Ferry dan Racikan Kegembiraan
Bersama Joyland, Ferry Dermawan akan meracik kegembiraan selamanya.
Tak pernah terlintas di benak Ferry sebelumnya, kesenangannya menonton konser akan membawanya pada jalan hidup yang kini dilakoninya. Menjadi promotor dan menggawangi salah satu festival musik yang diperhitungkan banyak orang, terjadi secara tak sengaja.
”Enggak sengaja. Karena suka nonton (konser). Sama Kiki karena kita satu kampus. Terus dia kan di Demajors, suka megang band, terus ngajaknonton. Pokoknya urusan musik sama dia,” ujar Ferry saat ditemui di Bali, di tengah perhelatan Joyland Bali 2023 di Peninsula Island, Nusa Dua, hari pertama, Jumat (17/3/2023).
Kiki yang disebut Ferry adalah Kiki Aulia, promotor Boss Creator yang membidani Festival musik Pestapora. Keduanya pernah sama-sama kuliah di Universitas Trisakti Jakarta. Kedua teman baik ini kini juga sama-sama menjadi promotor.
Sore itu, kemeriahan Joyland Bali 2023 baru dimulai. Obrolan kami ditingkahi suara musik dan vokal Yura Yunita yang sedang tampil di panggung Joyland, disusul Ali di panggung Plainsong Live.
Kata Ferry, hari pertama festival biasanya masih membuat deg-degan. Cemas kalau-kalau ada yang kurang. Tapi hingga lepas senja, tak ada laporan serius yang masuk. Artinya, terkendali. Selama obrolan, Ferry juga masih bisa tertawa lepas. Mungkin juga lega karena sudah tiba di puncak kerja kerasnya bersama tim Plainsong Live, mempersiapkan Joyland.
Selama tiga hari, Joyland Bali 2023 menghadirkan 61 penampil, terdiri dari musisi solo maupun band, Indonesia maupun mancanegara, juga komika dan para seniman pengajar lokakarya dan aktivitas keluarga. Tiga penampil utama adalah band rock legendaris asal Perancis Phoenix, penyanyi rap asal Inggris yang dikenal dengan lirik-lirik kritisnya M.I.A, serta penyanyi muda asal Norwegia Sigrid.
Ada juga Raisa, Tulus, Barasuara, Navicula, Kunto Aji, hingga solois pendatang baru Assia Keva, musisi tradisional asal Sumba, Ata Ratu, serta musisi delta blues asal Bali, Made Mawut. Masih banyak lagi penampil lainnya. Genrenya beragam.
Mereka dipanggungkan di Peninsula Island, Nusa Dua, sebuah tanjung dengan hamparan rumput hijau dengan pantai dan pemandangan ke laut lepas. Banyaknya anak-anak yang berlarian di lokasi dengan riang, menguatkan posisi Joyland sebagai festival musik ramah anak. Satu hal yang kerap luput dalam penyelenggaraan festival musik di Tanah Air.
Banyak detail lain yang disuguhkan Joyland di Peninsula Island. Selain dua panggung raksasa, Ferry juga mengeksplorasi pantai dengan pemandangan senjanya yang indah. Hammock pun menjadi detail unik di area pemutaran film. Begitu pula balon raksasa berbentuk jamur yang ikonik. Masih banyak detail lain yang membuktikan Joyland tak semata festival musik yang hanya berlomba menyuguhkan jajaran penampil hebat di atas panggung.
Banyak kejutan
Tentu bukan hal mudah mengelola festival besar yang bisa dikatakan digelar secara maraton dalam waktu berdekatan seperti Joyland. November 2022, Joyland Jakarta baru saja selesai digelar.
Bahkan tiga hari sebelum Joyland Bali, Selasa (14/3/2023) Plainsong baru saja menggelar konser band indie asal Kanada, Men I Trust & Oceania Tour, di Basket Hall, Senayan, Jakarta. Sebelumnya, Kamis (23/2/2023) di tempat yang sama, Plainsong juga menggelar konser French Kiwi Juice. Butuh jantung kuat untuk melakoni semua itu.
