Berkat penelitian terhadap pasien kusta, Yunia Irawati berhasil mendapatkan gelar doktor plastik rekonstruksi. Namun, dalam hati ia bertanya, pasien-pasien lepra dengan kelainan kelopak mata yang ia teliti mendapat apa?
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Indonesia masih berada di urutan ketiga negara dengan penderita kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brasil. Stigma terhadap penderita kusta pun masih tinggi. Yunia Irawati berupaya mengatasi dengan menginisiasi gerakan Katamataku.
Lewat Katamataku, Yunia Irawati yang berprofesi sebagai dokter subspesialis plastik rekonstruksi menggandeng rekan-rekan dosen dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk ikut gerakan pencegahan kusta, mengobati penderitanya, dan membantu mereka keluar dari stigma. Belakangan, perempuan yang akrab disapa Ira itu juga menggandeng dosen-dosen dari fakultas lain, seperti psikologi, kesehatan masyarakat, pertanian, dan peternakan.
Akhir Juli lalu, Ira dan tim Katamataku menggelar bakti sosial pengobatan kusta di Rumah Sakit St Damian Lewoleba, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka mengobati 265 pasien kusta saat itu. Di sana, mereka menemukan sejumlah pasien dengan bercak merah atau putih seperti panu di kulitnya. Itu adalah tanda-tanda kusta. Jika dibiarkan, kuman kusta akan merambat dan merusak organ tubuh tertentu.
Pengobatan pada kasus kusta atau lepra bergantung tipenya. Pada tipe PB (pausibasiler), kusta kering, bersisik. Pada tipe ini jumlah bakteri Mycobacterium leprae pada kulit sangat sedikit, bahkan tidak ada, sehingga dianggap tidak menular. Pengobatannya butuh waktu 5-6 bulan. Pada Tipe MB (multibasiler) atau kusta basah, jumlah bakteri lepra pada kulit cukup banyak sehingga bisa menular. Masa pengobatannya mulai 9 bulan hingga lebih dari 1 tahun.
Untungnya, kuman lepra tidak mudah menular seperti Covid-19. Penularan kusta terjadi jika ada kontak erat dan berlangsung lama. Kalau akhirnya tertular, pasien kusta bisa disembuhkan dengan pengobatan lebih awal, teratur, dan rutin.
Dalam kondisi imunitas tubuh tertentu, pasien lepra yang sudah minum obat pun bisa sakit lagi. Ini terutama terjadi di daerah endemik, seperti daerah Indonesia timur, termasuk Nusa Tenggara Timur.
Faktor penyebabnya antara lain lingkungan yang kotor. Namun, menurut Ira, ada faktor lain, yakni genetik. ”Itu yang belum banyak digali dan sedang kami ingin kembangkan. Pertanyaannya kenapa di wilayah barat Indonesia kasus kusta kecil, tidak seperti Indonesia timur,” ujarnya.
Kuman lepra menyerang syaraf periperi dan ujung-ujung jari tangan atau kaki. Bagian yang terserang lepra akan terasa baal sehingga ketika terjadi kerusakan tidak terasa. Luka kemudian merambat ke anggota tubuh lain. Jika kondisinya sudah parah, anggota tubuh yang rusak karena lepra terpaksa harus dimutilasi untuk menghindari perambatan pada syaraf lain yang masih baik.
Kuman lepra juga menyerang bagian wajah, seperti telinga dan syaraf kelopak mata. Kelopak mata yang terserang tidak bisa menutup. Proses pengedipan mata secara periodik, beberapa detik sekali, secara otomatis juga terganggu. Akibatnya, mata menjadi kering.
Lantas, kornea mata akan kering, turun, dan berlipat ke bagian dalam. Lama kelamaan kornea akan rusak. Jika kornea rusak, penglihatan akan menurun, bahkan sampai mengakibatkan kebutaan.
”Sebetulnya ini bisa kita cegah kalau sejak dini kita temukan kasus itu dan mengobati. Apabila sudah terjadi kecacatan parah, fungsi anggota tubuh itu sangat sulit dikembalikan. Kita hanya bisa mencegah agar tidak merembet ke anggota tubuh lain,” katanya.
Kecacatan akan berdampak besar kepada penderita kusta. Setidaknya, penderita menjadi kurang produktif karena sejumlah fungsi tubuhnya terganggu. Akibat lanjutannya, mereka menjadi beban bagi keluarga.
Secara sosial, penyandang kusta juga mendapat stigma sebagai penular penyakit atau orang yang tidak berguna sehingga dijauhi masyarakat. Ira mencoba menghilangkan stigma itu dengan mengedukasi warga.
Ia memulainya dengan menerbitkan buku-buku bacaan untuk anak-anak yang isinya melawan stigma terhadap penyandang kusta. Buku itu dibagikan cuma-cuma ke sekolah-sekolah.
Ira dan Katamataku juga mencoba membangkitkan kembali kemandirian ekonomi pasien kusta. Dengan bantuan sejumlah dosen fakultas pertanian dan peternakan, Ira membina orang dengan kusta untuk menggarap pertanian dan peternakan di kampung kusta, seperti yang ada di RSUP Sitanala Tangerang, Banten.
Inspirasi
Ira terinspirasi membuat gerakan Katamataku saat ia sedang menyelesaikan program doktor plastik rekonstruksi di Universitas Gadjah Mada. Ia berhadapan dengan sejumlah pasien kusta yang mengalami kelainan di kelopak mata. ”Kebetulan subspesialis mata saya adalah plastik rekonstruksi. Salah satunya menangani kelainan kelopak,” katanya.
Berangkat dari kasus-kasus itu, Ira membuat satu teknik polifikasi yang bisa dilakukan oleh dokter mata secara umum, bukan hanya ahli plastik rekonstruksi. ”Ini ide saya. Jadi, teknik ini juga bisa dilakukan dokter-dokter mata umum, termasuk di daerah,” kata Ira.
Berkat penelitian itu, Ira berhasil mendapatkan gelar doktor plastik rekonstruksi. Namun, ia bertanya dalam hati, pasien-pasien lepra dengan kelainan kelopak mata yang ia teliti mendapat apa?
Terusik oleh pertanyaan itu, ia melangkah dan mendirikan gerakan Katamataku. Dorongan untuk membuat gerakan semacam itu juga dipicu oleh kenyataan bahwa Indonesia sampai saat ini masih ada di urutan ketiga negara di dunia dengan penyandang kusta terbanyak. Peringkat itu sudah diduduki Indonesia bahkan sejak Ira menjalani koas kedokteran Universitas Indonesia pada 30 tahun yang lalu.
Pada 2018, Katamataku memulai kegiatan di RSUP Sitanala yang melayani pasien kusta dan umum. Setelah itu, kegiatan melebar ke Sulawesi Utara dan akhirnya ke daerah-daerah di NTT.
Jangan Ada Kusta di Antara Kita
Yunia Irawati
Lahir: Malang, 18 Juni 1968
Anak: Wildan, Iman, dan Anisa
Pendidikan terakhir: Subspesialis Plastik Rekonstruksi Fakultas Kedokteran UGM
Jabatan antara lain:
- Wakil Presiden Komunitas Bedah Plastik dan Rekonstruksi Mata Asia Pasifik (APSOPRS)
- Kepala Pusat Trauma JEC Eye Hospitals
- Staf Devisi Bedah Plastik dan Rekonstruksi Mata FK UI