Fetty dan Sarinah Kini
Andai Fetty Kwartati menyerah, mundur dari kursi Direktur Utama PT Sarinah, entah bagaimana nasib Mal Sarinah. Beruntung ia bertahan. Sarinah pun jadi mal pertama Indonesia yang hanya menjual poduk lokal.
Andai Fetty Kwartati menyerah, mundur dari kursi Direktur Utama PT Sarinah, entah bagaimana nasib Mal Sarinah. Beruntung ia bertahan. Sarinah pun jadi mal pertama Indonesia yang hanya menjual produk lokal dan wajib kunjung.
Kamis (9/3/2023) sore, Fetty menyambut kami di ruang kerjanya di Mal Sarinah, Jakarta. Ia memperlihatkan ruang kerja yang sederhana bagi seorang dirut perusahaan BUMN. Selain satu set kursi tamu, ada meja dan kursi untuk rapat, serta sebuah meja besar dan sebuah kursi yang Fetty gunakan untuk bekerja sehari-hari.
Meja kerja itu berlapis kaca bening setebal sekitar lima senti menutup meja kayu jati di bawahnya. Di bawah kaca tampak alat cetak kain batik (batik cap) bermotif bunga besar-besar berwarna coklat tua. ”Alat batik cap ini sudah ada sejak Sarinah beroperasi tahun 1962. Saya tak ingin mengubahnya sebab benda ini bersejarah,” tutur Fetty menjelaskan.
Kehadiran Fetty untuk memimpin Sarinah tidaklah tiba-tiba. Ternyata Menteri BUMN Erick Thohir sudah ”membidik” Fetty untuk memimpin mal pertama milik bangsa Indonesia tersebut sejak ia dilantik Presiden Joko Widodo tahun 2019. Begitu dilantik, Erick meminta Fetty masuk dengan misi membantu transformasi Sarinah.
Bagi bangsa Indonesia, Sarinah mendapat tempat tersendiri. Ia merupakan mal pertama milik bangsa Indonesia yang diinisasi Presiden RI pertama Soekarno yang berharap bisa menampilkan produk dan budaya Indonesia. Mal itu beroperasi pada 15 Agustus 1962. Bangunan lain yang satu zaman dengan Sarinah adalah Gelora Bung Karno yang diresmikan pada 21 Juni 1962.
Setelah puluhan tahun beroperasi, pemerintah ingin memperbarui tampilan Sarinah agar relevan di era sekarang. Sebagai perusahaan di bawah Kementerian BUMN, Erick memilih sosok yang ia anggap mampu melakukan misi itu. Maka Erick memilih Fetty yang sudah malang melintang di bisnis retail jenama global.
Tawaran itu membuat hati Fetty yang sekitar 30 tahun bekerja di peritel PT Mitra Adi Perkasa (MAP) bimbang. Waktu itu, Fetty menjabat Direktur dan Corporate Secretary di MAP. Di satu sisi ia berat meninggalkan kemapanan dan relasi eratnya dengan teman kerja di MAP, di sisi lain, permintaan Erick bukan hal mudah, tapi juga tantangan baru.
”Saya tak langsung menjawab iya. Secara pribadi ada perasaan takut karena ini sesuatu yang baru dan belum pernah ada transformasi sebesar itu. Ada rasa antara saya sudah di comfort zone dan benar-benar harus membidani dari awal,” kata Fetty soal dilemanya kala itu.
Dalam benak Fetty muncul faktor pendorong dan penolak. Faktor pendorongnya, karena Sarinah peninggalan sejarah yang dulu sudah ada, sekarang ada, nanti juga harus ada. Bagaimanapun, sudah pasti harus ada orang terlibat di situ. Ia juga terngiang kata-kata Erick yang menjelaskan ide dan rencananya mentransformasi Sarinah secara komprehensif.
Ucapan itu membuatnya berpikir mengapa Indonesia tak bisa punya punya retailer kuat yang mengusung jenama lokal. Pergulatan pemikiran berbaur ide dan keinginan untuk mewujudkan jenama lokal harus bisa berkibar di deretan terdepan di tempat perbelanjaan meletupkan niat Fetty untuk menerima tugas tersebut. Enam bulan kemudian, ia mengiyakan permintaan Erick.
Dalam benak Fetty sudah terpikir bahwa Sarinah kelak harus menjadi rumah bagi produk lokal dan usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM). Dengan menempati lokasi strategis, produk yang ditampilkan di Sarinah harus dikurasi. Apalagi, mal tersebut bukan hanya tempat belanja, tetapi juga untuk warga lain dan anak-anak muda.
