Musikku, Suaraku
Sembilan tahun sejak namanya mencuatkan decak kagum, Joey Alexander (19) terus bertumbuh bersama musiknya.
Sembilan tahun sejak namanya mencuatkan decak kagum, Joey Alexander (19) terus bertumbuh bersama musiknya. Ada enam album rekaman jazz sekarang. Bagi Joey, musiknya adalah instrumen untuk bersuara, untuk menyentuh batin banyak orang serta menumbuhkan harapan baik.
Rabu (28/9/2022) sore menjelang maghrib, Joey muncul di lobi sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta. Senyumnya mengembang tipis, raut wajahnya ramah meski tampak sedikit kuyu karena efek jetlag (penat terbang). Joey ditemani ibunya, Farah Leonora Urbach.
Joey yang kini bermukim dan berkarier dari New York, Amerika Serikat, hadir di Jakarta untuk tampil di A Jazz Moment : The Joey Alexander Trio di Soehanna Hall, Energy Building, yang dihelat Chicoiraasa Productions pada Jumat (30/9/2022) malam. Joey tampil bersama Kendrick Scott (drum) dan Kris Funn (bas) dalam dua pertunjukan, membawakan lagu-lagu dari album terbaru Joey, Origin.
”Wah, saya senang sekali bisa hadir di sini, di Jakarta. Senang bisa ketemu para penggemar bersama para musisi jazz terbaik,” ungkap Joey.
Sebelum tiba di Jakarta, Joey lebih dulu menuju Bali. Namun, rupanya, penat terbang masih melanda hingga menjelang hari-H penampilannya. Sebuah konsekuensi yang mau tak mau harus dilakoni Joey sebagai seorang musisi internasional.
Sembari menepis kantuk, Joey banyak bercerita tentang album barunya. Lagu-lagu di album Origin rupanya lahir saat pandemi Covid-19 mulai merebak tahun 2020. Joey, yang sebelumnya merilis album Warna di bawah label legendaris Verve Records, hanya punya sedikit kesempatan untuk ”memperkenalkan” Warna.
”Album ini (Origin) lahir saat pandemi. Ada periode di mana saya dan keluarga pergi ke Bali selama lima bulan karena, kan, aktivitas lagi enggak ada. Itu pas pandemi baru mulai, tahun 2020. Saya sempat bawakan Warna di Eropa untuk keperluan promosi, tapi karena pandemi, semua aktivitas terhenti. Impact-nya memang besar sekali untuk dunia,” tuturnya.
Pulang ke Bali, yang merupakan tempat kelahiran Joey dan tempatnya bermukim bersama orangtua sebelum hijrah ke New York, ibarat retreat dan pemulihan dari segala kegilaan yang terjadi. Bagi Joey, kepulangannya ke Bali, ke tempatnya berasal, menjadi titik di mana dia benar-benar menemukan inspirasi, sekaligus introspeksi.
“Saya belajar tentang diri saya sendiri. Selalu sih karena di jazz, kan, seperti pembelajaran tanpa henti. Jadi saya selalu belajar. Baik untuk diri sendiri, bagaimana saya terus memperbaiki diri sebagai manusia, juga di musik, sebagai musisi,” ungkap Joey.
Selain menyuguhkan emosi dan dinamika yang berbeda, 10 lagu di album Origin yang berada dibawah label Mack Avenue Records itu menjadi jejak betapa Joey telah bertumbuh pesat. Tak hanya komposisi lagunya yang semakin matang, tetapi juga rasa musik yang semakin personal. Ada nuansa kemurnian, kehangatan, sekaligus kegembiraan khas Joey.
”Ini campuran dari semuanya. Karena saya ada di Bali, mungkin ada calmness, serene. Tapi setiap lagu menawarkan emosi dan dinamika yang berbeda,” ucap Joey.
Baca juga: Amrus Lagu Tentang Polisi Jujur
Ada ”Remembering” yang sendu, juga ”Angel Eyes” yang padu dan manis antara permainan piano Joey dan pukulan drum Kendrick Scott. Di ”Winter Blues”, Joey menggandeng gitaris Gilad Hekselman dan pemain saksofon Chris Potter yang menjadikan komposisinya penuh warna seperti yang diinginkan Joey. ”Saya berharap, di tengah pandemi, musik saya bisa menghadirkan harapan,” ujar Joey.
Sebagai musisi, sangat penting bagi Joey untuk bisa ikut mengatasi persoalan yang sedang terjadi di dunia melalui musiknya. Dia berharap orang lain juga bisa merasakan hal yang sama. Saat ini, tak hanya pandemi, dunia juga tengah terdampak perang Ukraina-Rusia. Begitu juga dengan prediksi tentang resesi global.
”Ini ada tawaran saya untuk dunia, dengan semua hal yang sedang terjadi. Dengan musik saya, saya benar-benar berharap bisa membawa kedamaian. Sebagai artis di dunia musik, kami selalu berusaha untuk menyentuh batin orang-orang dengan instrumen kami dan apa yang kami bisa bagikan karena ini penting,” tutur Joey.
