Ni Wayan Purnami, Berkat Jamur, Peluang Terbuka
Emick mengaku mendapat kepuasan tersendiri melihat orang-orang datang ke Bee Jamur untuk belajar budidaya jamur. Pasalnya, ia tahu kegiatan ini akan membuka banyak pintu kesempatan jika ditekuni dengan baik.
Sejak membudidayakan jamur tiram tahun 2009, pintu-pintu peluang perlahan tapi pasti terbuka bagi Ni Wayan Purnami. Berkat jamur tiram, ia bisa naik pesawat dan pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya, mengembangkan bisnis, dan berbagi pengetahuan kepada banyak orang.
Senin (3/4/2023) jelang sore, Ni Wayan Purnami beraktivitas di kumbung jamur tiram yang didirikan di pekarangan belakang rumah orangtuanya di Banjar Den-yeh Kelurahan Peguyangan Kaja, Denpasar Utara, Bali. Kumbung itu hanya berukuran 3 x 8 meter. Di dalamnya terdapat rak-rak yang diisi 2.000-3.000 baglog atau kantong media tanam tempat tumbuhnya jamur.
Hari itu, masih ada sisa jamur tiram segar yang siap dipanen. Wayan Purnami yang biasa disapa Emick memetiknya dan mengumpulkan di wadah plastik ukuran besar. Hanya dalam belasan menit wadah itu penuh dengan jamur tiram hasil panen.
Emick mengatakan, satu kumbung jamur miliknya bisa memuat 6.000 kantong jamur. Tetapi, ia hanya mengisi setengahnya, yakni sekitar 3.000 kantong lantaran perubahan cuaca di Bali kadang ekstrem. Setelah 3-4 bulan sejak ditumbuhkan, jamur tiram sudah bisa dipanen. Setiap panen, satu kantong bisa menghasilkan 300-400 gram jamur.
Jika 3.000 kantong, hasil setiap panen antara 900 kilogram dan 1.200 kilogram. Panen bisa dilakukan 3-4 kali, tetapi hasilnya akan menyusut. ”Keuntungan setiap musim panen sekitar Rp 2 juta per 1.000 baglog. Lumayanlah untuk pertanian di lahan sempit,” ujar Emick.
Sebagian hasil panen dijual, sebagian lagi dikonsumsi sendiri. Jika panen melimpah, Emick mengolah jamur menjadi aneka camilan.
Di pekarangan yang sama, Emick dan orangtuanya mendirikan satu kumbung lagi untuk budidaya bebek dan sejumlah kolam besar untuk memelihara ikan. Emick berusaha menihilkan sampah dari aktivitas budidaya ataupun rumah tangga. ”Sisa makan keluarga untuk makan bebek dan ikan, sisa serbuk baglog untuk pupuk, air kolam ikan dipakai untuk melembabkan kumbung. Orang Bali dari dulu hidupnya sudah sirkular. Itu modal sosial kita,” kata Emick.
Membuka peluang
Emick mulai menekuni budidaya jamur tiram pada 2009. Kisahnya bermula ketika kepala desa baru Peguyangan Kaja saat itu mengaktifkan kembali kegiatan Karang Taruna Putra Negara yang sudah vakum 10 tahun. Dari hasil musyawarah, Emick dipilih sebagai ketua karang taruna.
Sebagai pengurus karang taruna, Emick dan kawan-kawan mendapatkan sejumlah pelatihan, termasuk pelatihan budidaya jamur tiram. Dari sekian pelatihan, mereka lebih tertarik mengembangkan budidaya jamur tiram yang cocok dengan cuaca di Denpasar. Selain itu, budidaya jamur bisa dilakukan di pekarangan rumah. Sejak saat itulah budidaya jamur tiram dimulai di Peguyangan Kaja. ”Sebelumnya tidak ada petani jamur tiram di sini,” kenang Emick.
Setelah masa kepengurusannya sebagai ketua karang taruna selesai, Emick meneruskan usaha budidaya jamur tiram di teba atau pekarangan belakang rumah milik orangtuanya. Ia mendirikan satu kumbung di sana. ”Saya ajak kelompok (petani) jamur dari banjar lain, sempat berjalan bagus,” ujarnya.
