Lelaku Metal Lelaki Kekar
Di tengah musik metal yang bising, Stephanus Setiadji menemukan keheningan. Adjie mengatakan, perjalanannya bersama Down for Life selama dua dekade membawa dia pada kesadaran baru soal tugasnya sebagai manusia.
Di tengah musik metal yang bising, Stephanus Setiadji menemukan keheningan. Adjie mengatakan, perjalanannya bersama Down for Life selama dua dekade membawa dia pada kesadaran baru soal tugasnya sebagai manusia. Tugas itu, tetap ia jalankan lewat musik cadas yang sering dianggap anak tiri kebudayaan.
Adjie adalah nama penting dalam skema musik underground Kota Solo, Jawa Tengah. Bersama sejumlah pentolan komunitas Solo lainnya, ia membangun skena dan ekosistem industri underground di kota itu. Dari situ, lahirlah pergelaran Rock in Solo sejak 2004 yang menjadikan Solo sebagai episentrum baru musik cadas Indonesia.
Kami bertemu Adjie di Belukar Rockshop, ruang komunitas dan tempat penjualan cendera mata (merchandise) Down for Life di Serengan, Solo, Selasa (19/7/2022). Ia bercerita, bulan-bulan ini, Down for Life sibuk menggelar Post-Apocalypse Tour 2022 di berbagai kota, mulai Jawa Tengah, Jakarta, hingga Jawa Timur.
Sebagian tur digelar sendiri atau bekerja sama dengan komunitas musik keras di kota-kota yang disambangi. ”Kami jemput bola. Enggak nunggu undangan manggung. Kami ingin menunjukkan, kami tetap eksis dan konsisten berkarya. Percayalah, setelah pandemi terjadi, nama besar bukan jaminan. Begitu enggak aktif, (band) akan hilang,” tutur Adjie.
Strategi jemput bola ini berhasil. Ketika tur di beberapa kota berjalan, mulai ada penyelenggara acara (EO) yang menelepon Down for Life untuk mengajak manggung. Kini, band itu setidaknya telah memiliki jadwal tampil di 18 kota untuk beberapa bulan ke depan. Setelah itu, Down for Life akan fokus ke Rock In Solo yang menurut rencana digelar pada Oktober 2022.
Adjie adalah satu dari belasan inisiator Rock in Solo. Sisanya antara lain Firman ”Bolie” Prasetyo, Akbar Badres, Herwindo, Jahlo Gomes, Tatuk Marbudi, Panjalu Baskoro Adhi, Malkan Mayasin, Krisna Baskara, Rio Baskoro, dan Doel Lukas. Rock in Solo pertama kali digelar pada 2004. Meski penyelenggaraannya kurang rutin dan pernah vakum, ajang ini menjadi barometer musik cadas di Solo.
Desember tahun lalu, ketika kasus pandemi masih tinggi, Adjie dan kawan-kawan menggelar lagi Rock in Solo setelah vakum sejak 2015. Ajang ini diberi tajuk Apokaliptika, The Journey of Rock in Solo di Terminal Tirtonadi Convention Hall. Penampil utamanya Down for Life yang digawangi Adjie (vokal), Rio Baskara dan Isa Mahendrajati (gitar), M Abdul Latief (drum), Mattheus Aditirtono (bas), serta Adria Sarvianto (synthesizer).
Mereka berkolaborasi dengan seniman karawitan kontemporer pimpinan Gondrong Gunarto, mengawinkan musik metal yang terkesan ugal-ugalan dengan instrumen gamelan Jawa, Banyuwangian, dan Sekaten. Perkawinan dua musik dari tradisi yang berbeda itu melahirkan kembali lagu-lagu lama Down for Life dalam aransemen baru.
Baca Juga: Duduk dan Angguk-angguk di Konser Rock
Tidak banyak yang tahu bagaimana proses penyatuan itu dilakukan. Mereka harus menanggalkan ego masing-masing dalam banyak hal. Sebagai metalhead dari keluarga Jawa, Adjie perlu menyambangi tokoh-tokoh budaya untuk meminta nasihat agar proyek kolaborasi metal dan karawitan berhasil. ”Saya disuruh puasa ngrowot demi pertunjukan ini,” katanya.
