Serang Dakko Merawat Tradisi Tetabuhan Bugis
Usia boleh tua, tetapi semangat Serang Dakko bermain dan mengajar gendang tak pernah surut. Bagi maestro gendang ini, warisan seni tradisi yang diterimanya harus dia wariskan pula kepada generasi muda.
Usianya sudah menginjak 83 tahun. Lebih dari 70 tahun, di antaranya, dia habiskan menabuh gendang. Serang Dakko atau akrab disapa Daeng Serang juga merawat dan mewariskan tradisi tetabuhan suku Bugis dan Makassar ini dari generasi ke generasi.
Tak berbilang berapa banyak murid yang sudah diajarinya. Dari anak usia sekolah dasar hingga dosen, tak pernah dia jenuh atau memilih kepada siapa berbagi ilmu. Tak pernah pula dia mematok uang jasa, uang kursus, atau sebutan lain serupa itu. Baginya, siapa pun asal mau belajar, selama itu pula dia akan mengajar.
Rumahnya yang sederhana di kawasan Benteng Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, nyaris tak pernah sepi pengunjung. Walau jadwal latihan atau belajar hanya ditentukan pada Sabtu dan Minggu, toh, tetap saja orang-orang datang di luar hari tersebut. Ada yang datang berdiskusi, ada yang bertanya segala rupa perihal gendang, bahkan yang sekadar singgah dan bercerita apa saja. Bagi sejumlah kelompok mahasiswa atau seni, rumahnya adalah tempat berkumpul.
Pintu rumahnya tak pernah ditutup. Kolong rumah panggung milik Serang sudah serupa rumah utama. Di situ ada bale-bale, seperangkat kursi, aula untuk latihan, seperangkat kompor dan panci untuk menyeduh kopi, hingga satu kamar kecil berisi dipan dan seperangkat alat tetabuhan. Di kolong inilah orang-orang datang silih berganti dan betah menghabiskan waktu.
”Bagi saya, siapa pun yang datang, bahkan sekadar singgah, tak pernah saya tolak. Saya selalu punya prinsip, teman, kenalan, kerabat, adalah rejeki. Begitu pun kalau orang mau belajar, saya tak pernah memilih orang atau meminta uang. Ada anak SD, ada anak SMP, anak SMKI, mahasiswa, hingga dosen. Ada yang datang bawa kopi, gula, kue, alhamdulillah disyukuri. Kami nikmati bersama sembari latihan. Tak bawa apa-apa, tetap diterima dan tetap saya berbagi pengetahuan,” kata Daeng Serang saat dikunjungi di rumahnya, Senin (19/9/2022).
Bagi Serang, merawat dan mewariskan seni tradisi dan budaya jauh lebih bermakna ketimbang sekadar uang. Walau bergelar maestro dan sudah melanglang buana ke berbagai penjuru negeri dan dunia, dia tak lantas tinggi hati, lalu mematok nilai bagi yang mau belajar atau mengundangnya pentas.
”Anak-anak sekarang banyak yang gemar belajar seni dan budaya orang lain, budaya asing. Padahal, budaya sendiri belum paham. Bukan saya antibudaya luar. Tapi, saya salalu mengingatkan, kenali dan pahami dahulu budaya sendiri sebelum belajar seni dan budaya luar. Ini supaya budaya kita tak hilang dan tak tergerus,” katanya.
Saat mengajar, Daeng Serang tak pernah setengah hati ataupun tak rendah diri walau pendidikannya tak tamat sekokah rakyat. Dia kerahkan banyak waktu dan pikirannya sampai yang diajari bisa paham. Serang jauh lebih puas jika yang diajar bisa menguasai gendang, lalu membentuk kelompok-kelompok baru, pentas, dan ikut membagi pelajaran yang sudah dia berikan.
Di rumahnya tak hanya perihal gendang. Latihan menari, meniup pui-pui (alat musik tiup khas Bugis/Makassar), hingga seni tradisi lain juga diajarkan. Rumahnya memang menjadi sekretariat Sanggar Seni Alam, di mana sejumlah kesenian diajarkan.
Warisan
Tahun ini Daeng Serang menjadi salah satu penerima Penghargaan Bentara Budaya. Penghargaan yang diberikan pada peringatan HUT Ke-40 Bentara Budaya ini di antaranya karena kesungguhannya merawat seni tradisi. Dia juga mendapat apresiasi karena mewariskannya kepada generasi muda.
Ini bukan penghargaan pertama yang diterimanya. Sebelumnya telah banyak lembaga dan instansi, baik di dalam maupun luar negeri, yang juga memberinya penghargaan atas ketekunan sekaligus upayanya melestarikan seni tradisi.
Serang memang terus mewariskan pengetahuan dan kemampuannya soal gendang kepada siapa pun. Dua anaknya serta dua cucunya kini sudah mahir pula bermain gendang dan pui-pui. Mereka juga sudah sering tampil di berbagai acara. Sama seperti Serang pada masa kecil, anak-anak dan cucunya pun mula-mula bermain gendang karena panggilan jiwa. Tak pernah ada paksaan. Bagi anak-anak dan cucunya, gendang serupa irama yang membangunkan dan mengantar tidur.