Seiring waktu, tidak semua usaha budidaya itu berkembang. Sebagian kemudian tumbang. Beberapa tahun lalu, masih ada 36 petani jamur. Sekarang yang tersisa tinggal 10 orang. ”Itu sudah lumayan karena sebelumnya bahkan tidak ada petani jamur tiram di sini,” kata Emick yang memberi nama usahanya Bee Jamur.
Emick termasuk yang bertahan. Buat dia, jamur tiram kadung sudah melekat dengan dirinya. ”Secara sengaja itu personal brand saya. Dulu waktu saya mahasiswa, dosen yang enggak kenal memanggil saya ‘mahasiswa jamur’,” ujarnya diikuti tawa.
Budidaya jamur juga membuka banyak pintu peluang bagi Emick. ”Saya pertama kali naik pesawat karena jamur,” katanya.
Saat itu, ia dikirim pemerintah daerah mengikuti pelatihan kewirausahaan di Jakarta. Berkat jamur pula, ia pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya untuk mengikuti konferensi tentang slow food di Milan, Italia.
Slow food adalah gerakan global yang muncul pada akhir 1980-an untuk merespons merebaknya fast food dan makanan instan. Seruan gerakan slow food antara lain masyarakat mesti tahu asal-usul makanan dan gizinya yang masuk ke dalam tubuh; memberikan penghargaan kepada orang yang memasak hidangan yang kita makan; mendorong masyarakat berkebun dan masak sendiri sehingga semuanya terkendali; selain itu mendorong generasi tua kembali ke dapur untuk mengajar cara dan tradisi memasak kepada generasi lebih muda.
Baca juga: I Gusti Ayu Rai Wati, Setia Melayani Pelanggan Koran
Pulang dari Milan, Emick mencoba mengarahkan budidaya jamur sebagai bagian dari gerakan slow food. Langkah awal dilakukan dengan mentransformasikan Bee Jamur menjadi ruang pengetahuan sejak 2017. Ia undang siapa saja untuk berkunjung ke Bee Jamur dan belajar seluk beluk jamur tiram dan cara budidayanya.
Yang datang mulai murid TK, SD, SMP/SMA, mahasiswa, peneliti, ibu-ibu PKK dari berbagai daerah, hingga pensiunan perusahaan. Dalam sebulan bisa ada 3-4 kali kunjungan. Untuk murid TK dan SD, Emick biasanya akan mengajak mereka memanen jamur, menyuwir jamur, memasaknya jadi cemilan, dan mencicipinya.
”Ternyata banyak anak tidak tahu dari mana asal-usul bahan pangan kita. Pernah saya tanya ke anak-anak SD yang berkunjung, ‘Pernah makan jamur?’ Mereka jawab, ‘pernaah.’ Saya tanya lagi dari mana jamur berasal? Jawabannya, ‘dari supermarket’,” cerita Emick.
Sejak 2020, Emick membuka kelas-kelas budidaya jamur bagi siapa saja yang ingin belajar. Kelas-kelas itu hampir semuanya gratis, kecuali ada permintaan makanan. “Pernah ada sejumlah instansi pemerintah dan swasta yang mau berkunjung ke Bee Jamur. Mereka tanya harga paket. Saya malah bingung jawabnya karena biasanya gratis.”
Emick mengaku mendapat kepuasan tersendiri melihat orang-orang datang ke Bee Jamur untuk belajar budidaya jamur. Pasalnya, ia tahu kegiatan ini akan membuka banyak pintu kesempatan jika ditekuni dengan baik.
Ni Wayan Purnami
Denpasar, 21 Desember 1991
Pendidikan tinggi:
- S-1 Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana (2009-2013)
- S-2 Agribisnis Universitas Udayana (2013-2015)
- S-3 Pariwisata Universitas Udayana (2021-sekarang)
Pekerjaan: dosen di Politeknik Nasional Denpasar
Prestasi antara lain:
- Juara 1 Kategori Green Citi Microentrepreneurship Awards Tingkat Nasional
- Duta Slow Food Youth Network Indonesia dalam Terra Madre, di Milan
- Penerima Satu Indonesia Awards Provinsi 2017 Bidang Kewirausahaan