Ngrowot semacam puasa makan makanan dari beras untuk membersihkan diri, mengendalikan diri, dan melatih hidup prihatin. Selama ngrowot, pelakunya biasanya hanya makan umbi-umbian yang direbus tanpa garam.
”Saya pikir gampanglah, tak lakoni (saya jalani). Baru setengah jam sudah datang godaan, ada orang telepon kirim pizza, minta review ha-ha-ha.”
Laku ngrowot, Adjie jalani selama empat hari. Setelah itu, ia diminta melakukan laku lain yakni, nyekar dan semedi di makam orangtua dan eyang-eyangnya. Ia mau melakukan itu bukan lantaran suka pada klenik, melainkan tertarik pada nilai dan energi dari laku tirakat Jawa. Setelah menjalaninya, ia lebih tenang. Adem.
Ia juga makin menangkap nilai-nilai penting yang diajarkan para orang tua Jawa. ”Kalau kita ingin melakukan sesuatu, ada tata caranya. Mesti kerja keras, jaluk pangestu (minta restu) supaya lancar dan bisa main dengan roso. Bagaimanapun kita nabrakin gamelan yang sudah ada ratusan tahun lalu dan rock,” ujarnya.
Buat Adjie, panggung Rock in Solo 2021 sarat dengan simbol penyatuan banyak hal yang berbeda. Di ajang itu, Down for Life satu panggung dengan band punk dan black metal yang membuka konser, serta musisi karawitan. Dari situ ia menyadari kalau mau bangkit bersama, ya, harus kolaborasi.
”Yang bisa menyatukan bangsa ini pada akhirnya kebudayaan,” kata Adjie.
Momen Rock in Solo 2021, lanjut Adjie, semakin memperkuat kesadarannya bahwa misinya di dunia saat ini adalah memperjuangkan kebinekatunggalikaan lewat gerakan kebudayaan. Pesan untuk menjalankan misi itu, cerita Adjie, kadang datang dalam mimpi. Ketika bangun dari mimpi dan melakukan kegiatan, ada pengalaman-pengalaman yang juga mengarahkan saya pada program Bhinneka Tunggal Ika.
”Kalau begitu, lakuku berarti (memperjuangkan) Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Kesadaran soal lelaku dalam bermusik mulai muncul sejak 2009. Saat itu, ia mulai bertanya kepada diri sendiri, ”Kenapa kita nesu-nesu (marah-marah) terus. Lalu, kita mulai bikin lirik yang kritis, tetapi tidak nesuan. Bagaimanapun buat saya, lagu itu seperti doa,” kata Adjie.
Baca Juga: Penghormatan dari Down for Life
Seiring bertambahnya usia, Adjie bersentuhan dengan spiritualitas dan kultur Jawa. Saat proses itu berjalan, Down for Life berhasil menembus Festival Wacken Open Air Jerman 2018 setelah menyingkirkan 322 band se-Indonesia. Penyelenggaranya waktu itu ingin menampilkan band yang merepresentasikan Indonesia.
”Itu, kan, susah untuk direalisasikan. Kalau New York hardcore, kan, lebih jelas. Sound-nya begini karena direkam di studio di New York.”
Adjie pun berusaha menggali kultur Jawa agar bisa menemukan simbol dan spirit yang bisa ditampilkan di Wacken. Akhirnya, Down for Life memilih tampil dengan kemeja batik parang yang menyimbolkan kesatria maju perang. Paduannya tetap celana pendek yang jadi ciri khas Adjie. Musik cadasnya dipadu suluk wayang.
”Di luar negeri, metalhead juga bawa kultur mereka, sadar atau tidak.... Kami sadar, bagaimanapun kami orang Jawa yang kebetulan suka musik hardcore. Itu enggak bisa dilepaskan, tetapi bukan berarti ke mana-mana bawa keris. Cukup menunjukkan lewat perilaku prasaja (sederhana), waskita (mawas diri/hati-hati), eling sangkan dumadhi (jangan lupa dari mana kamu berasal, tugas kamu apa, dan ke mana kamu akan pulang).
