Arni tak ingin ada anak kurang gizi di desanya. Makanya, dia menggelontorkan dana hingga Rp 489 juta untuk perbaikan gizi serta pola asuh anak. Hasilnya, penderita tengkes di desanya menurun drastis.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Pembangunan sumber daya manusia jauh lebih penting dibandingkan dengan pembangunan fisik desa. Untuk itu, Arni Boimau berani mengalokasikan dana hingga Rp 489 juta per tahun, yang antara lain untuk memberantas tengkes. Dari semula puluhan, kini di desanya tinggal satu bayi tengkes.
Arni, begitu Kepala Desa Enonapi, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, ini disapa, membawa sepiring pisang goreng. Pisang berwarna kuning cerah berkilauan oleh garam yang mengering itu, demikian renyah dan legit begitu digigit. Teksturnya lembut sekaligus renyah. ”Ini hasil pelatihan pengolahan makanan lokal di desa kami,” kata Arni saat ditemui di rumahnya, Senin (30/5/2022).
Makanan menjadi salah satu kunci dalam menangani kasus tengkes (stunting). Di Enonapi terdapat banyak bahan makanan bergizi, seperti jagung, ubi, dan pisang yang selama ini hanya direbus lalu dikonsumsi, sehingga rasanya relatif tawar. Bayi dan anak mudah bosan mengonsumsinya.
Di samping itu, orangtua lebih sering memberikan bubur nasi, baik pada pagi, siang maupun malam. Nasi kosong itu, begitu Arni menyebutnya, tidak ditambah dengan lauk lain. Itu masih diperparah dengan kebiasaan bayi dititipkan kepada nenek atau kakek si bayi, saat ibu dan bapaknya ke kebun sehingga tidak mendapat perhatian yang cukup, terutama dalam hal asupan gizi. Faktor-faktor tersebut menyebabkan anak kurang gizi dan muncul tengkes di banyak tempat di Kabupaten TTS.
Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menunjukkan angka tengkes di Kabupaten TTS mencapai 48,3 persen, tertinggi di NTT. Berdasarkan data itu, dari 100 bayi terdapat 48 bayi tengkes. Di Enonapi pada tahun 2019 ada 32 bayi tengkes, lalu menurun tinggal 16 bayi dan di tahun ini tinggal satu.
Penurunan angka bayi tengkes tersebut berkat praktik beragam strategi oleh Arni. Untuk memperbaiki gizi bayi, dia mengundang perwakilan Puskesmas Kie untuk memberikan pelatihan mengolah makanan berbahan pangan lokal. Warga sekarang sudah pandai membuat beragam penganan dari ubi, pisang, jagung, dan bahkan kacang hijau. Disamping itu, pihak desa membantu bahan makanan seperti beras, abon, telur dan susu yang masuk dalam program pemberian makanan tambahan (PMT).
”Tapi, waktu itu hanya turun sedikit, dari 16 menjadi 8 kasus tengkes,” papar Arni, yang kemudian mencari strategi lain, yakni Posyandu Remaja pada 2021.
Posyandu Remaja
Posyandu Remaja dibentuk untuk menghimpun para anak muda usia 12 tahun hingga 18 tahun. Mereka dikumpulkan lalu para penggerak Posyandu Remaja, yang sudah dibekali pengetahuan, membagikan informasi tentang cara mengolah bahan makanan, bahaya pernikahan dini, hingga cara mengasuh anak dengan baik. Materi pola pengasuhan dimasukkan karena pernikahan dini masih menjadi isu penting di desa ini. Para remaja itu kemudian diimbau untuk membagikan pengetahuan tersebut kepada orangtuanya. Dengan demikian, pelan-pelan muncul kesadaran baru tentang cara yang benar dalam mengasuh anak.
Arni melihat kemunculan tengkes tersebut sebagai muara dari kompleksitas masalah. Mulai dari ketidakmahiran mengolah bahan makanan, kesadaran gizi, hingga kerentanan mental bagi orangtua yang belum cukup umur akibat pernikahan dini. Yang juga penting adalah ketimpangan relasi jender.
Dia mengamati lalu berkesimpulan bahwa banyak kaum pria seolah tidak peduli dengan anaknya dan menyerahkan pengasuhannya kepada istri. Bagi Arni, ini tidak benar. Seorang ayah harus ikut aktif mengasuh dan membesarkan anaknya, terutama menjamin kecukupan gizi baginya.
Maka, dia membentuk Kelas Bapak dan Kelas Mama. Dua kelas ini untuk memberikan pengetahuan dasar tentang relasi gender yang adil, serta pembagian tanggung jawab yang imbang dalam berumah tangga.
Pada Oktober-November 2021, Arni mewajibkan setiap pria yang mempunyai bayi untuk membawa anaknya ke Posyandu dalam rangka penimbangan badan rutin. Ini sebuah terobosan besar sekaligus keanehan bagi warga Enonapi karena belum pernah ada pria menggendong anaknya ke Posyandu. Benar saja, banyak anak yang menangis atau meronta digendong ayahnya sendiri. ”Ini bukti bahwa ayahnya tidak dekat sama anak,” kata Arni.
Aktif memajukan desa
Bagi warga, Arni adalah kepala desa yang mempunyai visi dan kerja progresif. Pria murah senyum itu dinilai warga membawa perubahan berarti terutama dalam hal kemajuan sumber daya manusia. Tahun 2020 lalu, Desa Enonapi menyabet juara I Lomba Desa sekabupaten TTS. Penilaian utamanya di bidang pembangunan sumber daya manusia. Lebih khusus lagi, karena Arni mampu menurunkan angka tengkes secara signifikan. Dalam sejarahnya, itu sebuah prestasi baru bagi desa ini. Tak lain berkat strategi Arni.
Sudah lama Arni ingin memajukan desanya yang dia nilai tertinggal. Kesadaran itu muncul sejak dia berusia 16 tahun ketika aktif di Plan Indonesia. Di lembaga nonpemerintah ini, Arni mendapat banyak informasi tentang pemberdayaan desa, kesetaraan jender, hingga pembangunan sumber daya manusia. Tahun 2016, ketika berusia 25 tahun, dia menjadi Kepala Desa Enonapi. Pelan-pelan dia memperbaiki tata kelola desa, menggaet anak muda untuk bergerak bersama, hingga kini angka tengkes nyaris hilang dari Enonapi.
Salah satu kuncinya adalah memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia dengan pendanaan yang cukup. Tahun lalu, dia mengucurkan dana desa Rp 489 juta. Tahun ini, angkanya tidak jauh berbeda, masih di atas Rp 400 juta. Ini antara lain untuk penanganan tengkes dan pencegahan pernikahan dini. Misalnya, Posyandu Remaja yang semula hanya berpusat di satu tempat, dalam waktu dekat akan dia tambah menjadi tiga tempat. ”Kejauhan kalau hanya satu tempat,” kata Arni sembari mengatakan ada remaja yang jarak rumahnya sampai tiga kilometer dari Posyandu Remaja sehingga malas datang.
Arni punya mimpi, tak ada lagi tengkes di Desa Enonapi. Tak ada lagi tengkes di bumi Indonesia ini.
Arni Boimau
Lahir: Enonapi, Timor Tengah Selatan, 4 April 1990