Gorengan Memeriahkan Piring Nasi
Makanan yang digoreng populer bagi masyarakat Indonesia, bahkan menjadi menu ”wajib”. Tak heran gejolak harga minyak goreng cukup meresahkan sebagian besar masyarakat.
Makanan gorengan hampir tak pernah absen dari piring saji orang Indonesia. Pengeluaran untuk jajan makanan jadi yang digoreng pun tercatat konstan tiap tahun. Maka tak mengherankan jika keresahaan memuncak saat minyak goreng sulit dijangkau.
Hasil jajak pendapat Kompas awal April lalu merekam hampir seluruh responden mengonsumsi makanan yang digoreng dalam menu makan sehari-hari. Hanya 1,5 persen responden yang menyebut tidak pernah makan sajian renyah ini.
Hampir seluruh responden mengonsumsi makanan yang digoreng dalam menu makan sehari-hari.
Frekuensi responden menyantap gorengan juga terpotret tinggi. Lebih dari separuh responden (56,7 persen) mengaku makan gorengan setiap hari. Sementara 24,3 persen menyebut makan gorengan kadang-kadang dan 17,5 persen menyebut jarang mengonsumsi gorengan.
Gorengan menjadi makanan favorit lintas generasi. Mayoritas responden dari tiap generasi makan gorengan sebagai menu utama dan pendamping. Perbedaan hanya tampak pada frekuensi mengonsumsi.
Tujuh dari 10 responden generasi Z makan gorengan tiap hari. Hanya 1 persen dari generasi berusia di bawah 24 tahun ini yang mengaku tidak makan gorengan. Sisanya, yakni 23,2 persen, mengaku hanya mengonsumsi dalam intensitas sedang dan rendah.
Sementara itu, 5 dari 10 responden pada generasi Y dan X menyebut makan gorengan tiap hari. Meskipun jumlahnya lebih kecil dari gen Z, proporsi besar nampak pada intensitas sedang. Artinya, gen Y dan X merupakan penggemar gorengan meskipun mulai mengontrol frekuensi asupan.
Tujuh dari 10 responden generasi Z makan gorengan tiap hari.
Seluruh generasi Y, yakni responden yang saat ini berusia 24-39 tahun, makan gorengan. Sementara pada generasi X ditemukan 2,3 persen yang menyebut tidak makan sajian yang digoreng sama sekali. Absennya menu ini juga tampak pada generasi baby boomers. Sebanyak 4,2 persen dari generasi yang berusia di atas 55 tahun ini tak makan gorengan.
Konsumsi gorengan warga baby boomers tampak berbeda pada intensitas. Masing-masing sebesar 29,8 persen mengonsumsi pada intensitas tinggi dan sedang. Sementara 29,8 persen mengonsumsi dengan intensitas rendah. Artinya, gorengan pun masih jadi sajian yang melekat dalam menu makan warga senior.
Popularitas gorengan di tengah makanan lainnya makin kentara di bulan Ramadhan. Berjajarnya makanan yang diolah dengan digoreng di kedai jajanan jadi etalase atau cerminan dari isian piring warga Indonesia.
Jajanan yang digoreng hadir dengan rasa yang kaya. Bagi penyuka manis tersedia pisang, umbi-umbian, ataupun adonan tepung goreng. Bagi penyuka asin, gorengan dengan bahan dasar tempe, tahu, ataupun sayuran menjadi pelengkap tak terganti di kala berbuka.
Baca juga: Kudapan Penggerak Ekonomi Rakyat
Tak lekang
Gorengan hadir lintas generasi dan tak lekang zaman. Konsumsi gorengan tak pernah surut, bahkan dalam masa krisis sekalipun. Hal ini tampak dari alokasi untuk makanan jadi gorengan tiap warga Indonesia yang tetap stabil dari tahun ke tahun.
Gorengan juga populer di antara jajanan lainnya. Misalnya saja, pengeluaran per kapita untuk gorengan cenderung lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk membeli roti.
Badan Pusat Statistik mencatat pengeluaran tiap orang per minggu untuk gorengan sebesar Rp 2.488. Rerata pada 2021 ini hanya mengalami sedikit penurunan dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai kisaran Rp 2.500.