”Saya mengenal gendang karena sudah jadi tradisi turun-temurun di keluarga kami. Setiap hari saya mendengar Bapak dan Kakek bermain. Saya tertarik dan mulai latihan sendiri sekitar usia tujuh tahun. Selanjutnya membentuk kelompok bersama teman-teman masa kecil. Setelah itu, saya akhirnya belajar serius dari Bapak dan Kakek. Anak dan cucu saya pun demikian. Saya tidak pernah memaksa mereka. Saya bersyukur karena warisan ini bisa juga saya wariskan,” katanya.
Baca juga:Aman Goddai Pengabdian Sikerei Muda
Serang percaya gendang adalah panggilan. Tidak saja karena fungsinya yang pada masa lampau adalah memanggil, tetapi juga panggilan jiwa. Pada masa lampau, tetabuhan gendang memiliki banyak makna. Pada waktu shalat, gendang ditabuh sebagai bentuk panggilan dan pemberitahuan waktu shalat. Perbedaan bunyi juga menjadi pembeda waktu-waktu shalat. Gendang juga menjadi penanda panggilan untuk duduk bersama membahas berbagai persoalan. Dalam keadaan terdapat bahaya, gendang pun serupa pemberitahuan untuk siaga. Lain lagi fungsi gendang sebagai pengiring tarian.
”Jadi, gendang itu bukan sekadar benda yang dipukul. Dia memiliki makna. Artikulasinya juga berbeda, tergantung dari ditabuh untuk apa. Bermain gendang juga harus pakai hati dan jiwa. Banyak yang bermain dengan nada yang sama, tapi menghasilkan bunyi berbeda. Makanya, saya selalu menekankan kepada siapa pun yang saya ajar untuk memahami dan menjiwai gendang, bukan sekadar memukul,” kata bapak empat anak ini.
Ada yang berbeda dari gaya Serang bermain gendang, yang sekaligus membuatnya berbeda dengan pemain gendang kebanyakan. Jenaka adalah salah satu ciri khasnya. Kejenakaan ini acap kali diwujudkan dalam beragam gaya menabuh gendang.
Kadang-kadang dia berhenti tiba-tiba di tengah riuh tetabuhan dan mencondongkan tubuh ke arah gendang. Saat kembali menabuh, dia berhenti lagi, lalu menaruh tangan di dagu, kadang kepala, seolah sedang berpikir. Lain waktu, dia berhenti dan menarik tubuh ke belakang. Sesekali dilemparkannya kayu penabuh dan mengambil kayu cadangan dari sakunya.
Toh, tingkah jenaka ini tak pernah mengganggu pementasan. Rekan-rekannya sesama pemain seolah sudah paham betul soal ini hingga serempak mereka akan berhenti saat Serang beraksi. Lalu, kompak pula kembali menabuh saat Serang kembali memainkan jemarinya seusai berhenti sesaat. Kejenakaannya bahkan menjadi nilai lebihnya. Penonton terhibur.
Nyatanya, betapa pun orang-orang belajar menabuh gendang dari Serang, gaya jenaka tetap menjadi miliknya. Satu hal yang lekat dalam ingatan orang tentang Serang adalah, selain tak pelit ilmu, dia juga kerap berbagi pentas dengan kelompok lain.
Baca juga: Viktor Manbait Mencerahkan Warga Perbatasan RI-Timor Leste
”Kadang kalau saya dipanggil, saya panggil juga kelompok lain. Sering saya berikan kepada kelompok lain saja untuk tampil. Saya beri pengertian kepada pengundang bahwa orang-orang atau kelompok yang saya ajukan punya kemampuan tak kalah bagus. Saya senang jika orang-orang yang saya ajar bisa menujukkan kemampuannya. Dengan cara itu pula orang akan melihat dan percaya,” katanya.
Orang-orang yang mengenal dan kerap pentas bersama Serang selalu mengingatnya sebagai orang yang tak serakah. Setiap kali habis pentas akan dibayar, Serang lebih sering meminta anggota kelompoknya yang menerima pembayaran. Uang itu akan dibuka bersama dan dibagi rata. Tak pernah Serang meminta lebih walau dia adalah pemimpin.
Ada satu hal yang juga menjadi prinsip bagi Serang sebagai penabuh ataupun guru. Semua pelajarannya diberikan secara bertahap dari hal yang terkecil. Dalam pentas, dia juga melalui tahapan dari pentas kecil hingga besar.
”Seperti manusia, tumbuhnya juga bertahap, dari merangkak, belajar jalan, hingga bisa berlari. Jangan langsung berlari jika kemampuan baru pada tahap merangkak. Seperti anak tangga, sebaiknya naiklah bertahap. Saya melalui semua tahapan. Saat sampai di atas, jangan berpuas diri. Coba kembali menengok ke bawah, lihat apakah ada yang kurang atau salah. Lalu turun kembali, perbaiki,” katanya.
Bagi Serang, proses belajar, terlebih jika ingin melestarikan seni dan budaya, harus bertahap dan bersabar. Agaknya ini pula yang membuatnya memang pantas diberi gelar dan dijuluki maestro. Bahkan, jauh sebelum mendapat gelar ini dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2007, orang-orang sudah terlebih dulu menyebutnya maestro.
Serang Dakko
Lahir: Desa Kalaswrena, Gowa, 1939
Alamat: Benteng Somba Opu, Gowa
Istri: Daeng Baji
Anak: Cece, Indrawati, Irwan, Arianto
Pengalaman pentas: Amerika, Australia, China, negara-negara di Eropa dan Asia. Terakhir, pentas di acara Ruwatan Bumi di Candi Borobudur pertengahan September 2022.