Tak hanya itu, Fetty ingin menjadikan Sarinah sebagai beyond shopping center, beyond mall, departement store. ”Kami buat ekosistem sehingga bisa tempat itu menjadi destinasi wajib kunjung bagi lintas segmen, usia, lintas kelas ekonomi sehingga menjadi tempat every one can find they on room,” kata Fetty, yang mengenakan batik pekalongan karya Edward Hutabarat.
Maka, lahirlah tempat kuliner lokal dan taman terbuka yang menjadi tempat warga bersosialisasi. Bahkan, Sarinah sebagai bangunan cagar budaya juga bisa menjadi tempat belajar. Ia membuka tempat pentas seni di anjungan, dan pameran seni budaya di lantai 6.
Untuk mewujudkan konsep tersebut, Fetty mengaku belajar dari apa yang dilakukan perusahaan brand global. Waktu itu ia hanya berpikir, bagaimana ia melihat konsep yang sudah ia lihat di tempat lain. Ia melihat contoh dari banyak brand global konsisten, dan bisa tetap bertahun-tahun berjaya. Misalnya dalam soal kedispilinan.
”Saya berpikir, brand kita sudah banyak yang bagus tapi belum ada yang menjahit jadi bentuk solid. Itu sangat berhubungan ekosistemnya sehingga Sarinah menjadi tukang jahitnya sehingga bisa jadi fondasi retailer lokal yang kuat,” kata Fetty.
Nyaris menyerah
Tak lama setelah Fetty masuk, Agustus 2020, Mal Sarinah direnovasi. Fetty yang jauh hari sudah memikirkan bentuk bangunan dan penataan di dalamnya memulai pergulatan lahir batin. Mau tak mau ia harus mentransformasi ulang semua hal di dalamnya terutama sumber daya manusia di dalamnya.
Menurut Fetty, bagian awal saat ia masuk menjadi masa sangat berat. Ia menyebut perlu banyak upaya untuk mewujudkan rencana pembangunan, belum lagi resistensi orang dalam dan pihak eksternal serta kalangan masyarakat yang bisa jadi belum cukup memahami rencana untuk Sarinah. Akan tetapi, Fetty yakin, sepanjang ia mau mencoba dan serius pasti ada jalan keluar.
Langkah keluar dari kelaziman ia lakukan. Ia mendobrak pandangan mal harus berpagar tinggi dan mempersulit akses bagi pejalan kaki demi alasan keamanan, dengan membongkar habis pagar Sarinah. Sebagai ganti ia membuat taman terbuka bagi siapa pun yang ingin sekadar duduk-duduk atau kongkow di tempat itu.
Ide yang tak biasa ini sempat membuat pihak lain keberatan, apalagi di seberang ada Bawaslu RI yang kerap menjadi sararan demo warga. ”Beruntungnya kami mendapat dukungan pengamanan dari banyak pihak. Ada wacana gedung itu akan dipindah, tapi kami jalan dulu sajalah,” ujarnya.
Satu masalah teratasi muncul masalah lain, misalnya rencana pembuatan gedung parkir vertikal agar bisa menampung lebih banyak mobil. Rencana itu tak bisa terwujud sebab pembuatan parkir yang membutuhkan tembok penguat dan pengaman tempat parkir dianggap menutupi menara Sarinah.
Akibatnya, Sarinah kehilangan tempat parkir untuk sekitar seribu mobil. Pengunjung yang tak bisa parkir di Sarinah harus mencari tempat parkir di tempat lain.
Soal Fetty bersikukuh hanya menyediakan produk lokal dan UMKM juga membuat banyak pihak meragukannya. Mana mungkin mal bisa hidup tanpa ada brand besar dari luar negeri. Orang tak akan mau datang jika hanya jualan produk lokal, demikian kurang lebih kalimat yang tertuju ke Fetty.
Di luar itu masih ada resistensi dari internal pegawai Sarinah, sebab mengubah cara berpikir pegawai bukan pekerjaan mudah, apalagi sampai muncul tuduhan berbau SARA kepadanya.
Sekuat-kuatnya Fetty, ada kalanya merasa gamang dan ingin menyerah ketika sekelompok orang dari ormas mendemonya berulang kali. Pendemo menuduh ia belum membayar bagian pekerjaan yang menjadi kewajiban dan lainnya hingga muncul desakan agar ia dicopot dari jabatan. ”Saya nyaris give up. Kalau sering didemo, orang pikir, (tuduhan mereka) benar. Apalagi, ada media lokal yang menulisnya,” kata ibu dua anak tersebut. Bagi dia, sepanjang 30 tahunan berkarier, di Sarinah merupakan tantangan yang paling berat.
