Nunuh Sutisna, Polisi ”Pencandu” Pohon
Meski bukan tugas utamanya, pemulihan lingkungan dan penghijauan di sejumlah daerah banyak menyita waktunya. Selain untuk menggerakkan penanaman, ia menyebar edukasi pelestarian alam, terutama bagi anak-anak dan remaja.
Menanam pohon sudah seperti candu bagi Ajun Inspektur Satu Nunuh Sutisna. Dengan sepeda motor, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ini menyebarluaskan bibit pohon ke sejumlah pelosok Jawa Barat yang butuh pemulihan lingkungan. Jika dana untuk penanaman kurang, ia siap menyumbangkan hartanya, termasuk koleksi vespanya.
Nunuh adalah personel Kepolisian Sektor (Polsek) Ibun, Kepolisian Resor Kota Bandung. Jabatannya Kepala Unit Pembinaan Masyarakat (Binmas), wilayah tanggung jawabnya Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Meski bukan tugas utama dia, pemulihan lingkungan dan penghijauan di sejumlah daerah banyak menyita waktunya. Selain untuk menggerakkan penanaman, ia menyebarkan edukasi pelestarian alam, terutama bagi anak-anak dan remaja di tempat yang disambanginya.
”Meskipun kami nol keilmuan tentang lingkungan hidup, karena berbekal kemauan, tanya sana tanya sini, ya alhamdulillah dapet (pengetahuan konservasi),” ujar Nunuh saat mengobrol di Saung Monteng, Ibun, Sabtu (28/5/2022) sore. Saung itu markas pegiat lingkungan dengan beragam latar belakang, tetapi kebanyakan tidak menjalani pendidikan formal terkait dengan pelestarian alam.
Obrolan bersama Nunuh diselingi minum kopi yang diseduh dengan teknik manual V60. Kopi berasal dari ceri arabika yang dipanen petani di sekitar kawasan konservasi Kawah Kamojang, lalu diolah hingga jadi kopi sangrai di Saung Monteng. Kenikmatan cita rasa asam dengan selingan pahit dan manisnya mengingatkan Nunuh tentang pemicu kecanduannya pada penanaman pohon.
”Saya minum airnya dari Ibun, kopinya dari Ibun, harus ada timbal balik untuk alamnya,” ucap Nunuh. Ia sebenarnya tinggal di Sumedang dan setiap berdinas menempuh perjalanan selama dua jam menuju Ibun.
Nunuh bertugas di Polsek Ibun sejak 2007. ”Ibun ini tempat saya bekerja, tempat mencari rezeki, tempat menghidupi anak istri, sehingga secara pribadi saya merasa terpanggil untuk memperbaiki alam yang rusak walau sedikit-sedikit,” ucap Nunuh.
Selain itu, Nunuh prihatin dengan bencana, terutama banjir dan tanah longsor, yang selalu membayangi aktivitas warga Bandung. Daerah yang terdampak pun meluas dari tahun ke tahun. Hutan Kamojang di Ibun merupakan bagian dari hulu daerah aliran Citarum, sungai yang saat meluap kerap memicu banjir di Bandung.
Langkah pertamanya adalah menyelami situasi hutan Kamojang di Kecamatan Ibun pada 2015. Ia melihat banyak area yang telah gundul, minim kicauan burung, dan hawanya membuat gerah.
Terdapat lima desa berhutan, yakni Neglasari, Dukuh, Ibun, Mekarwangi, dan Laksana. Semua hutan di sana, menurut Nunuh, berkondisi memprihatinkan.
Karena hanya berangkat dengan niat baik tanpa pengetahuan memadai, Nunuh asal membeli bibit pohon dari penjual tanaman di pinggir jalan untuk ditanam di lahan hutan gundul.
Nunuh heran karena banyak bibit yang ditanaminya tidak kunjung besar. Rupanya, ia salah pilih bibit. Trembesi, contohnya, yang hanya cocok untuk lahan pada ketinggian 0-300 meter di atas permukaan laut (mdpl) ditanamnya di hutan Ibun yang rata-rata berlokasi di ketinggian lebih dari 1.000 mdpl.
”Kalau nanam, mah, yang ada di situ aja. Jangan bawa yang lain-lain,” kata Nunuh menirukan pegiat lingkungan hidup yang sudah lebih paham ilmunya. Mulai saat itu, ia menanam bibit pohon-pohon endemis (spesies khas setempat), seperti jamuju (Dacrycarpus imbricatus), meuhmal (Litsea cubeba), dan kibereum (Distylium stellare), di lahan-lahan kritis. Selain memperbesar peluang tumbuh, menanam tanaman endemis juga mencegah perubahan ekosistem hutan.
Awalnya ia bergerak sendiri. Ia lantas sadar bahwa kerusakan lingkungan merupakan masalah kompleks yang harus dikeroyok bersama. Contohnya, ada saja yang merusak bibit yang baru ditanam.
Karena itu, ia berpadu dengan kawan-kawan Yayasan Saung Monteng. Komunitas itu ”memanfaatkan” kemampuan komunikasi massa Nunuh sebagai seorang Kanit Binmas untuk mengajak lebih banyak kalangan peduli lingkungan. Mereka terutama memengaruhi anak-anak muda.
Selain bisa menggaet pelajar dan mahasiswa, Saung Monteng juga mampu menggandeng komunitas satuan pengamanan (satpam), kumpulan pelaku usaha tata suara (sound system), hingga anak punk dan geng motor untuk ikut menanam pohon di Kamojang. Nunuh beberapa kali mesti cermat menyusun jadwal agar geng motor yang satu tidak bertemu dengan geng motor lainnya. ”Takut gelut (berkelahi),” ucapnya terkekeh.