Pengalaman di Wacken mempertebal keyakinan Adjie tentang pentingnya spiritualitas dan kultur dalam bermusik. Ia akhirnya menyimpulkan bahwa perjalanan bermusik pada dasarnya adalah perjalanan spiritual.
”Rock in Solo, misalnya, itu bukan sekadar event, itu bagian penting perjalanan kehidupan kami. Lelaku kami.”
Perjalanan
Adjie lahir dari keluarga Jawa. Ia masih terhitung sebagai cucu canggah Pakubowono X. Ayahnya penggemar musik cadas hingga di nisan makamnya pun tertera kutipan lirik salah satu lagu Black Sabbath. Sang ayah-lah yang memperkenalkan musik keras kepada Adjie. ”Waktu kecil saya diajak ayah nonton rock di THR atau lapangan Kota Barat. Nonton band Kaisar dan Paguyuban Artis Rock Surakarta.”
Sejak saat itu, musik cadas jadi bagian hidup Adjie. Setiap berangkat sekolah, ia mendengarkan musik-musik keras. Makin keras makin asyik. Namun, ia tidak lama di Solo. Sejak kelas VI SD, ia hijrah ke Yogyakarta dan tumbuh di sana. Di kota itu, ia ngeband bersama band underground Sabotage. Band ini dianggap kiri dan selalu bermasalah dengan polisi lantaran liriknya dan penampilannya dianggap subversif.
Adjie baru kembali ke Solo tahun 1999 setelah gagal menyelesaikan kuliah di ISI Yogyakarta dan bosan dengan pekerjaan yang tidak jelas di Jakarta. ”Saya kembali dengan segala kemarahan terhadap zaman dan idealisme yang menggumpal,” ujarnya mengenang.
Di Solo, ia nongkrong bersama komunitas Sriwedari Boot Bois, komunitas punk dan skinhead yang disegani. Di situ, ia mencoba menyosialisasikan hardcore. Ternyata resistensi terhadap hardcore saat itu tinggi. ”Kalau main di situ, ya, saya diceng-cenginlah, bahkan digebukin,” ujarnya.
Karena resistensi terhadap hardcore tinggi, Adjie dan kawan-kawan membuat komunitas di Solo City Hardcore awal 2000. Tahun itu sekaligus menjadi tonggak dimulainya band Down for Life.
Di komunitas inilah, Adjie dan kawan-kawan bisa berdiskusi soal referensi musik keras dan pematangan komunitasnya. Adjie yang saat itu menjadi penyiar radio SAS FM ”mengudeta” acara Selasa Ska dan menggantinya dengan acara Solo Berisik tahun 2001. ”Kita edukasi pendengar dengan lagu keras. Dari situ orang datang bawain kaset, minta muterin lagu metal, hardcore, punk, glame rock. Kita bisa muter lagu Krisdayanti lalu lagu hardcore. Dengan begitu, orang makin terbiasa mendengar musik keras bersanding dengan genre lainnya.”
Ternyata acara Solo Berisik sukses. Radio-radio lain selanjutnya bikin program-program serupa. Dari situlah, menurut Adjie, penetrasi musik keras ke publik yang lebih luas bisa terjadi.
Tahun 2004, Adjie dan kawan-kawan menggelar Rock in Solo. Ajang ini muncul lantaran mereka prihatin melihat Solo sekadar jadi konsumen musik. Konser sering dihelat di kota itu, tapi penampil bahkan penyelenggaranya dari luar Solo.
Lewat Rock in Solo, Adjie dan kawan-kawan mendorong kultur berkarya yang saat itu masih lemah di kalangan anak-anak band di Solo. Saat itu, mereka sudah puas menjadi band cover. Main makin mirip dengan band aslinya, dianggap makin bagus. Diajak bikin album, jawabannya ”ngapain bikin album?”