”Ini bener. Saya baru sadar belakangan. Beberapa teman dan keluarga dekat udah bisa menilai. Dulu, Joyland 2019, beberapa minggu sebelum acara udah kenceng, kayak panik. Banyak hal enggak penting dipikirin. Mungkin karena waktu itu udah lama vakum terus balik dengan to do list yang enggak berhenti-berhenti. Ada 100 checklist, udah kami kerjain, timbul lagi. Jadi kayak ada ribuan checklist, enggak selesai-selesai pekerjaannya. Kayak fatamorgana,” ungkap Ferry. Dia tertawa.
Seiring waktu, Ferry belajar menakar pekerjaan, juga menghitung konsekuensi-konsekuensinya. ”Tapi ya sampai sekarang masih banyak kejutan juga. Mungkin karena venue-nya selalu beda. Banyak hal bisa diprediksi, tapi kejutannya juga lebih banyak,” imbuhnya.
Dia mencontohkan koordinasi dengan pihak keamanan yang memiliki model pendekatan berbeda antara Jakarta dan Bali. Di atas segalanya, hal paling krusial dan kerap membuat senewen adalah soal pendanaan. ”Suka serem,” katanya singkat.
Belum lagi persoalan izin, sponsor, hingga tiket. Dia mengisahkan pengalaman saat mempersiapkan Joyland November 2022 di Jakarta yang mendebarkan akibat Festival Berdendang Bergoyang yang mendadak dihentikan kepolisian. Gara-garanya, kelebihan kapasitas penonton.
Karena takut kecolongan seperti kasus Berdendang Bergoyang, semua promotor, termasuk Ferry, kena imbasnya. Dia harus mengulang seluruh proses pengajuan izin dari awal, padahal hari H sudah dekat. Izin Joyland baru dikantongi pada H-1.
Toh, aral-aral seperti itu tak mengendurkan langkahnya. Ibarat pepatah alah bisa karena biasa, Ferry makin terlatih mengelola festival. Bahkan kini makin serius melakoni profesinya. ”Kalau sekarang, beberapa tahun ini udah yakin. Kayaknya emang bisa jadi promotor,” ujarnya dengan tawa berderai.
Sejak hobi menonton konser dulu, Ferry sadar, bakat dan minatnya memang bukan memainkan instrumen musik. Kemasan pertunjukan konser, selalu lebih menarik perhatiannya. ”Gimana cara bikin begituan. Kok bisa. Itu yang dikulik terus. Tapi kalau ngelihat musisi main basnya jago misalnya, enggak ada ketertarikan,” katanya.
Minatnya itu pada suatu waktu kemudian menemukan titik temu. Kebetulan, istrinya, Lintang Sunarta, yang pada awalnya mendirikan perusahaan untuk menaungi rumah produksi penyuplai program musik di televisi, menemui titik jenuh. ”Bikin konser aja,” kata Ferry kala itu, menandai babak baru perjalanannya sebagai promotor.
Tahun 2009, Ferry dan Lintang membuat konser kolaborasi musisi senior dan musisi muda bertajuk Djakarta Artmosphere (Djaksphere). Mereka berkaca pada musisi senior di luar negeri, seperti Bob Dylon dan Bruce Springsteen, yang tak segan nongkrong bareng musisi-musisi muda. Ferry ingin situasi seperti itu juga terjadi di Tanah Air karena musisi-musisi muda pun sangat menghormati musisi-musisi senior Tanah Air.
Di Djaksphere, Ferry menyandingkan God Bless dengan Navicula. Yockie Suryo Prayogo (alm) dengan Pure Saturday. Banyak lagi lainnya. ”Itu diketawa-ketawain setiap ke sponsor. Pas Vina Panduwinata sama Kartika Jahja, katanya, ini Vina diva. Ini (Kartika), siapa? Fariz RM sama White Shoes & The Couples Company, diketawain,” kenang Ferry.