Berbeda
Sembilan tahun berada di dunia musik jazz dan menelurkan enam album, tak ada hal lain yang bisa diungkapkan Joey selain bersyukur. Terlebih juga dia tetap bisa berkarya di masa seperti ini (pandemi) dan menampilkannya ke banyak tempat di dunia.
”Jadi, tidak ada lagi yang bisa saya minta, dan berharap saya akan jalani ini terus, berbagi karya saya karena, kan, ini semua harus dikembalikan,” ujarnya.
Saat ini, di tengah situasi pandemi yang mulai melandai, Joey tengah sangat bersemangat menampilkan komposisi-komposisi terbarunya. Menurut dia, ini adalah hal yang sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan sebelumnya.
”Dulu, saat album pertama keluar, saya lebih banyak memainkan lagu seperti ’Over the Rainbow’. Sekarang tidak lagi, sudah berupa komposisi. Harapannya, orang bisa mengerti bahwa saya sekarang fokus menjadi komposer. Orang bisa melihat perbedaan sisi atau mungkin juga warna diri saya serta bisa menemukan sesuatu yang membuat mereka bahagia,” ungkapnya.
Sejauh ini, Joey cukup gembira dengan respons yang dia dapatkan saat tampil di sejumlah tempat seperti di Perancis dan Kolombia. Pasalnya, pun bagi seorang Joey Alexander, tak mudah manakala memperkenalkan karya baru mereka kepada khalayak. ”Ini langkah yang besar. Tapi penting untuk pelan-pelan dilakukan. Harus sabar,” kata Joey.
Meski menilai dirinya seorang pekerja keras karena bekerja keras itu penting, ada hal yang lain membuat Joey tak berhenti beryukur. Yaitu keberadaan orang-orang yang selalu mendukungnya. Terutama orangtuanya, sang ibu, juga ayahnya, Denny Sila.
“Tak hanya support, ayah saya selalu secara konstan terlibat di karier saya, dalam keputusan-keputusan musik saya. Jadi, ayah dan ibu saya sangat penting. Tentu juga Tuhan untuk berkah yang diberikan, dan orang-orang yang Tuhan sediakan di hidup saya, apakah itu musisi yang main bersama saya, tentu saja juga para penggemar saya. Mereka semua sangat berarti,” kata Joey.
Soal masa depan, Joey bukan tipikal orang yang senang menggantung mimpinya setinggi langit. Joey lebih memilih menjalani hidupnya saat ini sebaik mungkin sehingga bisa selalu memberi yang terbaik.
Di saat senggang, Joey sengaja mengambil jarak dari musik agar saat kembali mengerjakan musik selalu ada kesegaran baru. Selain menonton film, Joey juga senang menonton tenis di televisi. Salah satu panutannya adalah legenda tenis Arthur Ashe yang selalu vokal saat bicara soal isu rasial, selain Bruce Lee dan Manny Pacquiao. Di dunia musik, panutannya antara lain Thelonious Monk, John Coltrane, dan Herbie Hancock.
”Saya juga sedikit melakukan boxing. Bukan soal power-nya, tapi lebih soal gerakannya, seperti rhythm karena di jazz rhythm sangat penting. Jadi, untuk beberapa hal boxing sangat membantu,” ucap Joey.
Tentang Grammy, Joey mengatakan, itu bukan target. Dia justru lebih berharap musiknya bisa membawa harapan, juga perubahan dalam apa pun yang dihadapi dan dilewati banyak orang.
”Buat saya, buat kami para musisi, wah, itu something. Tentu saya tak akan pernah lupa momen mendapat nominasi Grammy, terlebih saya orang Indonesia. Semoga bisa menjadi inspirasi, terutama bagi generasi muda,” ujarnya.
Semenjak langkah pertamanya di dunia musik, Joey telah memilih. Melalui piano yang dia mainkan, Joey bersuara. Dan, melalui musiknya, Joey ingin berkontribusi pada dunia.
”Saya selalu bilang, instrumen kita juga adalah suara kita. Buat seseorang, menyanyi bisa jadi powerfull tool. Tapi buat saya, powerfull tool, weapon saya, voice saya, ya, dengan instrumen saya,” tutur Joey.
Teruslah bertumbuh, Joey. Teruslah bersuara.
Josiah Alexander Sila
Nama beken: Joey Alexander
Lahir: Denpasar, Bali, 25 Juni 2003
Penghargaan:
- Nomine Grammy Awards kategori Best Jazz Instrumental Album dan Best Improvised Jazz Solo (2016)
- Nomine Grammy Awards kategori Best Improvised Jazz Solo (2017)
Diskografi:
- My Favorite Things (2015)
- Countdown (2016)
- Joey. Monk. Live! (2017)
- Eclipse (2018)
- Warna (2020)
- Origin (2022)