Carla Felany Berlari untuk Menemukan Diri
Pelari Carla Felany mampu mengubah makna lomba lari. Ajang itu bukan lagi sekadar untuk mengejar prestasi dan eksistensi diri. Dia menjadikannya sebagai jalur untuk berbagi kepada orang-orang yang berhak di sekitarnya.
Berlari bagi Carla Felany (42) bukan lagi sekadar kegiatan menjaga kebugaran, mengejar prestasi, atau membangun eksistensi diri. Sejak 2016, pelari kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, ini mengubah makna lari dalam kamus kehidupannya sebagai pengejawantahan ladang amal. Hingga kini, dia terus berlari untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah guna membantu orang-orang yang berhak, terutama kepada anak-anak yang kehilangan pengasuhan orangtua.
Anak bertubuh tinggi besar asyik menyerobot mikrofon dan berteriak kegirangan. Carla dan dua orang lain, pria dewasa serta remaja, berusaha menenangkannya. Ketiganya tampak sangat menyayangi anak yang terus berusaha berteriak dengan mikrofon tersebut.
Anak bertubuh tinggi besar itu adalah Giorgio Pramudya Ludiro (13), anak kedua Carla dan suaminya yang pria dewasa tersebut, Stevanus Pramono Ludiro (43). Adapun remaja itu adalah Gerrard Pradipta Ludiro (15), anak pertama pasangan tersebut.
Keempatnya diminta berdiri di depan para tamu yang menghadiri acara peluncuran buku pertama Carla berjudul Run for Charity, Menemukan Diri dengan Berlari di salah satu kafe di pusat perbelanjaan Jakarta Pusat, Minggu (10/7/2022). Sehabis acara, Carla menyampaikan bahwa Giorgio adalah anak berkebutuhan khusus dengan autis.
”Punya anak berkebutuhan khusus seperti Gio turut jadi titik balik saya terjun ke dalam dunia charity run (lari untuk amal). Pengalaman mengurus Gio membuat saya lebih mudah terhubung untuk membantu anak-anak, terutama terkait pendidikan,” ujar Carla.
Sekitar delapan tahun lalu, Carla menangis di kamar kediamannya sepulang dari hotel di Kelapa Gading, Jakarta Utara, tempat Giorgio menjalani tes dengan fisioterapi asal Australia. Carla baru saja mendapatkan kabar yang tidak bisa diterimanya, Giorgio didiagnosis autis.
Seiring waktu, Carla bersahabat dengan takdir. Dari ajang lari amal, dia kian tersadar bahwa Giorgio jauh lebih beruntung. ”Dengan segala keterbatasannya, Gio masih mendapatkan kasih sayang orangtua, perhatian, dan pendidikan yang baik. Di luar, tak sedikit anak-anak yang tidak ada atau kehilangan pengasuhan orangtua,” kata Carla.
Berawal dari program diet
Carla tidak pernah menjadi atlet meski dirinya menggemari olahraga untuk menjaga kebugaran. Namun, dia memiliki darah atlet dari mendiang ayahnya, Sonny Tirta Gunawan, yang pernah menjadi perenang tingkat Pekan Olahraga Nasional (PON).
Carla baru benar-benar serius berolahraga setelah melahirkan Giorgio. Akibat berat badan tidak ideal, dia menjalani program diet dengan menekuni fitness selama lima tahun. Bosan dengan aktivitas tersebut, dia mencoba olahraga yang dianggap lebih menantang, yakni lari, mulai akhir 2015.
Carla mempelajari lari secara otodidak. Dasar punya tekad dan rasa penasaran kuat, baru sebentar berlatih, dia sudah berani ikut serta perlombaan setengah maraton atau 21 kilometer (km) dalam 2XU Compression Run di kawasan BSD, Tangerang, Banten.
Selang setahun atau pada Desember 2016, Carla mengikuti ajang lari amal pertamanya dalam NusantaRun chapter 4 Cirebon-Purwokerto 145K. Ajang itu bertujuan mencari dana untuk membangun sekolah di Purwokerto, Jawa Tengah. Dia mampu menyelesaikan ajang itu dalam waktu sekitar 18 jam, yakni untuk jarak Brebes-Purwokerto 72K.