Pengeluaran gorengan masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Pengeluaran makanan gorengan warga perkotaan sebesar Rp 2.488 per kapita per minggu.
Pengeluaran gorengan masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan.
Sementara warga perdesaan mengeluarkan Rp 2.311 per kapita per minggu. Meski pengeluaran warga kota lebih tinggi, bukan berarti asupan gorengan warga kota lebih banyak dibandingkan warga desa. Faktor perbedaan harga gorengan memengaruhi besaran pengeluaran.
Penelusuran penulis pada harga makanan jadi gorengan menemukan informasi bahwa harga gorengan di perkotaan mencapai dua kali lipat dibandingkan di perdesaan.
Harga tempe yang dijajakan penjual keliling ataupun mangkal berkisar Rp 1.500-Rp 2.000. Sementara di daerah perdesaan, seperti Magelang atau Yogyakata, harga gorengan tempe di kisaran Rp 750-Rp 1.000.
Kegemaran warga pada gorengan hampir tak terbantahkan. Pengeluaran untuk membeli gorengan tercatat lebih besar dibandingkan jajanan lainnya seperti roti.
Pengeluaran untuk membeli gorengan tercatat lebih besar dibandingkan jajanan lainnya seperti roti.
Pengeluaran orang untuk roti (tawar, manis, dan sejenisnya) warga kota yakni Rp 2.261, sementara warga desa Rp 1.627 per kapita per minggu.
Artinya, warga kota hanya menghabiskan sekitar 90 persen dari alokasi gorengan untuk membeli roti, sementara warga desa hanya 70 persen. Kecenderungan jajan gorengan ini tentu tak lepas dari pertimbangan ekonomis yang mungkin tak mampu dihadirkan oleh jajanan lain.
Gorengan memenuhi dua prinsip utama dalam mengisi perut, murah dan kaya rasa. Renyah dan gurih gorengan mampu membuat sepiring nasi terasa meriah. Meskipun tidak ada pendamping lauk lainnya, paduan nasi dan gurihnya sepotong gorengan pun sudah layak santap.
Baca juga: Hidangan Menu Gorengan
Menggoreng
Seiring dengan kegandrungan pada gorengan, cara masak dengan menggoreng pun paling digemari. Tujuh dari sepuluh responden memilih menggoreng dengan minyak sebagai cara masak yang paling sering digunakan untuk pemenuhan lauk sehari-hari. Sementara memasak dengan menggoreng tanpa minyak, seperti air fryer, baru dijalankan oleh 0,3 persen
Dengan preferensi ini, tak mengherankan jika konsumsi minyak Indonesia sangat tinggi. Salah satunya adalah penggunaan minyak sawit yang mendominasi di pasaran. Konsumsi minyak sawit Indonesia mencapai 15,4 juta metrik ton. Angka ini dua kali lipat dari India, China, atau bahkan Uni Eropa.
Dari sisi pengeluaran, BPS mencatat pengeluaran per kapita warga perdesaan untuk minyak goreng pada mencapai Rp 3.068 per minggu. Rerata pada 2021 ini meningkat dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 2.694.
Pengeluaran untuk minyak warga perkotaan sedikit lebih rendah. Di tahun 2021, rerata pengeluaran untuk minyak goreng warga kota sebesar Rp 3.043 per kapita per minggu. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang dilaporkan sebesar Rp 2.694.
Dengan temuan ini, maka tak mengherankan jika kelangkaan minyak goreng memicu keresahan yang besar. Gorengan, baik dalam bentuk lauk ataupun kudapan, terbukti menjadi bagian yang tak terpisah dari lidah masyarakat Indonesia.
Gorengan terbukti menjadi bagian yang tak terpisah dari lidah masyarakat Indonesia.
Seloroh salah satu petinggi negara beberapa waktu lalu tentang urusan ibu-ibu yang dirasa hanya menggoreng saja bisa jadi benar adanya.
Nyatanya, produk dari hasil memanaskan minyak goreng yang akrab kita sebut gorengan ini, tak hanya memeriahkan piring nasi, tetapi juga memutar roda ekonomi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Ekonomi Gorengan