Oyo Saryo, Bubur Ayam Obat Rindu
Bubur ayam racikan Mang Oyo sudah melintasi zaman sejak 46 tahun lalu. Selama itu, dia setia menjaga rasa menjadi obat rindu bagi para penikmatnya.
Minggu (26/6/20222), jarum jam baru menunjukkan pukul 09.30. Namun, bubur ayam Mang H Oyo sudah tinggal menyisakan dua mangkuk. Buka dari pukul 05.30, lebih kurang 300 mangkuk telah terjual.
Mundra (34) dan Cindy (24) adalah dua orang yang kebagian bubur terakhir hari itu. Rasa penasaran setiap kali melintas di Jalan Sultan Ageng Tirtayasa, Bandung, Jawa Barat, terpuaskan. Mereka memesan dua porsi bubur komplit seharga Rp 24.000 per porsi. Selain bubur, ada topping cakue, ayam, telur, serta hati dan ampela.
”Ini pertama kalinya kemari. Setiap minggu pagi di Bandung, kebetulan sering lewat sini. Selalu ramai tidak pernah sepi. Giliran sepi ternyata buburnya sudah mau habis,” kata Mundra, warga Jakarta.
Namun, bukan hanya mendapatkan bubur terakhir, Mundra-Cindy mendapatkan kejutan. Oyo Saryo (80), perintis bubur ayam Mang H Oyo, mendatangi meja mereka. Kehadiran Oyo terbilang istimewa. Sudah beberapa tahun terakhir tinggal di Majalengka, Jabar, dia jarang ada di Bandung. Tidak heran bila dia jadi buruan pelanggan lainnya untuk diajak foto bersama.
”Di Majalengka, saya banyak berdoa menyiapkan yang terbaik bila sewaktu-waktu dipanggil Yang Kuasa,” katanya dengan senyum ramah.
Bertemu kembali dengan pelanggan yang rindu, Oyo tampil rapi. Baju ”kebesaran” kembali dipakai, yaitu kemeja putih panjang, celana kain hitam, dan peci di kepala. Berpakaian rapi, katanya, menjadi salah satu cara menghargai pelanggan yang datang.
Tidak lagi meracik bubur, dia kini kebagian tugas berinteraksi dengan pengunjung. Ciri khas buburnya yang tidak tumpah kembali dipraktikkan, termasuk di hadapan Mundra-Cindy. ”Bubur ini kental karena pilihan beras yang tepat dan kaya kaldu ayam. Tidak hanya enak tetapi bisa tahan lama, berjam-jam setelah dimasak masih layak dimakan,” kata dia saat membalikkan piringnya.
Tidak hanya itu, dia mengeluarkan plastik pembungkus bubur dari kantong celananya. Katanya, bubur tidak melulu perkara rasa. Kepuasan menikmatinya harus bisa dirasakan di mana saja, termasuk ketika dibawa pulang.
Katanya, plastik pembungkus jangan digunting. Selain nanti panas di tangan saat mengeluarkan bubur, rasa bisa berbeda bila ada uap air dalam bungkus.
”Bagusnya, buka ikatan. Gulung ujungnya ke atas dan dorong buburnya keluar perlahan. Dijamin, bubur tetap nikmat disantap,” katanya.
Namun, dia belum usai. Kali ini selera humornya beraksi. Dia bercerita, inti dari cita rasa buburnya hanya satu huruf.
”Siapa yang tahu?” kata Oyo.
Lama tidak ada yang menjawab, Oyo meminta semuanya menyerah.
”Jawabannya U-yah,” katanya cepat.
Dalam bahasa Sunda, uyah berarti garam. Racikan garam yang tepat, katanya, jadi senjata rahasia bubur ayamnya disebut legenda. Tidak hanya dalam negeri, ada pembeli dari Singapura dan Malaysia yang sengaja datang untuk makan buburnya.
Merantau
Namun, bukan hal mudah bagi Oyo menjadikan buburnya dikenal banyak orang. Merantau sejak belia dilakukan untuk mengubah nasib.
”Sejak lulus sekolah rakyat di Majalengka, saya sudah merantau. Umurnya lupa tetapi masih belasan tahun. Awalnya di Sumedang sampai akhirnya Bandung. Mulai dari buruh tani, pedagang minyak tanah keliling, hingga jual bubur lemu,” kata anak buruh tani miskin ini.
Jalan hidupnya mulai berubah saat melihat warga antre membeli bubur ayam sekitar awal tahun 1976. Lama hidup susah, dia yakin, penghasilan pedagang bubur ayam itu pasti jauh lebih besar darinya.
Bermodal keahlian membuat bubur lemu dan pacar china, ia mencoba membuat bubur ayam. Kala itu, dia memilih bubur encer, mirip dengan banyak bubur yang dijual di Bandung. Dia memilih depan kantor pemerintahan dan rumah sakit untuk mencari pelanggan.
Namun, bubur ayamnya kesulitan mencari pembeli setia. Bahkan, dia pernah membuang bubur ayam racikannya karena minim pembeli. ”Puncaknya di tahun 1992 saat kesulitan berusaha. Saya berdoa supaya ditunjukkan jalan mendapat racikan terbaik,” katanya.
Setelah doa dipanjatkan, Oyo seperti punya kekuatan baru. Ide kreatifnya dengan cepat mengalir. Ayam goreng di meja makannya diolah menjadi kaldu.
Beras dari Majalengka yang sengaja dia bawa dari rumah juga memberi jalan. Setelah diaduk selama beberapa jam, beras IR-64 itu mampu memberikan tekstur tepat. Saat dimasak, beras itu tidak mudah encer.