Baca Juga: Berjumpa Lagi dengan Keriuhan Musik
”Kami nekat saja bikin Rock in Solo yang dananya sebagian diambil dari upah menyelenggarakan pameran ikan louhan. Orang takut ajang ini bikin rusuh, ternyata sukses,” kata Adjie.
Mereka sejak awal mengincar GOR Manahan sebagai tempat penyelengaraan. Saat itu, GOR tersebut adalah tempat konser paling keren di Solo yang biasa dipakai untuk konser band-band nasional seperti Slank, Padi, Dewa. Sebaliknya, band underground tidak pernah konser di situ. Tempat konser mereka biasanya aula di kampus bahkan kelurahan. ”Jadi pemilihan GOR Manahan itu simbolis sekali. Kami ingin merebut ruang itu untuk konser underground,” kenang Adjie.
Tentu saja, polisi dan sponsor khawatir kalau konser itu rusuh. ”Kita bilang enggak akan rusuh. Dan, ternyata tiket habis, acara jalan tanpa kerusuhan sama sekali,” ujarnya.
Kesuksesan Rock in Solo 2004 membuka mata banyak orang. Rusuh yang dilekatkan pada underground itu sekadar stigma. Maka, Rock in Solo diulang lagi pada Solo 2007, 2009, 2010, 2011, 2013, dan 2014. Ajang ini membuat Solo menjadi episentrum baru musik cadas di Tanah Air di samping Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, dan sejumlah kota lainnya.
Di Solo sendiri, Rock in Solo juga menjadi benchmark bagi band-band lokal karena untuk main di situ mereka harus punya rilisan. Ini juga mendorong mereka untuk berkarya.
Solo sebenarnya punya sejarah panjang dalam dunia musik. Ada Lokananta, Gesang, Waljinah. Dalam musik rock, Solo melahirkan band Ternchem tahun 60-an. Meski eksis di Solo, menurut Adjie, band itu tidak terlalu besar secara nasional. Musik yang dimainkan juga belum sepenuhnya rock, tetapi banyak Melayu-nya.
Tahun 1980-an, muncul band rock Kaisar yang bisa menembus panggung nasional. Namun, kata Adjie, Kaisar pun bergerak sendiri saja, tidak sempat membangun skema berikut ekosistem industri musik di Solo. Setelah Kaisar, banyak band bermunculan, sebagian band cover, yang juga belum memikirkan secara serius skema dan industri musiknya. ”Mesti diakui Solo cukup terlambat mengembangkan skema dan industrinya. Generasi kami mulai melakukan itu, menciptakan ekosistem musik di zaman yang sudah berubah. Itu pun masih susah,” ujar Adjie.
Stephanus Setiadji Anugrah Hendro Noto
Lahir: Jakarta, 19 Juni 1977
Pendidikan:
- SMA Kolese De Britto Yogyakarta
- Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta (tidak lulus)
Diskografi DFL:
- Album Simponi Kebisingan Babi Neraka (Belukar Records, 2008)
- Album Himne Perang Akhir Pekan (Sepsis Records/ demajors, 2014)
- Mini Album 7' Menantang Langit (demajors, 2014)
- Single ”Mantra Bentala” (Blackandje Records, 2020)
- Single ”Apokaliptika” (Blackandje Records, 2021)
- Single "Children of Eden" (Blackandje Records, 2022)
- Single ”Children of Eden - Paragon ov Virtue Remix by MTAD” (Belukar x Blackandje Records, 2022)
Pengalaman manggung antara lain:
- Wacken Open Air Jerman 2018
- Reign of Sepsis Singapura 2014
- Age of Evolution Singapura 2015
- Johor Bahru, Malaysia 2014
- Johor Bahru, Malaysia 2015
- Synchronize Festival 2017, 2018
- Hammersonic Festival 2012, 2013, 2014, 2018
- Rock in Solo 2004, 2007, 2009, 2010, 2011, 2013, 2014
- Bandung Berisik 2011, 2012, 2014