Muhlis Eso Memuseumkan Sisa-sisa Perang
Museum swadaya yang didirikan Muhlis Eso menjadi salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi orang. Dia mengumpulkan sisa-sisa Perang Dunia II sebagai bentuk kepedulian terhadap sejarah.
Beragam sisa Perang Dunia II yang terkumpul sejak 30 tahun lalu menghiasi rumah Muhlis Eso (42) di Morotai, Maluku Utara. Selain mendirikan museum swadaya, dia juga menjelaskan berbagai hal seputar perang Sekutu melawan Jepang di pulau terluar itu kepada siapa saja yang ingin mengetahuinya.
Seperempat abad silam, Muhlis membeli cincin emas dari pamannya. Cincin yang berhiaskan logo Universitas Texas A&M itu ternyata milik EV Verlander, seorang tentara Amerika yang berperang di Morotai tahun 1944.
Setelah menghiasi jemarinya selama 25 tahun, Muhlis merelakan cincin itu kembali ke pangkuan ahli waris sang serdadu. Penyerahan cincin berlangsung di stadion di Universitas Texas dua tahun lalu. Kegiatan itu mendapat sambutan hangat oleh 5.000-an penonton yang memenuhi bangku stadion.
Dari pihak Muhlis diwakili oleh sejumlah mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di kampus itu. Usai penyerahan, pihak keluarga memberikan imbalan sejumlah uang kepadanya. Namun, oleh Muhlis uang tersebut diberikan ke pamannya selaku orang yang kali pertama menemukan benda itu.
Cincin itu bisa kembali ke pemiliknya setelah diunggah oleh seorang Youtuber. Begitu di-upload, unggahan itu langsung direspons oleh ahli waris Verlander. Mereka pun menyempatkan diri berkunjung ke Morotai dan melihat koleksi milik Muhlis.
”Saya tidak mengambil sepeser pun uang itu. Oleh paman saya, uang itu dipakai untuk membangun rumah karena dia memang membutuhkan,” ucapnya saat ditemui di rumahnya, di Desa Joubela, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, akhir Juli lalu.
Rumah Muhlis terlihat berbeda dengan kebanyakan warga Morotai yang tinggal di pelosok. Halamannya cukup luas. Sebuah tiang lengkap dengan bendera Merah Putih berdiri di bagian tengah. Beberapa mortir sisa perang menjadi penghias halaman yang ditumbuhi pohon mangga dan bunga sepatu.
Sebuah papan bertuliskan Museum Swadaya Perang Dunia II ”Hilang Nampak Kembali” tersandar begitu saja di teras. Begitu masuk ruang tamu dan ruang keluarga, baru kita mendapati aneka rupa barang-barang peninggalan perang. Sebagian sudah koyak, sebagian lainnya penuh karat.
Mulai dari dog tag nama serdadu dan koin yang tersimpan di etalase, peluru yang sudah karatan, senjata mesin berat, botol minuman yang dulu digunakan oleh serdadu Jepang dan sekutu, termasuk untuk menyimpan morfin, hingga foto tentara Jepang, Teruo Nakamura, yang baru keluar dari hutan Morotai tahun 1974.
Selain rumah induk, di sisi kanan terdapat bangunan baru dengan ukuran lebih kecil. Di tempat itu, Muhlis meletakkan sebagian koleksi museumnya, seperti sisa-sisa roda kendaraan tempur, cetakan kue, sepeda, hingga empat granat yang baru saja diserahkan oleh pihak kepolisian resor setempat beberapa hari sebelumnya.
Destinasi wisata
Museum swadaya yang didirikannya Muhlis menjadi salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi orang, mulai dari mereka yang cinta sejarah, mahasiswa, pejabat daerah, petinggi TNI dan TNI berpangkat jenderal, hingga pihak Kedutaan Besar Amerika dan Polandia.
Cucu dari salah satu pejuang di Morotai, Tadu Eso, ini mulai menggeluti artefak sisa perang sejak dirinya masih bocah. Saat duduk di bangku kelas 3 SD, Muhlis kecil (10 tahun) sudah ”mengais” barang sisa-sisa perang dan mengumpulkannya.
Baca juga: Museum Swadaya Perang Dunia II di Morotai
Dia tidak sendiri. Ada beberapa temannya yang juga ikut mencari kala itu. Namun, mereka menjualnya ke orang lain. Seperti diketahui, tidak sedikit benda peninggalan sejarah di Morotai, seperti reruntuhan pesawat, tank, dan jip, diambil dan diangkut ke Jawa sebagai barang bekas.