Ia melapor ke kementerian BUMN. Nasihat Erick singkat, ”Tabahlah.” Fetty tersenyum tatkala menirukan jawaban itu. Kolektor kain wastra dan batik lawasan itu seperti mendapat napas baru. Semangatnya menguat untuk meneruskan pekerjaan.
Antre panjang
Tak hanya membuka satu kawasan taman, ia juga membuat tiga kawasan bagi pengunjung untuk merasakan kenikmatan berada di ruang terbuka. Di lantai dasar, lantai 2 dan lantai 3. Di lantai itulah ia membuat taman nan elok bernama Sky Deck.
Tempat tersebut menjadi favorit pengunjung yang rata-rata datang bersama keluarga, dari kakek-nenek sampai anak cucu untuk bersantai. Mereka bisa berpiknik di bangunan berbentuk persegi dari besi dengan cat warna merah. Angkasa dan bangunan bertingkat melengkapi suasana bersantai di sana. Jika dulu Sky Deck dibuka begitu saja, sekarang pengunjung harus menjadi anggota Club Sarinah untuk bisa memasuki kawasan tersebut.
Di lantai dasar begitu masuk mal, pengunjung langsung tersergap oleh gelaran kain, busana indah kelas premium karya para maestro wastra, desainer senior, keris yang ditujukan bagi pembelanja papan atas. Namun, di lantai berikutnya ada banyak pilihan barang buat pembelanja kalangan menengah dan anak muda yang ingin membeli produk lokal yang sedang tren.
Jajan pasar dan kuliner khas Nusantara bisa didapat di lantai bawah berikut tangga canda yang lagi-lagi menjadi tempat pengunjung menikmati suguhan kuliner lokal dan mengobrol. Buat mereka yang hanya ingin menikmati pertunjukan gratis dari para penyanyi, grup band, paduan suara, sampai wayang orang bisa duduk di anjungan di bagian luar Sarinah. Tempat itu setiap hari penuh orang yang bersiap menonton seni modern dan tradisional yang setiap hari disuguhkan Sarinah didukung para sponsor.
Buat penikmat seni langsung saja ke lantai 6 tempat gelaran pameran seni budaya berada. Fetty mengajak para seniman senior dan muda tampil disana agar saling mengisi. Tema pameran tak melulu lukisan, tapi juga seni lainnya, kuliner sampai fashion. ”Semua itu ada unsur seninya. Ada kurator yang akan mengkurasi karya mereka dan sponsor akan membiayai pamerannya,” ujar Fetty.
Baca juga: Bara Api Armand Maulana
Sarinah baru beroperasi sekitar setahun, tetapi calon penampil dan pengisi kios antre panjang. Pengunjungnya mencapai sekitar satu juta orang, mayoritas (70 persen) anak muda usia 25-35 tahun yang senang mengabadikan tempat kesukaan mereka menjadi konten yang melambungkan nama Sarinah.
Menurut Fetty, pihaknya tak punya budget untuk beriklan, tetapi dari media sosial saja, Sarinah sudah memetik hasil menjadi mal populer.
Putaran uang di mal cukup kencang. Buktinya, tenan kuliner sudah mencapai target, sementara kinerja total Sarinah menunjukkan, laporan keuangan sejak 2019 masih negatif, tahun 2023 ini sudah positif. ”Departement store memang perlu waktu dua tahun buat take off. Makanya tahun 2023 sudah break event point, 2024 baru untung,” kata Fetty, yang setiap hari pulang ke rumah pukul 01.00 atau 02.00 dini hari.
Masih banyak pekerjaan rumah Fetty dan tim lakukan untuk membuat Sarinah menjadi rumah produk lokal Indonesia dan menjadikannya sebagai tujuan untuk belanja, berbisnis, rileks, dan menikmati kuliner, tetapi setidaknya masa terberat sudah berlalu.
Fetty Kwartati
Lahir: Tangerang, Banten 4 Februari
Pendidikan :
- Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara Jakarta (1990)
-Profesional Degree dalam Bisnis International dari University of California, Los Angeles (UCLA)-AS (1994)
-Master bidang Administrasi Bisnis dan Keuangan California State University-AS (1994)
Pengalaman kerja, antara lain:
- PT Bank Dagang Nasional Indonesia (1990-1998)
- Badan Penyehatan Perbankan Nasional (1998-2004), posisi terakhir : Group Head Asset Management Investment
- PT Mitra Adiperkasa Tbk (2004-2020)
- PT MAP Boga Adiperkasa (2017-2020)
- CEO & Direktur PT Sarinah (2020-sekarang)
Penghargaan, antara lain:
- Iconomics Inspiring Women dari The Iconomics (2021)
- Best Investor Relations dari Finance Asia (2015)