Debut Joyland sebagai festival terjadi di tahun 2012 di Taman Krida Loka, Senayan. Nama Joyland diambil dari nama panggung di konser Djaksphere yang digelar tahun 2011 di Tennis Indoor Senayan. ”Bikin Joyland itu karena kami merasa ada gap. Tahun 2012 enggak ada festival. Cuma ada festival clothing atau pensi SMA. Sementara saya udah kuliah, merasa enggak nyaman kalau ke pensi SMA. Terus paling ke gig kecil atau kalau ada artis internasional main. Band-band yang saya anggap keren juga udah mentok saya tonton. Jadi, kayaknya butuh ruang yang lebih banyak untuk nampilin mereka dalam satu acara, kayak paket komplet,” ujar Ferry.
Setelah Joyland 2012, ada masa vakum cukup panjang hingga akhirnya Joyland kembali lagi di tahun 2019. Selain tetap digelar di kawasan Senayan yang hijau, kontras dengan gedung-gedung jangkung di sekitarnya, Joyland juga menyuguhkan jajaran penampil yang ”segar”. Ada penampilan komika, pemutaran film, hingga lokakarya dan beragam aktivitas untuk keluarga dengan anak-anak mereka. Secara keseluruhan, atmosfernya rileks.
Pandemi Covid-19 membawa Joyland ke Bali yang sangat terdampak. Joyland Bali untuk pertama kalinya digelar Maret 2022 di Taman Bhagawan, Nusa Dua. Ini sekaligus menjadi kick off digelarnya acara musik skala besar di Tanah Air setelah dua tahun dilanda pandemi.
Presiden Joko Widodo dan jajarannya pun sempat ”menyambangi” Joyland, sebagai isyarat lampu hijau dimulainya kembali penyelenggaraan acara musik luring. Asal tetap mengutamakan protokol kesehatan. Kesuksesan itu terus direplikasi di Joyland Jakarta November 2022 dan Joyland Bali 2023 yang baru lalu.
”Kami ngeliat-nya di Bali lagi ada kekosongan festival. Dengan international line-up juga, skalanya nasional, terutama sejak Soundrenaline pindah ke Jakarta. Ini jadi salah satu pertimbangan juga,” ujar Ferry tentang alasan penyelenggaraan Joyland Bali.
Menawarkan gagasan
Bicara tentang festival musik, bagi Ferry, festival adalah soal pengalaman (experience). Seperti itu pulalah Joyland. ”Kami pengin sebanyak mungkin orang bisa menikmati Joyland karena Joyland itu harus experience tersendiri. Bayangan kami, festival tuh harus seperti ini. Kalau saya sebagai penonton datang ke festival, hal-hal seperti inilah yang pengin saya dapetin. Misalnya kita orang tua punya anak, pengin ngajak anak ke acara musik yang mungkin ada band-band yang disukai banget dan mau ngenalin musik ke anaknya, ya ini bisa karena juga ada areanya,” tutur Ferry.
Bagi Ferry, sebuah festival dapat dikatakan ideal apabila memiliki tawaran, berpihak pada gagasan yang dipercaya ”seru”. Hal ini, ujarnya, dilandasi kesadaran bahwa dirinya adalah promotor. ”Bukan EO atau brand agency yang service based. Tapi kami menawarkan sesuatu. Jadi itu sih. Harus yakin bahwa yang kita tawarkan itu bisa ngasih experience baru kepada penonton,” kata Ferry.
Dari sisi penampil, Joyland berusaha memberikan keberpihakan kepada musisi-musisi alternatif, atau bahkan yang masih baru. ”Biasanya yang seru-seru munculnya dari situ, tuh. Yang lebih bersuara, lebih berani,” kata Ferry.
Dia berharap Joyland bisa menjadi festival alternatif karena Ferry selalu merasa ada kebutuhan pada festival skala medium. Dengan skala tak terlalu besar, mereka bisa lebih fokus dengan experience penonton. ”Jadi ketika dia pulang, dia bisa dapat hal baru, koneksi baru, teman baru, atau jadi pengin bikin sesuatu,” kata Ferry.
Experience yang baik, menurut Ferry, penting karena belajar dari tahun 2022 di mana terjadi euforia penonton festival, banyak orang yang baru pergi ke festival untuk pertama kalinya. Dia ingin para pemula itu bisa mendapat pengalaman terbaik saat datang ke sebuah festival, termasuk dari sisi teknis, agar terus tertarik untuk datang ke festival musik lainnya.
Baca juga:Ucup, Biangnya Pesta
”Cuma tahun lalu ada beberapa festival yang kurang berhasil atau kurang bertanggung jawab, nah itu kemudian kayak digeneralisasi. Ah, promotor Indonesia mah carinya untung doang. Padahal, cari sponsor susah banget,” katanya.
Soal Joyland yang disebut-sebut sebagai festival ramah anak, Ferry mengatakan, hal itu sebenernya lebih karena pertimbangan personal. Sebagai orang tua yang memiliki anak, dia ingin mengenalkan musik kepada anak-anaknya. Dia merasa, selama ini ruang untuk anak-anak di festival musik sangat minim.
Begitu juga soal aturan saat mengonsumsi rokok atau alkohol. Dia percaya semua bisa dicari jalan tengahnya. Maka disediakan area khusus. Di luar negeri, banyak festival sudah melakukan hal serupa sejak lama. ”Malah kadang sponsor yang suka ragu. Contohnya Coachella, kalau mau alkohol juga ada areanya dan enggak boleh keluar dari area itu alkoholnya. Sekarang siapa yang enggak tahu Coachella. Jadi kayaknya emang harus dicoba kali, ya? Dites dulu berhasil apa enggak,” katanya.
Memang tidak mudah dan tidak bisa instan. Dia berharap, bisa terus konsisten membangun Joyland. Baginya, Joyland ibarat penyaluran ekspresi, anak kandung yang harus dirawat dan terus ditumbuhkan dengan sepenuh cinta.
”Enggak tau ya, emang merasa lebih excited aja menjalani hidup karena ada hal-hal yang pengin dicoba terus. Bikin penasaran terus. Ya, ngelakuin ini. Ngelakuin Joyland,” katanya semringah. Bersama Joyland, Ferry selamanya akan meracik kegembiraan.
Ferry Dermawan
Lahir : Jakarta, 9 Mei 1986
Festival:
- Joyland Festival (2012, 2013, 2019, 2022, 2023)
- Djakarta Artmosphere (2009, 2010, 2011, 2012)
- Festival Seperlima (bersama Hivos, Taman Menteng, Jakarta, 2014)
- Blues 4 Freedom (bersama Galeri Foto Jurnalistik Antara & Dewan Kesenian Jakarta, TIM Cikini, Jakarta, 2011)
Headline Show/Solo Concert:
- Men I Trust Asia & Oceania Tour (GBK Basketball Hall, Jakarta, 2023)
- FKJ Asia Tour (GBK Basketball Hall, Jakarta, 2023)
- SENYAWA (Konser + Tanah Air, GKJ, Jakarta, 2016)
- DDHEAR (Dialog Dini Hari Endah N Rhesa, Graha Bhakti Budaya, Jakarta, 2016)
- Frau (Konser Tentang Rasa, GKJ, Jakarta, 2016)
- Banda Neira (Pesta Rilis Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti, 2016)
- Pure Saturday (Grey Concert, GKJ, Jakarta, 2012)
Film:
- White Shoes & the Couples Company ‘2020’ (Live Performance Film, 2022)
Seri Video Digital:
- Plainsong Live Sessions (Season 1 2020, Season 2 2020, Season 3 2021)