Bonnie Raitt dengan lagu lirih ”Just Like That” tentang donor jantung memenangi kategori bergengsi Song of the Year penganugerahan ke-65 Grammy Awards. Kemenangan ini bagai anomali di antara dentum musik kontemporer.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Piala Song of the Year untuk lagu ”Just Like That” dari musisi kawakan Bonnie Raitt (73) di penganugerahan ke-65 Grammy Awards pada Minggu (5/2/2023) malam waktu Los Angeles, Amerika Serikat, seperti anomali. Dengan gitar dan suara organ, serta vokal serak Raitt, ”Just Like That” seolah menyuguhkan kesunyian di antara dentum musik kontemporer.
Dari kursinya, Raitt ternganga saat Ibu Negara AS Jill Biden menyebut judul lagu ciptaannya itu menang di salah satu kategori paling bergengsi. Nomine lainnya di kategori itu cukup ketat, rata-rata musisi populer masa kini. Sebut saja Lizzo, Taylor Swift, Harry Styles, Steve Lacy, Adele, DJ Khaled, dan Beyonce. Raitt bisa jadi yang paling tidak diunggulkan di antara bintang-bintang itu.
Saat ini mungkin bukan masanya Raitt. Betapa tidak, ”kompetitor"-nya, Lizzo, masih kelas 5 SD ketika pertama kali menonton Beyonce. Sementara Beyonce memenangi piala Grammy pertamanya pada 2001 bareng grup Destiny’s Child. Ketika Beyonce moncer itu, Raitt telah mengoleksi 10 piala Grammy sejak pertama kali merilis album pada 1971. Jarak generasi antara Raitt dan para nomine terlampau jauh.
Aku terkejut sekali. Entah harus berkata apa. Momen ini terasa tak nyata.
Makanya, Raitt seperti tak berharap banyak malam itu. Okelah tak mengejutkan dia menang di kategori yang sesuai genre musiknya, American Roots Song, untuk lagu ”Just Like That” dan Americana Performance untuk lagu ”Made Up Mind”. Dia pernah bawa pulang piala untuk Best Americana Album pada 2013 untuk album Slipstream dan Best Traditional Blues Recording untuk lagu ”I’m in the Mood” bareng John Lee Hooker tahun 1990.
Lagu ”Just Like That” memberi Raitt kategori yang belum pernah dia capai sebelumnya. Di panggung, setelah memegang piala berbentuk gramofon itu, dia masih terbata-bata. “Oh, ya, ampun. Aku terkejut sekali. Entah harus berkata apa. Momen ini terasa tak nyata,” kata penyanyi, penulis lagu, juga gitaris andal ini.
Dia menceritakan sejumput inspirasi dalam menulis lagu berdurasi empat menit ini. ”Aku terinspirasi oleh cinta dan kebaikan orang yang mendonasikan organ tubuhnya demi menyokong hidup orang lain. Kisah itu sangat sederhana dan indah di masa seperti ini,” lanjut Raitt.
Sebelum malam penganugerahan itu, Raitt menceritakan kisah di balik penciptaan lagu ”Just Like That” lebih detail kepada David Remnick dari The New Yorker. Dalam siniar itu, Raitt menonton kisah mengharukan dari tayangan berita petang. Raitt masih teringat adegan demi adegannya.
Cerita itu mengendap berminggu-minggu dalam benakku. Aku memutuskan harus membuat lagu dari situ.
”Kamera mengikuti seorang pria mendatangi rumah seorang perempuan. Perempuan ini tak terintimidasi, mengizinkan sang pria masuk. Itu pertemuan pertama mereka. Mereka berpelukan. Mengharukan sekali. Kisah di balik tayangan itu adalah, ternyata pria itu mendapat donasi jantung dari anak sang perempuan. Cerita itu mengendap berminggu-minggu dalam benakku. Aku memutuskan harus membuat lagu dari situ,” ujar Raitt.
Raitt menulis lirik dengan gamblang tanpa metafora dan dramatis seperti skenario film. Begini kira-kira terjemahan salah satu cuplikan liriknya, ”Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun mencarimu/Agar kubisa mengatakan/Bahwa jantung anakmulah yang menyelamatkanku/Engkau memberi kehidupan bagi kami berdua//”.