”Ketika bubur dan kaldu disatukan, rasanya di luar dugaan. Enak. Tekstur buburnya juga lebih kental. Tuhan memberi jawaban atas semua yang saya harapkan,” katanya yang kerap diundang sebagai peserta dalam festival kuliner khas Indonesia di sejumlah daerah.
Di awal menjual racikan barunya, Oyo mendapat pujian. Mangkal di salah satu rumah sakit, seorang dokter mengatakan, bubur kental ini sudah lama dia cari. Kata dokter itu, tekstur bubur masih ramah di perut tetapi bisa mengenyangkan lebih lama. Untuk orang sakit atau butuh energi, bubur seperti itulah yang dicari.
Mendengar itu, ia percaya diri. Dia semakin yakin saat buburnya mulai diburu banyak orang. Dari belasan hingga puluhan mangkuk sehari lantas ratusan mangkuk per hari.
Namun, dia tidak ingin berpuas diri. Dari pengamatannya, kunci pertahanan usaha kuliner adalah kebersihan. Untuk itu, ia tidak ragu belajar tentang kebersihan usaha di Dinas Kesehatan Jabar.
”Saya dapat ilmu baru seperti rambut sebaiknya tidak gondrong, jenggot jangan terlalu panjang, sampai selalu pakai sarung tangan. Tujuannya, mencegah kita bawa kotoran yang bisa masuk pada makanan. Sekarang semua ilmu itu diteruskan ke anak. Saya sekarang tinggal di kampung saja,” kata Oyo.
Dedi Hikmat (32), anak Oyo, mengatakan, cara memasak bubur ala ayahnya masih dipertahankan dengan dibantu sedikitnya 10 tenaga kerja. Proses produksi dimulai pukul 01.00. Saat sebagian orang tertidur, dia dan anak buahnya sudah berjibaku mengaduk beras menjadi bubur.
Kini, ada 20 liter per hari harus diaduk menjadi bubur selama 45-60 menit. Proses itu penting untuk mendapatkan bubur kental. Bila terlalu lama, bubur bakal encer dan kehilangan ciri kekhasannya.
”Ada beberapa orang yang bertugas mengaduk. Biasanya bergantian mengaduk bila keringat mulai muncul. Harus cepat diganti agar tidak masuk adonan,” kata Dedi yang kini giat mempromosikan bubur racikannya di berbagai platform media sosial.
Beras Majalengka juga tetap menjadi andalan, diambil dari sawah milik sendiri dan rutin dikirim ke Bandung. Ada kekhawatiran bila menggunakan beras lainnya, rasa bubur akan berubah.
Selain itu, Dedi hanya membuka warungnya pada pagi hari hingga habis saat jelang siang. Pada akhir pekan, misalnya, bubur habis dalam 3-4 jam. Rekornya, saat libur Lebaran, buka pukul 06.00 tutup pukul 10,00. Total ada 500 mangkuk.
”Meski singkat, kami tidak tertarik lagi membuka di malam hari. Pernah coba, konsumen ragu buburnya apakah asli Oyo atau bukan. Mereka tahunya bubur Oyo biasanya habis sebelum siang,” kata Dedi yang menyebut punya tiga cabang binaan yang semuanya ada di Kota Bandung.
Rindu
Sekitar pukul 10.00, warung bubur Mang H Oyo pun benar-benar kehabisan persediaan. Tiga panci besar tidak lagi menyisakan bubur. Saat beragam peralatan dibersihkan, Oyo mulai bisa beristirahat saat anak buahnya masih membersihkan peralatan memasak.
Namun, rindu pada Oyo belum berakhir. Telepon selulernya berbunyi. Dia dibantu anaknya karena belum terbiasa mengangkatnya.
”Tadinya handphone saya hanya model lama. Ini dibelikan sama anak katanya biar lebih mudah tetapi saya belum terbiasa,” katanya.
Setelah diangkat, ia menerima kejutan. Peneleponnya adalah Sumarni (65), pelanggan lama puluhan tahun lalu. Sumarni masih mahasiswa saat bertemu dengan Oyo.
”Kebetulan anaknya tadi ke sini. Dia minta nomor telepon karena tahu ibunya sering cerita pernah jadi langganan bubur Mang Oyo,” kata Dedi.
Sumarni mengaku rindu dengan Oyo. Ia adalah pedagang bubur baik hati di kalangan mahasiswa sekitar Tamansari, Bandung.
Dia mencontohkan, Oyo tidak pernah takut rugi. Bila ada mahasiswa yang belum dapat kiriman, bisa makan tanpa harus langsung membayar. Bagi yang berutang atau langsung bayar rasa yang disajikan tetap enak dan bersih.
Sekarang Mang Oyo sudah jadi legenda kuliner Bandung. Semoga Mang Oyo umur panjang agar kebaikan dan cita rasa buburnya tetap bisa dinikmati banyak orang.
Mendengar itu, Oyo tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Tidak banyak kata yang dia ucapkan. ”Nanti, kapan-kapan kita bertemu. Ditunggu lagi di warung bubur Mang Oyo,” katanya.
Dari seporsi bubur, nama Oyo kini menjadi legenda kuliner Bandung. Kesetiaannya menjaga rasa membuat sosoknya melintasi zaman dan selalu dirindukan penikmatnya.
Biodata
Nama: Oyo Saryo
Tempat, Tanggal Lahir: Majalengka, 30 Desember 1941
Istri: Mimin Sarminah (65)
Anak: Dedi Hikmat (32)