Awalnya, motivasi Carla ikut ajang lari amal dengan jarak rata-rata melebihi maraton atau lebih dari 42,195 km sebagai wadah mewujudkan cita-cita keliling Indonesia. Namun, momen finis dalam NusantarRun Cirebon-Purwokerto 72K telah menyentuh hatinya.
Beberapa ratus meter sebelum finis ajang tersebut, Carla disambut sejumlah anak-anak yang akan menerima donasi. Mereka menggandeng tangannya dan berlari bersama melewati finis. Selepas finis, mereka berpelukan dan bersukacita bersama.
”Saat itu hati saya tiba-tiba diselimuti rasa haru yang mendalam. Bukan medali yang saya dapat dari ajang itu, melainkan kebahagiaan dan senyum ceria dari anak-anak tersebut. Itu momen yang tak ternilai yang tidak bisa dibayar secara materi,” tuturnya.
Tangis dan tawa
Setelah ajang pertamanya itu, Carla kecanduan mengikuti ajang lari amal dengan banyak tangis dan tawanya. Dalam enam tahun, dia sudah mengikuti 14 ajang, mulai dari NusantaRun chapter 4 Cirebon-Purwokerto 145K pada 2016 hingga terakhir Run to Care Bali 155K pada November 2021. Eksistensinya terlihat dari kulit yang gelap dan ada sejumlah bercak bekas terbakar matahari.
Rute terjauh yang pernah dilaluinya adalah Run to Care Meulaboh-Banda Aceh 250K pada November 2019 yang ditempuh selama empat hari. ”Yang paling sering saya ikut lari amal untuk anak-anak kehilangan pengasuhan melalui SOS Children’s Villages (organisasi nonprofit yang fokus untuk anak-anak),” jelasnya.
Baca juga :Avip Priatna, Arsitek Pemantik Musik Klasik
Ajang-ajang itu mengumpulkan dana bantuan untuk beragam golongan, seperti anak-anak kehilangan pengasuhan, pendidikan, pengobatan, kesetaraan perempuan, dan orang dengan gangguan kejiwaan (ODGJ). Pelari mengampanyekan pengumpulan dana itu secara langsung atau melalui media sosial sekitar tiga bulan sebelum hingga sebulan seusai ajang bersangkutan.
Nantinya, donatur memberikan sumbangan ke laman pengumpulan dana terkait. Para peserta tidak mendapatkan sepeser pun upah dari kampanye tersebut. Malah, mereka mengeluarkan dana pendaftaran, transportasi, akomodasi, dan konsumsi untuk ikut ajang tersebut.
Dana yang terkumpul sebesar Rp 20 juta-Rp 42 juta dari 70-120 orang donatur per ajang. ”Larinya justru lebih gampang dibanding mencari donasi. Sebab, walau sedikit mengemis, tetap tidak gampang mengetuk hati orang untuk membantu,” ujarnya.
Berlari puluhan-ratusan kilometer selama belasan-puluhan jam, bahkan berhari-hari, sudah pasti menyebabkan kelelahan fisik maupun mental. Tak jarang, Carla berlari dalam kondisi cedera. Ketika ikut Run to Care Larantuka-Maumere 155K pada Januari 2021, misalnya, dia sempat berlari di tengah hujan badai yang menyebabkan kakinya blisters atau melepuh dan berisi cairan darah.
Namun, dia tetap melanjutkan lari hingga finis setelah 37 jam. ”Saya sampai berpikir, kok perjuangannya gini-gini amat, yah. Tetapi, saya pernah tinggal bersama para ibu asuh anak-anak calon penerima donasi di Maumere selama empat hari dan mereka sudah menunggu saya di finis. Itu membuat saya berusaha kuat untuk menuntaskan lari. Padahal, kaki saya sudah hancur,” katanya.
Carla juga pernah gagal finis dalam Run to Care Yogyakarta-Semarang 155K pada Agustus 2018. Dia memutuskan mundur setelah berlari 96 km karena cedera plantarfasciitis atau radang telapak kaki dari jari-jari hingga tumit.