Dan begitulah lagu itu tercipta. Raitt memasukannya dalam album studio ke-18 yang dirilis April 2022 lalu. Album ini berjarak enam tahun dari pendahulunya, Dig in Deep. Album baru ini diisi lagu-lagu beragam corak, seperti rock, blues, reggae, soul, dan folk. Warna musik itulah yang mewarnai perjalanan musikalitas Raitt sejak 1970-an.
Raitt telah terpikat pada musik berkat orangtuanya. Sang ibu, Marge Goddard, adalah pianis. Ayahnya, John Raitt, adalah aktor drama musikal yang jarang pulang ke rumah. Dia jadi lebih dekat dengan ibunya. Sang ibu memberinya hadiah gitar bermerek Stella ketika Bonnie Raitt berulang tahun kedelapan. Sejak itu, sampai masuk kuliah, musik adalah semestanya, sekaligus tempat pelarian dari rasa tak percaya dirinya sebagai gadis berkulit bercak dan berambut merah.
Karier Raitt mekar beriringan dengan tumbuhnya generasi bunga di Amerika Serikat. Raitt, tentu saja, ada di dalam gerakan antiperang itu. Dia sempat kuliah di Universitas Harvard menekuni ilmu-ilmu sosial dan feminisme, sembari mendalami teater modern. Dari masa kuliah itu, Raitt terpapar pada kerja-kerja keadilan dan perdamaian. ”Bekerja di organisasi sosial semacam itu adalah cita-citaku,” katanya kepada Remnick.
Di kampus, Raitt mengambil jurusan relasi sosial dan studi Afrika. Alasannya, dia ingin pergi ke Tanzania karena presidennya kala itu, Julius Nyerere, berhasil membangun pemerintahan berbasis demokrasi dan sosialisme. Di masa kuliah, dia membentuk grup musik bernama Revolutionary Music Collective untuk mengiringi unjuk rasa mahasiswa Harvard di tahun 1970.
Pergaulannya adalah persinggungan antara aktivis dan musisi. Namanya sebagai gitaris dan penyanyi blues segera tersebar, sampai juga ke label Warner Bros. Label itu mengontraknya untuk album perdana Bonnie Raitt (1971), yang isinya antara lain interpretasi dari karya-karya Robert Johnson dan Sippie Wallace. Album ini diterima kritikus dengan baik, dan berlanjut di album-album berikutnya.
Kepedulian Raitt pada isu-isu sosial tak menyurut meski kilau lampu panggung mulai menyorot. Dia masih main di kampanye antiperang, konser antinuklir di Madison Square Garden pada 1980, dan aktif di lembaga hak-hak lingkungan bagi perempuan dan masyarakat adat.
Raitt merasa tak aneh memainkan musik blues yang dicap sebagai musik orang kulit hitam. ”Aku justru tertantang bagaimana memainkan gitar atau menulis lirik seperti Muddy Waters. Di kancah blues, atau jazz, sudah bukan masalah (kulit) hitam melawan putih. Muddy Waters, BB King, Eric Clapton saling mengagumi,” ujarnya.
”Di masa itu, orang-orang mendengar musik folk sambil mengisap mariyuana, mendengar musik blues sambil minum wiski. Mereka adalah seniman dan aktivis yang menjelma menjadi tokoh kebudayaan. Aku tak pernah minum sampai pingsan di panggung, hanya rekreasional saja,” kata Raitt.
Kini dia telah bebas dari mabuk-mabukan selama 35 tahun. Kesadaran memberinya horizon baru dalam kreasi. Lagu-lagunya reflektif, menyublim dalam benak secara perlahan-lahan. Lagu ”Just Like That” pun demikian. Ia seperti kebaikan sunyi di antara isu-isu global yang riuh, cerita tentang kebaikan di antara banjir jargon positivisme.
Di kancah blues, atau jazz, sudah bukan masalah (kulit) hitam melawan putih. Muddy Waters, BB King, Eric Clapton saling mengagumi.