Aman Goddai, Sikerei Muda dari Mentawai
Dengan menahan segala tabu, Aman Goddai tanpa pamrih mengabdi untuk mengobati warga dan melestarikan ajaran leluhur yang mulai tergerus zaman.
Aman Goddai (36) satu dari segelintir generasi muda Mentawai yang menjadi penerus pekerjaan sikerei. Dengan menahan segala tabu, ia tanpa pamrih mengabdi untuk mengobati warga dan melestarikan ajaran leluhur yang mulai tergerus zaman.
Sebagian aksesoris ”dinas” sikerei masih melekat di badan Aman Goddai saat istirahat di uma, rumah adat suku Mentawai, sore itu. Di lehernya masih melingkar tuddak (sejenis kalung) dengan tambahan daun ailelepet, selain pakaian harian, seperti ikat kepala kain merah, kalung dan gelang manik, serta kabit (cawat).
Sementara itu, perlengkapan lainnya, seperti luat (ikat kepala), singenyen (tempat bunga di kepala), jara-jara (bulu ayam), dan lekkau (tempat bunga di lengan), sudah disimpan setibanya di uma.
”Saya habis mengobati orang. Rumah terbakar, orangnya luka (bakar). Diobati pakai daun-daun sejak empat hari lalu. Sekarang sudah sembuh,” kata Aman Goddai, dengan bahasa Indonesia terbata-bata, di Dusun Buttui, Desa Madobag, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (27/7/2022).
Baca juga : Buah Kesetiaan Adat dan Budaya di Mentawai
Sikerei adalah ahli pengobatan tradisional dalam kehidupan masyarakat Mentawai. Mereka meramu obat dari tumbuh-tumbuhan di pekarangan hingga hutan. Sikerei juga pemimpin ritual adat, mulai dari pembangunan rumah, pembuatan sampan, pembukaan ladang, kelahiran, hingga kematian.
Mereka dapat dikenali dengan penampilan sehari-hari yang hanya mengenakan kabit, kalung manik, ikat kepala kain merah, dan berambut panjang. Tangan, badan, hingga kakinya dipenuhi titi, tato tradisional Mentawai. Saat bertugas, ada tambahan aksesori yang jadi semacam pakaian dinas.
Aman Goddai satu dari belasan sikerei yang tersisa ada di Dusun Buttui, daerah pedalaman Pulau Siberut. Di antara para sikerei itu, Aman Goddai yang paling muda, bahkan di Desa Madobag. Pria beranak lima itu menjadi sikerei sejak 10 tahun lalu.
”Orang lain tidak sanggup terhadap tabunya. Kalau dilanggar, langsung mati. Banyak orang di sini meninggal,” ujar Aman Goddai, yang punya nama lahir Bakkat Kunen. Aman Goddai berarti bapaknya Goddai. Nama itu sesuai kebiasaan orang Mentawai melekatkan nama anak sulung pada orangtua.
Baca juga : Memupuk Kebanggaan Pemuda pada Budaya Mentawai
Kata Aman Goddai, pantangan menjadi sikerei, antara lain, tidak boleh memakan belut, ikan sebelah (flatfish), dan monyet putih. Setelah bertugas mengobati warga ataupun memimpin ritual adat, sikerei tidak boleh menggauli istri selama 2,5-3 pekan. Istri sikerei juga tidak boleh bekerja di luar rumah selama suami bertugas.
Selain karena pantangannya berat, generasi muda jarang jadi sikerei karena biayanya besar. Menurut sikerei senior Aman Laulau (67), ayah Aman Goddai, total biaya menjadi sikerei bisa Rp 100 juta. Biaya itu untuk berbagai ritual dan pesta adat dalam proses menjadi sikerei. Prosesnya sekitar 10 bulan.
Orang terpilih
Sejak kecil, Aman Goddai tak punya impian menjadi sikerei. Ia merasa tak sanggup menjalani tabu. Dari keluarga pun, tidak ada tuntutan jadi pelanjut karena abang sulungnya, Aman Lepon (48), sudah jadi sikerei. Walakin, roh rupanya ”memilih” dia jadi sikerei.
Menurut kepercayaan masyarakat Mentawai, ada dua faktor seseorang menjadi sikerei. Pertama, atas keinginan sendiri; kedua, karena sakit. Aman Goddai termasuk golongan kedua.
Saya pernah sakit. Tahu rasanya sakit. Maka, saya rela obati orang meskipun jauh, tanpa dibayar.