Meluas
Karena penanaman di sekitar Kamojang makin populer dan dikawal anggota-anggota Saung Monteng, Nunuh memperluas ”daerah operasinya”. Ia memburu hutan kritis serta lingkungan yang butuh penghijauan di luar Kecamatan Ibun, bahkan hingga ke luar Kabupaten Bandung. Kebanyakan berlokasi di ketinggian lebih dari 1.000 mdpl sehingga bibit dari Saung Monteng cocok digunakan.
Hingga kini, salah satu peraih Sabilulungan Award 2017 Kabupaten Bandung itu sudah ikut menggerakkan edukasi pelestarian alam dan penanaman pohon di 12 daerah, yaitu di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Selain itu, di Bogor, Kuningan, Cirebon, Subang, Cianjur, dan Karawang.
Hampir semua keterlibatan Nunuh dalam penanaman memanfaatkan sumber daya pribadinya, termasuk sepeda motor dan koleksi vespanya, untuk mengangkut bibit ke lokasi sasaran yang membutuhkan. Adapun bibit disediakan gratis oleh Yayasan Saung Monteng untuk menggugah semangat pelestarian oleh komunitas-komunitas lain.
Jika membawa ke luar Ibun, Nunuh cuma sanggup mengangkut 100 batang bibit karena hanya mengandalkan kendaraan roda dua. ”Ini karena motor kompleks, dibawa ke kebun, ya, rusak,” ucap Nunuh tertawa seraya menunjuk sepeda motor bertransmisi otomatis miliknya.
Nunuh berpendapat, tidak masalah jika bibit yang dibawanya sedikit. Yang lebih penting, pesan konservasi tersampaikan. Di satu area, ia biasanya menyediakan waktu dua hari agar bisa menginap dan pada malam sebelum hari-H penanaman dapat memberi edukasi terlebih dulu. ”’Dongeng’-nya harus nyampe dulu. Kita, mah, nanem pohon ini pentingnya apa. Kalau kita nebang pohon, dampaknya akan apa,” ucap Nunuh.
Antiproposal
Sebagai seorang aparat berseragam, mudah saja bagi Nunuh menyebarkan proposal dan mendapat kucuran dana agar bisa mengadakan tanam pohon dengan nyaman, misalnya lewat mekanisme tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan (CSR). Penyediaan bibit, pengangkutan, hingga penanamannya sudah terjamin beres.
Namun, Nunuh anticara-cara semacam itu. ”Takut tidak amanah, atau takut rezekinya kemakan sama saya. Yang harusnya buat kegiatan di hutan, kebawa ke rumah, kemakan anak istri,” kata suami almarhumah Ai Rostika ini.
Sejumlah pihak memang berdonasi ke Saung Monteng, tetapi jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan kebutuhan operasional. Para anggotanya lebih sering merogoh kocek masing-masing dan ”saweran” membiayai kegiatan.
Jelang Hari Pohon Sedunia tahun lalu tanggal 21 November, wabah Covid-19 makin mereda dan masyarakat bisa beraktivitas lebih leluasa. Bagi Nunuh sang pencandu pohon, itu hari sakral dan tak boleh dilewatkan.
Ia lantas bertanya kepada kawan-kawannya di Saung Monteng, berapa dana yang tersedia agar bisa menghelat tanam pohon di Ibun. Intinya, sangat tidak cukup. Tanpa ragu, ia menjual salah satu koleksi vespanya dengan nilai Rp 5 juta. Vespa tersebut keluaran tahun 1975, dan dipasangi setang tahun 1966.
Acara tanam pohon digelar di Blok Legok Badak Desa Ibun. Untuk menyiapkan tempat menanam, lahan dibersihkan dulu. Ini bukan perkara mudah karena lahan sarat tanaman kaso atau gelagah, sejenis rumput yang mirip tebu, tetapi lebih ramping. Kaso amat keras dan sulit dipotong. ”Saya coba pakai golok, satu jam saja ini (tangan) sudah darah semua,” ujar Nunuh.
Mau tidak mau, Nunuh dan panitia tanam pohon mesti mengupah warga yang sudah berpengalaman untuk membersihkan lahan. Selain itu, untuk mengangkut pupuk kandang ke lokasi. ”Akhirnya, uang Rp 5 juta habis, tetapi tidak apa-apa,” ucapnya.
Hasil mengorbankan satu vespa, Nunuh membuat lebih dari 300 orang dari beragam komunitas hadir, lalu menanam 2.500 bibit pohon yang sudah disiapkan Saung Monteng. Ia tak menyangka antusiasme bakal sebesar itu mengingat undangan hanya disebar lewat media sosial.
Kini, Nunuh melanjutkan petualangan mencari lahan kritis atau lingkungan yang butuh dihijaukan di Jawa Barat, termasuk tepi-tepi jalan raya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Jabar pada 2018 punya 911.192 hektar lahan kritis. Kecanduan Nunuh pada penanaman pohon tampaknya masih bakal panjang.
Nunuh Sutisna
Pekerjaan: Kepala Unit Binmas Polsek Ibun Polresta Bandung
Lahir: Sumedang, 23 November 1965
Istri: Ai Rostika (almh)
Anak: 2 orang
Pendidikan:
- Sekolah Bintara Militer Sukarela (Seba Milsuk) Polri Polda Jawa Barat Angkatan IV (1985)
- SMAN 24 Bandung (1981-1984)
Penghargaan: Sabilulungan Award 2017 Kabupaten Bandung