Sudah ratusan pantun dengan iringan lantunan irama batanghari sembilan Sahilin ciptakan. Keterbatasan fisik tak menyurutkan semangatnya untuk tetap berkarya di tengah kepungan perubahan budaya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Sahilin (67) sudah menciptakan ratusan pantun dengan iringan lantunan irama batanghari sembilan. Keterbatasan fisik tak menyurutkan semangatnya untuk tetap berkarya di tengah kepungan perubahan budaya. Satu tujuannya agar seni tradisional ini tidak punah tergilas zaman.
Dedikasi Sahilin melestarikan seni tradisional itu mendapat Penghargaan Bentara Budaya tahun 2022. Penghargaan diberikan dalam rangka Hari Jadi Ke-40 Bentara Budaya. Sahilin menjadi satu dari empat maestro seantero Nusantara yang dinilai konsisten dalam mempertahankan seni tradisional di daerahnya masing-masing.
Piagam penghargaan yang baru saja diterimanya, Senin (26/9/2022) malam, langsung dipajang berjajar dengan penghargaan lain di dinding rumah papannya yang terletak di Lorong Kedukan Bukit II, Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang, Sumatera Selatan. ”Ini menjadi penyemangat saya untuk tetap berkarya,” ucap Sahilin.
Ya, walau tubuhnya telah renta dan tidak dapat melihat karena penyakit yang dideritanya ketika berusia lima tahun, Sahilin tetap bersemangat menggelorakan seni musik tradisional itu ke sejumlah daerah di Sumatera Selatan. Terakhir, ia tampil di acara perayaan khitanan di Mangsang, Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Kamis (22/9/2022).
Dia tidak menyangka, di daerah yang berjarak sekitar 288 kilometer dari Palembang itu, karyanya masih tetap diminati. Di sana ia bermain selama dua jam menembangkan dua lagu yang pernah ternar di 1970 sampai 1980-an.
”Memang, jumlah peminat tidak sebanyak dulu. Namun, saya senang sampai sekarang masih saja ada yang rindu mendengarkan karya seni ini,” ucapnya.
Ya, di medio tahun 1970-an, lantunan Sahilin sangat digemari oleh warga Sumatera Selatan. Saat itu, hampir setiap rumah warga pasti mendengarkan lagunya melalui kaset yang mulai diproduksi pada 1975.
”Bahkan, saat itu, dalam satu minggu, saya bisa menerima pesanan untuk tampil lima sampai tujuh kali per minggu,” ucapnya. Beberapa penggemar dari luar negeri, seperti Australia dan Malaysia, pun datang ke rumah untuk mendengarkannya bermain secara langsung. Bahkan, dari ketenarannya itu, Sahilin bisa membeli tanah dan rumah yang ia tempati saat ini.
Kini, pesanan tampil jauh berkurang karena kalah tenar dengan organ tunggal. Kini ia hanya menerima pemanggilan tampil sekitar dua sampai empat kali per bulan. ”Namun, saya yakin, peminat seni (irama batanghari sembilan) ini tetap saja ada,” ucapnya.
Keterampilan dalam memainkan seni tradisional itu juga tidak pernah pupus. Jari-jemarinya tetap terampil mengutak-atik setelan gitarnya. Kemudian, ia memetik senar gitarnya dengan nada yang unik mengalun lembut layaknya ketukan gamelan. Tak lama berselang, Sahilin menembangkan pantun yang baru saja ia ciptakan,
Sudah lama tidak ke rumah/ Ambil jambu jauh-jauh/ Yang datang siapa namanya?
/ Rupanya ada tamu dari jauh
Tekun berlatih
Kemampuannya memetik gitar dan menciptakan tembang tidak lepas dari pengalamannya memainkan irama batanghari sembilan sejak 50 tahun lalu. Kemampuannya itu ia peroleh ketika mendengarkan ayahnya, M Soleh, bermain di jedah waktu kala mengambil getah karet di tanah kelahirannya di Benawe, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
”Entah mengapa saya tertarik mendengarkan Bapak saya memainkan irama ini. Saya perhatikan dan terus berlatih. Ternyata seni inilah yang menghidupkan saya hingga kini,” ucap ayah enam anak ini.
Tidak hanya bermain gitar, ia juga terus melatih diri menciptakan pantun jenaka yang terinspirasi dari lingkungan sekitar. Sahilin mahir menciptakan pantun dengan berbagai tema. Satu pantun berisi 30 bait hingga 50 bait.
Ada yang menceritakan kisah sedih, pesan moral, atau kelakar yang lucu. Beberapa pantunnya menjadi lirik batanghari sembilan yang terkenal, antara lain ”Ratapan Mati Gadis”, ”Kaos Lampu”, ”Tiga Serangkai”, ”Kisah Pengantin Baru”, dan ”Bujang Buntu”.
Nyeberang naik ketek
Pergi Ke Seberang Ulu
Duduk di parak cewe
Sayang sedikit bujang buntu
Manis-manis gula tebu
Masih manis layang puan
Jangan ngate bujang buntu
Buntu di luar berisi di dalam
Begitulah petikan pantun jenaka dari lirik ”Bujang Buntu” ini menceritakan kisah lelaki yang mencoba mendekati wanita walau memiliki dana terbatas. Meskipun begitu, jangan coba menghina bujang buntu karena walau terlihat tidak punya uang, tapi berisi di dalam.
Kemampuannya itu pun rela ia tularkan untuk seniman yang memiliki ketertarikan yang sama. Baginya, cara itu adalah bentuk regenerasi yang penting dilakukan agar seni ini tidak punah. Menurut dia, setiap seniman memiliki ciri khas tersendiri sehingga ia tidak khawatir banyak seniman yang mengikuti jejaknya.
Sayidina (38) anak keempat Sahilin, setia mendampingi ayahnya mengikuti beragam acara seni dan budaya. Adalah sebuah kebanggaan menjadi putra seorang maestro. ”Hampir semua orang kenal dengan Bapak. Sayangnya saya tidak bisa mengikuti jejak Bapak,” ucapnya sembari tersenyum.
Menurut dia, dari kekurangan Sahilin-lah yang membuat karya ayahnya sampai menyentuh ke sanubari penggemarnya. ”Bapak membuat karya dari hati lantaran tidak bisa melihat. Ini yang membuat karya Bapak berbeda dengan seniman lainnya,” ujar Sayidina. Inilah yang membuat Sahilin sangat dikenal sebagai seniman irama batanghari sembilan.
Karya Sahilin yang unik inilah yang membuat warga terus mengundangnya. Beberapa di antaranya bahkan mengundang Sang Maestro sebagai nazar. ”Misalnya ada yang mendapat rezeki, sebagai janji mereka mengundang Bapak untuk tampil. Kebiasaan ini masih sangat kental di daerah pelosok di Sumsel,” ucapnya.
Dalam waktu dekat, Sayidina berharap karya sang ayah tetap menggelora, salah satunya melalui media sosial. Ini juga sebagai upaya untuk menunaikan keinginan Sahilin, yakni berkarya selama hayat masih dikandung badan.
Sahilin
Lahir: Benawa, Ogan Komering Hilir, 30 Desember 1954
Penghargaan:
- Piagam Penghargaan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (2000)
- Penghargaan Seni Anugerah Anggon dari Dewan Kesenian Palembang (2006)
- Piagam Penghargaan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (2007)
- Penghargaan Khusus Batanghari Sembilan dari Dewan Kesenian Sumatera Selatan (2009)