Sebelum jadi sikerei, Aman Goddai sakit-sakitan. Ia sering demam panas dan muntah-muntah. Sakitnya berminggu-minggu, bahkan dua bulan, itu pun selalu berulang. Sikerei dari mana pun tak bisa mengobatinya.
”Saya ’dipilih’ jadi sikerei. Roh yang meminta. Kalau ditolak, meninggal, tidak ada obatnya. Setelah jadi sikerei, langsung sembuh. Sampai sekarang tidak pernah sakit lagi,” ujar Aman Goddai, yang sudah punya empat anak saat jadi sikerei.
Aman Goddai belajar jadi sikerei pada Aman Laulau dan Aman Lepon. Sikerei mesti hafal berbagai jenis tanaman obat dan ratusan lagu/mantra. Lagu jadi bagian penting dalam pengobatan ataupun acara adat. Beda penyakit, beda pula lagu yang dinyanyikan.
Menurut Aman Goddai, ia butuh tiga bulan untuk menghafal separuh lagu, syarat minimal menjadi sikerei. ”Sekarang saya masih menambah hafalan lagu,” kata anak keempat dari enam bersaudara ini.
Sikerei bisa mengobati semua jenis penyakit, mulai dari demam, sakit kepala, sakit perut, luka, patah tulang, hingga kerasukan arwah. Pasien diobati dengan berbagai ramuan tumbuhan disertai nyanyian mantra.
Pengabdian
Alih-alih mata pencarian, tugas sikerei lebih berupa pelayanan terhadap masyarakat. Dalam bertugas, sikerei tidak pernah meminta imbalan. Apa yang diterima sikerei hanya bentuk ungkapan terima kasih keluarga pasien.
”Tak ada bayaran, ikhlas saja. Kadang cuma makan ayam atau babi bersama keluarga pasien. Kalau ada sisanya, mereka suruh bawa pulang. Kadang dikasih rokok sebungkus, saya terima. Tidak dikasih, tidak apa-apa,” kata Aman Goddai.
Kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak Aman Goddai justru dipenuhi dengan berladang sagu, durian, pisang, keladi, dan berburu di hutan. Selain itu, penghasilan lain kadang-kadang didapat dari wisatawan yang berkunjung untuk menginap di uma nan asri dan menyaksikan langsung kehidupan keluarga sikerei.
Kegiatan sikerei mengolah sagu, mencari dan meramu obat, berburu dengan panah, tarian adat, berladang, hingga ibu-ibu menangguk ikan jadi paket wisata menarik.
Meski tak dibayar, kata Aman Goddai, seorang sikerei tak boleh menyepelekan tugas. Pukul berapa pun keluarga pasien datang memanggil dan seberapa jauh pun jaraknya, sikerei mesti segera berangkat meskipun tengah malam. Karena akses transportasi terbatas, lokasi pasien umumnya ditempuh dengan berjalan kaki.
Selama menjadi sikerei, Aman Goddai tidak hanya mengobati pasien di Buttui atau Madobag, tetapi hingga ke desa, kecamatan, dan pulau lain. Ia pernah mengobati pasien di Matotonan, Muara Siberut (Siberut Selatan), Sagulubbeg, Pasakiat Taileleu (Siberut Barat Daya), dan Silaoinan (Sikakap).
Bulan lalu, misalnya, Aman Goddai ke Muara Siberut bersama iparnya yang juga sikerei. Ditemani keluarga pasien, mereka berangkat jalan kaki melewati bukit-bukit dan perkampungan. Rombongan itu mulai jalan pukul 04.00 dan tiba di lokasi sore hari.
Aman Goddai juga tidak kenal lelah melayani warga. Meskipun baru kembali dari tugas, ia mesti pergi lagi jika panggilan datang. ”Saat musim sakit, bisa berbulan-bulan tabunya (puasa menggauli istri). Paling lama pernah lebih dari tiga bulan,” ujarnya tertawa.
Meskipun lelah dan banyak pantangan, Aman Goddai menjalani tugasnya dengan ikhlas. Ia telah terpilih menjadi sikerei, tugas mesti dijalankan sebaik-baiknya. ”Saya pernah sakit. Tahu rasanya sakit. Maka, saya rela obati orang meskipun jauh, tanpa dibayar,” ujarnya.
Aman Goddai
Nama Lahir : Bakkat Kunen
Pekerjaan : Sikerei
Lahir : Ugai, Desa Madobag, 5 Juli 1986
Alamat : Buttui, Desa Madobag, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai