuat bodoh dalam artian kayak belagu atau jadi nyolot gitu. Gue jadi belajar how to behave. Kalau dia bisa enggak belagu, kenapa lu mesti belagu sih,” jelas Iga.
Jalan berliku
Pencapaian yang diraih Iga saat ini penuh lika-liku. Iga melanjutkan perbincangan ini dengan kisah masa remajanya hingga mendirikan Barasuara pada 2012.
Cool factor
Nyoba
skateboard
Gitar pertama adalah gitar akustik milik ayahnya. Ketika kemampuan main gitar mulai meningkat pada kelas 3 SMP, ayahnya membelikan gitar elektrik bekas.
Tiap sore, Iga pun nongkrong bersama anak kompleks mengasah kemampuan lewat majalah gitar. Di sekolah, Iga ikut band sekolah. Hanya saja, Iga malah mendapat posisi sebagai vokalis karena banyak teman sekolahnya yang lebih piawai bermain gitar. Setelah panggung pertama di sekolah membawakan lagu Naif, Iga mengaku seperti kecanduan dan rutin tampil membawakan lagu Sheila on 7, Limp Bizkit, Blink 182, Rancid, hingga Korn.
Namun, ketika beranjak SMA, Iga tak menemukan teman yang bisa diajak bermain musik. Meski begitu, awal mula angan-angan yang mewujud doa itu dipupuk pada masa ini saat membaca sebuah majalah anak muda yang menampilkan skena musik indie jakarta kala itu. Dari The Brandals, The Upstairs, The Sigits dan kelompok musik indie lain yang merajai panggung pensi SMA.
”Cukup mengubah mindset gue sih. Gue langsung cari tau. SMS teman-teman gue di Jakarta, nanya mereka manggung di mana dan akhirnya nonton mereka, terus langsung nyantol aja. Apalagi pas nonton The Brandals di Bugils Cafe di Taman Ria Senayan dulu, itu langsung kepikir kapan gue bisa main kayak gitu, ada di situ,” ujarnya.
Di masa kuliah, Iga kian aktif bermusik hingga kesibukannya itu membuat dia dikeluarkan dari kampus pada 2006. Kecerobohan yang ia sesali karena telah membuat kecewa orangtua.
Akibat kejadian itu, Iga tetap boleh tinggal di rumah tapi harus membiayai dirinya sendiri. ”Duh, gimana caranya kan? Gue enggak punya duit sama sekali. Dulu enggak kayak sekarang ada channel motivasi. Atau sharing gimana jadi musisi yang sukses atau apalah itu,” jelasnya yang mengakui suasana di rumah jadi canggung.
Iga memilih datang ke studio tempatnya biasa berlatih dan menawarkan diri pada band yang butuh gitaris. Iga berkeliling dari kafe ke kafe memainkan lagu-lagu Top 40. Belakangan, Iga membuat band sendiri bersama Pradikta Wicaksono atau Dikta yang pernah menjadi vokalis Yovie & Nuno. Dikta merupakan sahabat Iga dari kecil.
Pada 2007, Iga memberanikan diri berhenti dari kafe dan bersama rekan-rekan sesama anak Bekasi membentuk kelompok musik The Trees & The Wild. Dua tahun berselang, nama band itu mulai diperhitungkan. Konser pertama mereka pada 2009 yang hanya berbekal promosi lewat pamflet mampu membuat 300 tiket yang dijual di distro di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, ludes terjual hanya dalam dua hari.
Kedua orangtuanya yang ikut hadir saat konser pun tak menyangka. ”Kelar konser, bokap kayak terharu gitu. Gue dipeluk. Setelah itu, semuanya kayak mencair dan suasana hangat lagi. Mereka merestui dan emang namanya restu orangtua itu ya ada aja,” ungkapnya.
Karier The Trees & The Wild melejit tetapi Iga memilih cabut pada 2011. Kemudian, ia bergabung dengan Soulvibe yang jauh dari aliran musiknya. Walakin, ia belajar banyak mengenai brand image dan detail konsep panggung, serta bertemu jejaring baru. Dua tahun bersama kelompok musik beraliran RnB ini, Iga sempat membantu Tika & The Dissidents juga Raisa.
Bersama Barasuara
Dia merasa inilah saatnya mewujudkan mimpi. Orang pertama yang ia hubungi adalah TJ Kusuma yang juga menjadi gitaris Barasuara. Selanjutnya, Marco Steffiano yang kini berada di posisi drumer. Keduanya langsung tertarik ketika mendengar lagu ”Nyala Suara” yang dibuat Iga. Berturut-turut Gerald Situmorang, Asteriska, dan Puti Chitara pun bergabung. Terbentuklah Barasuara.
”Ini persis kayak yang ada di bayangan gue. Lagunya kayak gini, nadanya kayak gini, live performance-nya kayak gini. Visinya jelas banget di kepala gue. Dua tahun, kami cuma latihan aja di studio, tanpa manggung. Baru 2014 kami manggung pertama kali. Dan ternyata visi gue bisa diwujudin,” kisahnya yang terinspirasi musik Songhoy Blues, kelompok musik asal Mali, Afrika.
Namun, Iga tak membayangkan Barasuara menjadi populer. Walau ternyata pilihan teman-temannya agar Iga berbatik seperti Pak Lurah tampan ketika manggung juga ikut mendongrak ketenaran. Di sisi lain, dorongan dan intuisi dari manajer pertama Barasuara ternyata melebihi ekspektasi Iga.
Bahkan, ia tak menyangka lagunya mampu berdampak pada orang lain. Ia mengenang lagu ”Taifun” yang dimaksudkan sebagai nasihat terakhir bagi anak-anaknya ketika dirinya sudah tiada ternyata berubah makna di tangan pendengar lain. Ketika itu, ada seorang teman yang mengirimkan pesan di media sosialnya bercerita mengenai lagu ”Taifun” yang membuatnya bertahan usai istri dan anak pertamanya yang ada dalam kandungan meninggal dunia. ”Taifun” sendiri semula adalah lagu favorit mendiang sang istri.
Baca juga: Bara Api Armand Maulana
”Gue ajak dia ketemuan, kami pelukan. Terus pas setelah itu banyak tur kan, di pesawat gue dengerin lagu itu lagi, gue jadi mikirin temen gue itu dan betapa lagunya jadi berubah makna. Tiap bait jadi punya rasa yang beda. Gue pake hoodie dan kacamata item saat itu, akhirnya nangis sesenggukan,” ungkapnya sambil menyentuh tangannya yang merinding seketika.
Baginya pun tak ada alasan untuk tak melanjutkan berkarya. Selain Barasuara, Iga menjajal proyek baru dengan moniker anagram namanya yaitu Sagas Midair. Di sini, Iga hanya memainkan musik dengan genre ambience rock. Terdengar mirip album Riceboy Sleeps (2009) milik Jonsi, vokalis band Sigur Ros.
Ia juga menjalankan bisnis pembuatan musik untuk jingle, menjadi produser musik, dan juga aktif berbagi ilmu. ”Coaching clinic atau sharing session itu kayak ngebayar utang gue. Biar orang-orang lebih mudah, enggak kayak gue dulu, bingung harus gimana dan ke mana,” ujarnya yang pernah mengasah kemampuan bermusik juga di Farabi dan bersama Rama Satria.
Lika-liku yang dijalaninya ditambah pengalaman pandemi pun membuatnya seolah terus lahir kembali menjadi orang yang baru dengan segala pandangan dan rasanya.
Manifestasi mimpi ternyata benar adanya ya, Ga.
Iga Dada Yudhistira Massardi
Lahir: Jakarta, 9 November 1985
Pendidikan:
- SMP Tunas Jakasampurna Bekasi
- SMA Al Azhar Bekasi
Prestasi:
- Best Alternative Production Work AMI Awards 2016 (bersama Barasuara)