”Tapi saya tidak pernah menjual karena, menurut kakek, jangan sampai kita menjadi pengkhianat bangsa. Itu yang saya ingat. Mulai saat itu, saya bertanya kepada kakek saya bagaimana cara mencari dan saya diajarkan caranya,” tuturnya.
Saking getolnya mencari, Muhlis sampai lupa waktu. Dia sering pulang malam padahal sekolahnya hanya sampai siang. Akibatnya, sang ayah, Mahmud Eso, merasa khawatir perihal apa yang terjadi pada anaknya. Mahmud Eso pun menanyakan kegiatan anaknya itu kepada guru kelas.
Tidak hanya pulang malam, Muhlis juga sering terlambat datang ke sekolah lantaran lebih dulu mencari barang-barang sisa perang. Akibatnya, Muhlis pernah mendapatkan hukuman. Saat duduk di bangku SMP Morotai, Muhlis dihukum naik sampai pucuk tiang bendera saat apel sekolah dilaksanakan.
”Pagi berangkat ke sekolah, terkadang saya tidak memakai seragam. Saya pergi ke sekolah pakai pakaian biasa. Baru sampai di sekolah saya mandi dan mengenakan seragam di sana,” tuturnya.
Muhlis pun teringat bagaimana gurunya meneteskan air mata. Usai memberikan hukuman, sang guru melihat isi tas dia. Di dalamnya terdapat dog tag dan selongsong peluru, selain bekal sekolah yang terdiri dari singkong rebus, pisang, dan ikan asin.
Bertambahnya umur tak membuat upaya Muhlis mengais benda sisa perang pudar. Meski sebagian koleksinya hilang, dia tetap mencari. Termasuk bersama anggota komunitas swadaya pemerhati museum perang dunia.
Awalnya, Muhlis memang menyimpan koleksi di kamar rumahnya dalam bentuk pajangan biasa. Maklum, saat itu dia belum mengenal istilah museum. Sementara media massa selaku sumber informasi baru satu, yakni TVRI.
Hingga pada akhirnya ada kuliah kerja mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Ternate menganggap apa yang disimpannya menarik. Tahun 2003 Muhlis membuat Gubug Museum di Daruba, ibu kota Kabupaten Pulau Morotai. Lokasinya tidak jauh dari dermaga penyeberangan Daruba.
Bersama beberapa teman yang tergabung dalam Komunitas Swadaya Pemerhati Museum, dia kemudian mendirikan Museum Mini pada tahun 2010 dengan lokasi masih di Daruba. Tahun 2012 koleksinya turut dipamerkan dalam kegiatan bahari tingkat internasional Sail Morotai.
Baca juga: Aktivitas Nelayan Tuna di Pulau Morotai
Tahun 2014 koleksi Muhlis masuk ke Museum Perang Dunia II dan Trikora di Desa Wawama. Muhlis sendiri kemudian mendirikan museum di Desa Joubela dan bertahan hingga saat ini. Pada 2018, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai membantu pembangunan sebuah ruang kecil di sisi kiri bangunan utama.
”Sampai sekarang sebagian koleksi saya masih ada di Museum Perang Dunia II dan Trikora. Sementara sebagian yang lain mengisi Museum Swadaya ’Hilang Nampak Kembali’ ini,” ucap ayah enam anak itu yang pernah menjadi penjaga sekolah hingga mengajar sejarah di SD Daruba itu.
Selain menjaga museum swadaya, lelaki yang pernah berprofesi sebagai penjaga sekolah dan guru sejarah itu juga kerap mengantar tamu atau wisatawan mengunjungi sejumlah obyek wisata, khususnya sejarah di Morotai. Dia memandu sekaligus menjawab pertanyaan yang dilontarkan klien seputar Perang Pasifik.
Tentang bagaimana Morotai menjadi batu loncatan katak pasukan Sekutu di bawah pimpinan Panglima Perang Pasifik Jenderal Douglas MacArthur merebut Filipina dari Jepang sekaligus memutus dominasi Jepang di Pasifik barat daya selama Perang Dunia II.
Bagi Muhlis, Morotai memiliki arti tersendiri. Pulau kecil berpenduduk 74.500-an jiwa itu dia anggap sebagai induk Perang Dunia II yang mana peninggalan-peninggalannya perlu dilestarikan.
”Saya takut semua benda sebagai bukti sejarah akan hilang. Mau tak mau, meski saya harus berhadapan dengan penjarah, saya tidak takut karena Morotai bagian dari Indonesia dan Perang Dunia II luar biasa. Semua stretagi Perang Dunia II dari Morotai,” tutupnya.
Biodata:
Nama: Muhlis Eso
Tanggal Lahir: 12 April 1980
Pendidikan: SMA Morotai