Carla sangat menyesali peristiwa itu karena merasa gagal menuntaskan amanah dari para donatur. ”Saya merasa bersalah kepada donatur yang memercayai saya. Timbul pertanyaan, apakah donatur masih percaya dengan saya untuk ikut charity run lainnya,” ucapnya.
Di momen itu, Direktur Nasional SOS Children’s Village Greg Hadi Nitihardjo menyampaikan bahwa tidak finis bukan hal memalukan untuk Carla. Sebaliknya, banyak orang simpati dan respek dengan usaha yang sudah dilakukannya. Dukungan moril dari Greg, kerabat, dan keluarga menjadi penguat mental Carla, sebagaimana setiap kali dirinya melihat foto-foto ceria penerima bantuan.
”Melihat foto anak-anak penerima bantuan tertawa membuat saya selalu bersyukur dan terus termotivasi melakukan sesuatu untuk membantu. Banyak orang berpikir bahwa lari cuma untuk mengejar personal best (catatan waktu terbaik) dan dapat podium (medali). Sebenarnya kita bisa melakukan sesuatu yang lebih dari itu,” terangnya.
Saya sampai berpikir, kok perjuangannya gini-gini amat, yah. Tetapi, saya pernah tinggal bersama para ibu asuh anak-anak calon penerima donasi di Maumere selama empat hari dan mereka sudah menunggu saya di finis. Itu membuat saya berusaha kuat untuk menuntaskan lari. Padahal, kaki saya sudah hancur.
Menebar benih kebaikan
Carla tidak mengharapkan balas jasa apa pun dari semua kegiatan mulia tersebut. Dia hanya ingin menginspirasi orang-orang di sekitarnya agar terus menebar benih kebaikan. Bahkan, bukan cuma lari amal yang dilakukannya. Dia pernah melakukan aksi sosial bertajuk Shave for Hope untuk mengumpulkan donasi selama 26-29 April 2020.
Puncak aksi itu ditandai dengan memotong gundul rambut panjang berwarna-warni yang menjadi ciri khasnya hingga bersisa 2 sentimeter pada 29 April 2020 atau sebulan sesudah pemerintah mengumumkan pembatasan kegiatan karena pandemi Covid-19. Aksi yang disiarkan dalam akun Instagram pribadinya itu berhasil mengumpulkan dana Rp 46,2 juta dari 233 orang donatur. Uang itu disumbangkan untuk SOS Children’s Village.
Menurut Carla, apa yang ditabur itu yang akan dituai. Maknanya lebih kepada seberapa banyak yang bisa diberikan, bukan sekadar berapa banyak yang akan diterima. Hanya saja, dia yakin benih kebaikan yang ditanam sekarang akan dipanen suatu hari nanti. Kalau itu tidak dirasakan saat ini, dia berharap setidaknya itu bisa dinikmati anak-anaknya, terutama Giorgio.
”Saya percaya, ketika kita melakukan hal-hal baik, kita akan dipertemukan dengan orang-orang baik pula meski dahulu tidak pernah kenal. Saya cuma berusaha berinvestasi kebaikan. Mungkin, yang bakal menikmatinya anak-anak saya, apalagi untuk anak kedua saya,” ungkap Carla.
Rekan lari Carla sekaligus penulis dan mantan Direktur Pengembangan PT Bursa Efek Indonesia, Nicky Hogan, mengatakan, dirinya sangat mendukung niat Carla menerbitkan buku. Mengutip karakter fiksi Profesor Albus Dumbledore dalam film Harry Potter, hal-hal baik harus disebarluaskan.
Bagi Nicky, semangat berbagi Carla tidak terbantahkan. Ada suatu periode Carla nyaris selalu berlari untuk amal sepanjang tahun. Contoh lain, saat banyak orang terdampak pada awal pandemi, Carla malah berusaha membantu orang lain dengan memangkas gundul rambutnya. ”Menurut saya, tidak ada pelari charity setinggi itu, berpikir seliar itu, cuma dia (Carla) di Indonesia,” ucap Nicky.
Carla Felany
Lahir: Palembang, Sumatera Selatan, 10 Februari 1980
Profesi: Ibu rumah tangga dan pelari
Prestasi: Meraih beberapa podium lari jarak jauh hingga ultra (lebih dari maraton), serta lari trail di puluhan perlombaan sejak 2016